Kisah Putri Ular, Cerita Rakyat Sumatera Utara Tentang Sumpah Serapah Jadi Kenyataan
Jum'at, 20 September 2024 - 12:15 WIB
“Jangan khawatir. Jika sang raja muda memang mencintaimu, luka kecil ini pasti tak jadi masalah,” kata Ratu.
“Hah luka kecil? Ini bukan luka kecil, Bu! Luka ini akan membekas dan berwarna hitam!” teriak Putri dengan nada marah.
Setelah terdiam sejenak, tiba-tiba putri kembali berkata: “Barangkali lebih enak menjadi ular. Kulitnya tebal dan bersisik. Luka sedikit pasti tak akan kelihatan.”
Tak lama setelahnya, tiba-tiba langit bergemuruh. Anehnya, terjadi perubahan pada tubuh sang putri.
“Anakku, apa yang terjadi padamu nak!” teriak Ratu panik. Ternyata, putri perlahan berubah menjadi ular dengan kulit kasar dan bersisik, persis seperti yang diucapkannya tadi.
Melihat itu, Ratu menangis. Dia sangat menyesali perkataan putrinya yang diucapkan secara sembrono.
“Astaga anakku, bukankah sudah berulang kali Ibu mengingatkan agar menjaga ucapanmu?” isaknya sedih.
Sayangnya, sang putri yang sudah menjadi ular tak bisa menjawab. Dia hanya menggeleng- gelengkan kepalanya sambil mendesis.
Selain itu, ular tersebut juga menitikkan air mata. Hal ini mungkin menjadi tanda bahwa dia amat menyesal.
Demikian ulasan mengenai kisah Putri Ular, cerita rakyat asal Sumatera Utara yang mengingatkan kita untuk tidak sembarangan dalam berbicara. Alasannya karena bisa saja ucapan apa pun yang keluar akan menjadi kenyataan.
“Hah luka kecil? Ini bukan luka kecil, Bu! Luka ini akan membekas dan berwarna hitam!” teriak Putri dengan nada marah.
Setelah terdiam sejenak, tiba-tiba putri kembali berkata: “Barangkali lebih enak menjadi ular. Kulitnya tebal dan bersisik. Luka sedikit pasti tak akan kelihatan.”
Tak lama setelahnya, tiba-tiba langit bergemuruh. Anehnya, terjadi perubahan pada tubuh sang putri.
“Anakku, apa yang terjadi padamu nak!” teriak Ratu panik. Ternyata, putri perlahan berubah menjadi ular dengan kulit kasar dan bersisik, persis seperti yang diucapkannya tadi.
Melihat itu, Ratu menangis. Dia sangat menyesali perkataan putrinya yang diucapkan secara sembrono.
“Astaga anakku, bukankah sudah berulang kali Ibu mengingatkan agar menjaga ucapanmu?” isaknya sedih.
Sayangnya, sang putri yang sudah menjadi ular tak bisa menjawab. Dia hanya menggeleng- gelengkan kepalanya sambil mendesis.
Selain itu, ular tersebut juga menitikkan air mata. Hal ini mungkin menjadi tanda bahwa dia amat menyesal.
Demikian ulasan mengenai kisah Putri Ular, cerita rakyat asal Sumatera Utara yang mengingatkan kita untuk tidak sembarangan dalam berbicara. Alasannya karena bisa saja ucapan apa pun yang keluar akan menjadi kenyataan.
tulis komentar anda