Dihajar Jepang, Penyiar Proklamasi Itu Pincang Selamanya
Jum'at, 14 Agustus 2020 - 05:01 WIB
Tidak hanya diinterogasi dan disiksa, Joesoef dan Bachtiar nyaris regang nyawa. Kala itu, seorang polisi militer Jepang sudah mencabut pedangnya dan siap ditebaskan ke leher dua lelaki pemberani itu. Untung saja, atas berkat rahmat Allah, pedang itu urung diayun setelah seorang perwira Jepang menghardik serdadu pemilik pedang itu. Perwira ini mengenal baik kedua penyiar Indonesia tersebut.
Joesoef Mendirikan RRI
Joesoef Ronodipoero lahir di Salatiga, Jawa Tengah, pada 30 September 1919. Bakat dan minat di bidang jurnalistik, terutama bidang siaran radio sudah terlihat sejak usia muda. Maklum, kala itu radio masih menjadi media informasi utama yang digandrungi publik. Joesoef mulai meniti karir di bidang jurnalistik pada masa Hindia Belanda hingga pada masa Jepang menduduki Indonesia pada 1942.
Catataan tentang perjalanan karir Joesoef ditulis secara apik di buku bertajuk Sedjarah Radio di Indonesia yang diterbitkan Kementerian Penerangan RI pada 1953. Dalam buku tersebut dikisahkan, Joesoef sempat bekerja di pemerintahan Hindia Belanda. Ketika Jepang menduduki Indonesia pada 1942, Joesoef bergabung dengan Keimin Bunka Sidhoso atau Pusat Kebudayaan. (Baca: Karomah Pusaka Sunan Kalijaga, Rompi Ontokusumo dan Keris Kiai Carubuk )
Setelah setahun di Keimin Bunka Sidhoso (halaman 263), pada 1943, Joesoef diterima sebagai wartawan Hoso Kyoku, sebuah stasiun radio militer Jepang, tepatnya milik Tomo Bachi, seorang perwira Jepang. Di tempat ini, selain Joesoef, juga ada Bachtiar Loebis, kakak kandung Mochtar Loebis.
Di Indonesia, semua stasiun radio milik pemerintah Jepang berada di bawah koordinasi Kantor Berita Domei. Syahruddin, yang membawa selembar kertas ke Joesoef bekerja di kantor berita Domei.Peran media radio pascapembacaan proklamasi sangat sentral. Ketika Jepang kalah dalam Perang Asia Timur Raya pada 1945 dan dipastikan minggat dari Indonesia, Joesoef sudah memikirkan agar Indonesia memiliki radio sendiri.
Karena itu, meskipun dirinya nyaris mati disabet samurai, Joesoef Ronodipoero untuk terus berjuang untuk mewujudkan niatnya. Dibantu seorang dokter bernama Abdulrahman Saleh, dokter yang merawatnya setelah disiksa Jepang, Joesoef membuat alat pemancar radio dari barang-barang bekas.
Upayanya ini ternyata berhasil. Ini merupakan pemancar radio pertama milik orang Indonesia, meskipun tidak diakui secara resmi. Hasil karyanya ini kemudian dinamakan Radio Suara Indonesia Merdeka atau The Voice of Free Indonesia.
Dalam buku M. Yusuf Ronodipuro Bapak RRI (2005) karya Winarto diceritakan, pada 25 Agustus 1945, untuk pertama kalinya, pidato Sukarno sebagai Presiden disiarkan melalui The Voice of Free Indonesia buatan Josoef. Pidato tersebut digemakan melalui Radio Suara Merdeka ciptaan Joesoef. Pada 29 Agustus 1945 pidato Wakil Presiden RI Mohammad Hatta juga disiarkan lewat stasiun yang sama (halaman 26).
Pejuang Revolusi
Joesoef Mendirikan RRI
Joesoef Ronodipoero lahir di Salatiga, Jawa Tengah, pada 30 September 1919. Bakat dan minat di bidang jurnalistik, terutama bidang siaran radio sudah terlihat sejak usia muda. Maklum, kala itu radio masih menjadi media informasi utama yang digandrungi publik. Joesoef mulai meniti karir di bidang jurnalistik pada masa Hindia Belanda hingga pada masa Jepang menduduki Indonesia pada 1942.
Catataan tentang perjalanan karir Joesoef ditulis secara apik di buku bertajuk Sedjarah Radio di Indonesia yang diterbitkan Kementerian Penerangan RI pada 1953. Dalam buku tersebut dikisahkan, Joesoef sempat bekerja di pemerintahan Hindia Belanda. Ketika Jepang menduduki Indonesia pada 1942, Joesoef bergabung dengan Keimin Bunka Sidhoso atau Pusat Kebudayaan. (Baca: Karomah Pusaka Sunan Kalijaga, Rompi Ontokusumo dan Keris Kiai Carubuk )
Setelah setahun di Keimin Bunka Sidhoso (halaman 263), pada 1943, Joesoef diterima sebagai wartawan Hoso Kyoku, sebuah stasiun radio militer Jepang, tepatnya milik Tomo Bachi, seorang perwira Jepang. Di tempat ini, selain Joesoef, juga ada Bachtiar Loebis, kakak kandung Mochtar Loebis.
Di Indonesia, semua stasiun radio milik pemerintah Jepang berada di bawah koordinasi Kantor Berita Domei. Syahruddin, yang membawa selembar kertas ke Joesoef bekerja di kantor berita Domei.Peran media radio pascapembacaan proklamasi sangat sentral. Ketika Jepang kalah dalam Perang Asia Timur Raya pada 1945 dan dipastikan minggat dari Indonesia, Joesoef sudah memikirkan agar Indonesia memiliki radio sendiri.
Karena itu, meskipun dirinya nyaris mati disabet samurai, Joesoef Ronodipoero untuk terus berjuang untuk mewujudkan niatnya. Dibantu seorang dokter bernama Abdulrahman Saleh, dokter yang merawatnya setelah disiksa Jepang, Joesoef membuat alat pemancar radio dari barang-barang bekas.
Upayanya ini ternyata berhasil. Ini merupakan pemancar radio pertama milik orang Indonesia, meskipun tidak diakui secara resmi. Hasil karyanya ini kemudian dinamakan Radio Suara Indonesia Merdeka atau The Voice of Free Indonesia.
Dalam buku M. Yusuf Ronodipuro Bapak RRI (2005) karya Winarto diceritakan, pada 25 Agustus 1945, untuk pertama kalinya, pidato Sukarno sebagai Presiden disiarkan melalui The Voice of Free Indonesia buatan Josoef. Pidato tersebut digemakan melalui Radio Suara Merdeka ciptaan Joesoef. Pada 29 Agustus 1945 pidato Wakil Presiden RI Mohammad Hatta juga disiarkan lewat stasiun yang sama (halaman 26).
Pejuang Revolusi
tulis komentar anda