Terungkap! Murka dan Pemberontakan Diponegoro Bukan soal Proyek Jalan Kereta Api Melindas Makam Leluhur
Senin, 20 Februari 2023 - 07:05 WIB
Bernama kecil Ontowiryo, Pangeran Diponegoro merupakan putra sulung Hamengku Buwono III dari Garwa Ampeyan.
Sejak kecil ia di bawah asuhan neneknya, yakni Ratu Ageng, istri Sultan Hamengku Buwono I yang memilih bertempat tinggal di Tegalrejo, Yogyakarta.
Saat remaja hingga tumbuh dewasa, jalan pikiran Diponegoro banyak dipengaruhi neneknya.
Di dalem Tegalrejo yang berjarak jauh dari lingkungan keraton Yogyakarta, Diponegoro muda digembleng ilmu agama Islam serta kepemimpinan. Ia lebih banyak bergaul dengan para alim ulama.
Kemarahan Diponegoro terhadap kolonial Belanda sudah menumpuk. Ia juga geram melihat Residen Yogya terus berusaha memajukan adat dan pakaian Eropa di lingkungan keraton.
Kekesalannya semakin tidak bisa didamaikan begitu tahu semakin banyak tanah yang disewakan kepada orang Eropa. Tanah-tanah dipakai bisnis perkebunan.
Situasi sosial itu yang membuat Diponegoro semakin jarang mendatangi keraton Yogyakarta yang dianggapnya berafiliasi dengan Belanda.
“Residen dan patih menetapkan putusan-putusan dan menjalankan tindakan-tindakan dengan tidak berunding lebih dahulu dengan Diponegoro dan Mangkubumi. Hal ini menambah kemarahan Diponegoro”.
Pangeran Diponegoro mengambil langkah dengan membangun pesanggrahan di kawasan Desa Dekso. Lokasi untuk markas pasukannya itu berada di atas pertemuan sungai Tinalah dan sungai Klegung.
Sejak kecil ia di bawah asuhan neneknya, yakni Ratu Ageng, istri Sultan Hamengku Buwono I yang memilih bertempat tinggal di Tegalrejo, Yogyakarta.
Saat remaja hingga tumbuh dewasa, jalan pikiran Diponegoro banyak dipengaruhi neneknya.
Baca Juga
Di dalem Tegalrejo yang berjarak jauh dari lingkungan keraton Yogyakarta, Diponegoro muda digembleng ilmu agama Islam serta kepemimpinan. Ia lebih banyak bergaul dengan para alim ulama.
Kemarahan Diponegoro terhadap kolonial Belanda sudah menumpuk. Ia juga geram melihat Residen Yogya terus berusaha memajukan adat dan pakaian Eropa di lingkungan keraton.
Kekesalannya semakin tidak bisa didamaikan begitu tahu semakin banyak tanah yang disewakan kepada orang Eropa. Tanah-tanah dipakai bisnis perkebunan.
Situasi sosial itu yang membuat Diponegoro semakin jarang mendatangi keraton Yogyakarta yang dianggapnya berafiliasi dengan Belanda.
“Residen dan patih menetapkan putusan-putusan dan menjalankan tindakan-tindakan dengan tidak berunding lebih dahulu dengan Diponegoro dan Mangkubumi. Hal ini menambah kemarahan Diponegoro”.
Pangeran Diponegoro mengambil langkah dengan membangun pesanggrahan di kawasan Desa Dekso. Lokasi untuk markas pasukannya itu berada di atas pertemuan sungai Tinalah dan sungai Klegung.
tulis komentar anda