Kisah Murka Prabu Siliwangi dan Moksanya yang Penuh Misteri
Selasa, 09 April 2024 - 07:44 WIB
Masuknya Syarif Hidayatullah cucu dari Prabu Siliwangi memeluk Islam membuatnya marah. Konon sang penguasa Padjajaran ini memilih menanggalkan tahtanya sebagai raja, ketika mendengar cucunya masuk Islam. Terlebih, sang cucu Prabu Siliwangi ini, juga menjadi salah satu wali penyebar agama islam di Pulau Jawa.
Konon Prabu Siliwangi merasa iri hati kharismanya sebagai pemimpin mulai tersaingi oleh sang cucu. Apalagi Cirebon yang dulunya menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Pajajaran konon sudah menghentikan pembayaran pajak terasi dan pasukan Padjajaran yang seratus orang itu telah dikalahkan oleh cucunya itu.
Alhasil, Prabu Siliwangi kemudian mengumpulkan para mantri dan para pengikutnya semua, sebagaimana dikutip dari "Sajarah Wali Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati Naskah Mertasinga", terjemahan Amman N. Wahju. Mereka semua diajak bicara perihal perilaku Syarif Hidayatullah anaknya Rara Santang.
Prabu Siliwangi konon marah akan kelakuan cucunya itu karena tidak bisa diatur. Kepada para pejabat dan pengikutnya itulah Prabu Siliwangi berkata, "Aku ini dianggap apa, anak si Santang itu sudah tidak dapat diatur lagi sehingga sekarang kita menjadi orang yang terakhir di Pajajaran ini. Rasanya aku sudah tak mempunyai harga diri lagi, sekarang kita tak dapat menghindar untuk menjadi pengikut- nya".
Tetapi konon kemudian ada yang turun dari langit bernama Perwatalitali Barat yang berbunyi "Sanget-sangete gene ngampahi, dika arep papa iku, kula ora ngarti pisan, apa gawe milu ing agama bosok, bedah bolong agama Islam, tur kenang lara pati. Mungta iku pusaka kuna, ingkang nami Hyang Sadabu Cenggi, boten wonten gawe-nipun, pan ya iki gawenira, ing karyane Hyang Sadabu Cenggi iku, nyata sang ratu sigra, ngalap kang Sadabu Cenggi."
Dimana artinya, sangat mustahil melakukan niatmu itu, aku sangat tak mengerti untuk apa kalian mengikuti agama busuk itu, yang akan menyebabkan kalian terkena penyakit dan mati. Karena hanya satu pusaka lama yang harus diikuti yaitu yang bernama Hyang Sadabu Cenggi. Tidak ada faedahnya kalian mengikuti agama baru itu, lebih baik kalian mengikuti langkahnya Hyang Sadabu.
Mendengar hal itu Prabu Siliwangi pun berubah pikiran. Ia memutuskan untuk mengikuti Hyang Sadabu Cenggi, dengan membisikan Aji Pameradan bersama sanak keluarganya. Rencana pun disusun dan diumumkan pada malam Kamis untuk dilaksanakan pada keesokan harinya.
Pada malam Jumat rombongan raja Pajajaran lalu naik ke atas gunung, gemuruh suaranya oleh sambutan para bidadari. Para Dewata serta bidadari konon mengikuti upacara Payung Agung itu dengan diiringi umbul-umbul yang terbuat dari kulit monyet dan lutung.
Sambutan meriah terjadi dengan bau-bauan yang harum semerbak. Rombongan Prabu Pajajaran naik ke langit, semuanya terbang mencapai langit yang terbuka dan kemudian hilanglah Prabu Pajajaran beserta semua pengikutnya. Peristiwa ini konon dipercaya menjadi momen moksanya Prabu Siliwangi.
Lihat Juga: Kisah Cinta Jenderal Sudirman dengan Siti Alfiah, Gambaran Tentang Cinta yang Tak Memandang Harta
Konon Prabu Siliwangi merasa iri hati kharismanya sebagai pemimpin mulai tersaingi oleh sang cucu. Apalagi Cirebon yang dulunya menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Pajajaran konon sudah menghentikan pembayaran pajak terasi dan pasukan Padjajaran yang seratus orang itu telah dikalahkan oleh cucunya itu.
Alhasil, Prabu Siliwangi kemudian mengumpulkan para mantri dan para pengikutnya semua, sebagaimana dikutip dari "Sajarah Wali Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati Naskah Mertasinga", terjemahan Amman N. Wahju. Mereka semua diajak bicara perihal perilaku Syarif Hidayatullah anaknya Rara Santang.
Prabu Siliwangi konon marah akan kelakuan cucunya itu karena tidak bisa diatur. Kepada para pejabat dan pengikutnya itulah Prabu Siliwangi berkata, "Aku ini dianggap apa, anak si Santang itu sudah tidak dapat diatur lagi sehingga sekarang kita menjadi orang yang terakhir di Pajajaran ini. Rasanya aku sudah tak mempunyai harga diri lagi, sekarang kita tak dapat menghindar untuk menjadi pengikut- nya".
Tetapi konon kemudian ada yang turun dari langit bernama Perwatalitali Barat yang berbunyi "Sanget-sangete gene ngampahi, dika arep papa iku, kula ora ngarti pisan, apa gawe milu ing agama bosok, bedah bolong agama Islam, tur kenang lara pati. Mungta iku pusaka kuna, ingkang nami Hyang Sadabu Cenggi, boten wonten gawe-nipun, pan ya iki gawenira, ing karyane Hyang Sadabu Cenggi iku, nyata sang ratu sigra, ngalap kang Sadabu Cenggi."
Dimana artinya, sangat mustahil melakukan niatmu itu, aku sangat tak mengerti untuk apa kalian mengikuti agama busuk itu, yang akan menyebabkan kalian terkena penyakit dan mati. Karena hanya satu pusaka lama yang harus diikuti yaitu yang bernama Hyang Sadabu Cenggi. Tidak ada faedahnya kalian mengikuti agama baru itu, lebih baik kalian mengikuti langkahnya Hyang Sadabu.
Mendengar hal itu Prabu Siliwangi pun berubah pikiran. Ia memutuskan untuk mengikuti Hyang Sadabu Cenggi, dengan membisikan Aji Pameradan bersama sanak keluarganya. Rencana pun disusun dan diumumkan pada malam Kamis untuk dilaksanakan pada keesokan harinya.
Pada malam Jumat rombongan raja Pajajaran lalu naik ke atas gunung, gemuruh suaranya oleh sambutan para bidadari. Para Dewata serta bidadari konon mengikuti upacara Payung Agung itu dengan diiringi umbul-umbul yang terbuat dari kulit monyet dan lutung.
Sambutan meriah terjadi dengan bau-bauan yang harum semerbak. Rombongan Prabu Pajajaran naik ke langit, semuanya terbang mencapai langit yang terbuka dan kemudian hilanglah Prabu Pajajaran beserta semua pengikutnya. Peristiwa ini konon dipercaya menjadi momen moksanya Prabu Siliwangi.
Lihat Juga: Kisah Cinta Jenderal Sudirman dengan Siti Alfiah, Gambaran Tentang Cinta yang Tak Memandang Harta
(hri)
tulis komentar anda