Kisah Aiptu Asron Dampingi Abu Bakar Baasyir, Mantan Napi Teroris Pimpinan JI
Senin, 10 Juni 2024 - 15:13 WIB
Pendampingan melibatkan istri dilakukannya agar lebih mudah berkomunikasi dengan mereka. Sebab, seringkali kenyamanan perlu dibangun agar komunikasi bisa berjalan lancar.
Salah satunya mendampingi mengurus dokumen hingga ijazah pondok pesantren tempat para mantan itu sempat belajar sebelum ditangkap karena kasus terorisme.
“Mereka yang perempuan (mantan napiter) akan lebih nyaman jika didampingi sesama perempuan. Atau juga ketika mendampingi istri napiter ketika ingin membesuk suaminya yang dipenjara,” jelasnya.
Saat bekerja di lapangan, Asron menyebut tentu juga berkoordinasi dengan berbagai pihak terkait. Selain tentu saja satu timnya, juga koordinasi dengan Polres, Densus 88, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) maupun instansi terkait lainnya.
Asron bercerita dari para mantan napiter maupun keluarganya yang dia dampingi, rata-rata mengalami kesulitan ekonomi. Paska-bebas penjara, mereka tentu sulit memperoleh pekerjaan dengan stigma yang masih melekat kuat.
Mau tak mau, berwirausaha jadi jalan keluar agar mereka tetap bisa berpenghasilan. Ini jadi pekerjaan rumah tersendiri, mengingat mentalitas mereka belum sepenuhnya siap untuk berwirausaha, selain juga bakat dan keterampilan.
Tak jarang, melalui berbagai koordinasi, Asron akhirnya bisa mengupayakan usaha yang dilakukan. Namun, tetap saja ada dinamika tersendiri.
“Misalnya ada ikhwan (sebutannya untuk mantan napiter) yang dulu jualan rica, kami upayakan untuk bisa kembali berjualan. Ternyata beberapa waktu saya ke sana lagi, dia sudah tak berjualan. Saya tanya ‘kok ora dodol’ (kok tidak jualan), kata dia ‘ora payu, nunggu bantuan wae’ (tidak laku, tunggu dapat bantuan saja). Hal ini sering terjadi,” bebernya.
Dia tak menampik mentalitas menunggu bantuan pemerintah ataupun pihak lain menjadi salah satu penyebab atmosfer para mantan napiter menjadi seperti itu. Seringkali, bantuan dari pihak-pihak berbeda datang tak berselang lama waktunya.
Salah satunya mendampingi mengurus dokumen hingga ijazah pondok pesantren tempat para mantan itu sempat belajar sebelum ditangkap karena kasus terorisme.
“Mereka yang perempuan (mantan napiter) akan lebih nyaman jika didampingi sesama perempuan. Atau juga ketika mendampingi istri napiter ketika ingin membesuk suaminya yang dipenjara,” jelasnya.
Saat bekerja di lapangan, Asron menyebut tentu juga berkoordinasi dengan berbagai pihak terkait. Selain tentu saja satu timnya, juga koordinasi dengan Polres, Densus 88, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) maupun instansi terkait lainnya.
Ingin Para Mantan Mandiri Ekonomi
Asron bercerita dari para mantan napiter maupun keluarganya yang dia dampingi, rata-rata mengalami kesulitan ekonomi. Paska-bebas penjara, mereka tentu sulit memperoleh pekerjaan dengan stigma yang masih melekat kuat.
Mau tak mau, berwirausaha jadi jalan keluar agar mereka tetap bisa berpenghasilan. Ini jadi pekerjaan rumah tersendiri, mengingat mentalitas mereka belum sepenuhnya siap untuk berwirausaha, selain juga bakat dan keterampilan.
Tak jarang, melalui berbagai koordinasi, Asron akhirnya bisa mengupayakan usaha yang dilakukan. Namun, tetap saja ada dinamika tersendiri.
“Misalnya ada ikhwan (sebutannya untuk mantan napiter) yang dulu jualan rica, kami upayakan untuk bisa kembali berjualan. Ternyata beberapa waktu saya ke sana lagi, dia sudah tak berjualan. Saya tanya ‘kok ora dodol’ (kok tidak jualan), kata dia ‘ora payu, nunggu bantuan wae’ (tidak laku, tunggu dapat bantuan saja). Hal ini sering terjadi,” bebernya.
Dia tak menampik mentalitas menunggu bantuan pemerintah ataupun pihak lain menjadi salah satu penyebab atmosfer para mantan napiter menjadi seperti itu. Seringkali, bantuan dari pihak-pihak berbeda datang tak berselang lama waktunya.
tulis komentar anda