Kesaktian Kyai Cokro, Pusaka Andalan Pangeran Diponegoro Simbol Melawan Kebatilan dan Kezaliman
Minggu, 09 Juli 2023 - 10:10 WIB
Pandu menjelaskan, seorang pangeran tak dapat memberikan perintah kepada sesama pangeran. Guna mempermudah rantai komando organisasi, maka gelar tersebut disematkan dan digunakan Pangeran Diponegoro sebagai penanda Pemimpin Tertinggi Perang Jawa.
Sosok Pangeran Diponegoro lahir 11 November 1785 dan wafat pada 8 Januari 1855. Pangeran Diponegoro memimpin Perang Jawa selama periode 1825 hingga 1830.
Perang Jawa menelan korban terbanyak dalam sejarah Indonesia, yakni 8.000 korban serdadu Belanda, 7.000 warga pribumi, dan 200 ribu penduduk Jawa serta kerugian materi 25 juta Gulden.
Diketahui ada kurang lebih 39 pangeran atau lebih dari separuh pangeran keraton berdiri di barisan Pangeran Diponegoro.
“Jadi penggunaan gelar tersebut tidak untuk menentang institusi keraton dan rajanya, namun digunakan untuk melawan Belanda dan londo ireng (pribumi yang memihak Belanda)" urainya.
Para pihak yang berseberangan menganggap bahwa gerakan dan pasukan Pangeran Diponegoro identik dengan makar atau pemberontakan, bahkan berandalan.
Narasi ini terdapat dalam Babad Diponegoro lan Babad Nagari Purworejo karya Tjokronegoro I, Bupati Pertama Purwarejo yang memihak Belanda.
"Saat ini, keberadaan Kanjeng Kyai Cokro dan beberapa artefak pusaka peninggalan Pangeran Diponegoro, seperti Keris Kanjeng Kyai Nogo Siluman, Tombak Kanjeng Kyai Rondhan, pelana kuda Kyai Gentayu dan lain-lain tersimpan dan menjadi koleksi Museum Nasional, Jakarta," tandas Pandu.
Sosok Pangeran Diponegoro lahir 11 November 1785 dan wafat pada 8 Januari 1855. Pangeran Diponegoro memimpin Perang Jawa selama periode 1825 hingga 1830.
Perang Jawa menelan korban terbanyak dalam sejarah Indonesia, yakni 8.000 korban serdadu Belanda, 7.000 warga pribumi, dan 200 ribu penduduk Jawa serta kerugian materi 25 juta Gulden.
Diketahui ada kurang lebih 39 pangeran atau lebih dari separuh pangeran keraton berdiri di barisan Pangeran Diponegoro.
“Jadi penggunaan gelar tersebut tidak untuk menentang institusi keraton dan rajanya, namun digunakan untuk melawan Belanda dan londo ireng (pribumi yang memihak Belanda)" urainya.
Para pihak yang berseberangan menganggap bahwa gerakan dan pasukan Pangeran Diponegoro identik dengan makar atau pemberontakan, bahkan berandalan.
Narasi ini terdapat dalam Babad Diponegoro lan Babad Nagari Purworejo karya Tjokronegoro I, Bupati Pertama Purwarejo yang memihak Belanda.
"Saat ini, keberadaan Kanjeng Kyai Cokro dan beberapa artefak pusaka peninggalan Pangeran Diponegoro, seperti Keris Kanjeng Kyai Nogo Siluman, Tombak Kanjeng Kyai Rondhan, pelana kuda Kyai Gentayu dan lain-lain tersimpan dan menjadi koleksi Museum Nasional, Jakarta," tandas Pandu.
(shf)
tulis komentar anda