Misteri Batu Berlubang Peninggalan Kerajaan Minangkabau
Senin, 06 Maret 2023 - 05:11 WIB
Sebagai tanda upacara didirikanlah Batu Tagak yang kemudian kita kenal sebagai menhir. Batu Tagak ini kemudian berubah fungsi, sebagian menjadi tanda penghormatan kepada arwah nenek moyang, dan sebagian tempat bermusyawarah yang kemudian kita kenal dengan nama Medan nan Bapaneh.
Prasasti Batu Batikam menjadi salah satu bukti keberadaan Kerajaan Minangkabau. Datuk Katumanggungan adalah Raja Kerajaan Bungo Satangkai yang berpusat di Sungai Tarab. Sedangkan Datuk Perpatih Nan Sabatang adalah Raja Nagari Limo Kaum XII Koto dan IX Koto di Dalam.
Keduanya merupakan raja di wilayah Minangkabau di zaman Neolitikum. Kedua raja ini berselisih paham soal penerapan sistem adat dalam pemerintahannya. Datuak Parpatiah menginginkan masyarakat diatur dalam semangat yang demokratis, atau dalam tatanannya.
"Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi". Namun Datuak Katumanggungan menginginkan rakyat diatur dalam tatanan yang hierarki berjenjang sama naik, bertangga sama turun".
Karena perbedaan tersebut mereka berdua bertengkar hebat. Untuk menghindari pertikaian dan tidak saling melukai, dengan kesaktian Datuak Perpatih, dan Datuak Katumanggungan mereka kemudian menikam batu tersebut dengan keris sebagai pelampiasan emosinya.
Maka dari itu Batu Batikam memiliki sebuah lubang yang menembus dari arah sisi depan dan belakang. Oleh kedua penerus kerajaan tersebut, Batu Batikam difungsikan sebagai medan nan bapaneh atau tempat bermusyawarah para kepala suku.
Hingga saat ini, pendapat yang berbeda antara Datuk Parpatih nan Sabatang dan Datuk Katumanggungan masih terlihat dari adanya dua keselarasan di Minangkabau, yakni keselarasan Koto Pilang, yang mencerminkan sistem kekuasaan ala Datuk Katumanggungan, dan keselarasan Bodi Chaniago yang merupakan perwujudan sistem pemerintahan ala Datuk Parpatih Nan Sabatang.
Prasasti Batu Batikam menjadi salah satu bukti keberadaan Kerajaan Minangkabau. Datuk Katumanggungan adalah Raja Kerajaan Bungo Satangkai yang berpusat di Sungai Tarab. Sedangkan Datuk Perpatih Nan Sabatang adalah Raja Nagari Limo Kaum XII Koto dan IX Koto di Dalam.
Keduanya merupakan raja di wilayah Minangkabau di zaman Neolitikum. Kedua raja ini berselisih paham soal penerapan sistem adat dalam pemerintahannya. Datuak Parpatiah menginginkan masyarakat diatur dalam semangat yang demokratis, atau dalam tatanannya.
Baca Juga
"Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi". Namun Datuak Katumanggungan menginginkan rakyat diatur dalam tatanan yang hierarki berjenjang sama naik, bertangga sama turun".
Karena perbedaan tersebut mereka berdua bertengkar hebat. Untuk menghindari pertikaian dan tidak saling melukai, dengan kesaktian Datuak Perpatih, dan Datuak Katumanggungan mereka kemudian menikam batu tersebut dengan keris sebagai pelampiasan emosinya.
Maka dari itu Batu Batikam memiliki sebuah lubang yang menembus dari arah sisi depan dan belakang. Oleh kedua penerus kerajaan tersebut, Batu Batikam difungsikan sebagai medan nan bapaneh atau tempat bermusyawarah para kepala suku.
Hingga saat ini, pendapat yang berbeda antara Datuk Parpatih nan Sabatang dan Datuk Katumanggungan masih terlihat dari adanya dua keselarasan di Minangkabau, yakni keselarasan Koto Pilang, yang mencerminkan sistem kekuasaan ala Datuk Katumanggungan, dan keselarasan Bodi Chaniago yang merupakan perwujudan sistem pemerintahan ala Datuk Parpatih Nan Sabatang.
(eyt)
tulis komentar anda