Terungkap! Murka dan Pemberontakan Diponegoro Bukan soal Proyek Jalan Kereta Api Melindas Makam Leluhur
loading...
A
A
A
MURKA Pangeran Diponegoro yang berujung pemberontakan bukan lah karena proyek jalan kereta api yang melindas makam leluhur. Ternyata, itu hanya lah pemicu pemberontakan (1825-1830).
Kemarahan Diponegoro yang lantas memerintahkan para pengikutnya mencabuti patok-patok batas proyek jalan kereta api adalah akumulasi. Sebagai puncak akumulasi kemarahan, pasukan perang berjumlah besar pun dihimpunnya.
Pangeran Diponegoro sudah lama tidak menyukai Belanda. Terutama saat kolonial Belanda terlalu dalam mencampuri urusan keraton Yogyakarta. Peristiwa itu terjadi pascamangkatnya Sultan Hamengku Buwono IV pada tahun 1820.
Pemerintah Belanda mendudukkan Raden Mas Menol, Putra Sultan Hamengku Buwono IV sebagai sultan pengganti.
Karena Mas Menol masih anak-anak, Belanda lantas mengangkat Diponegoro, Pangeran Mangkubumi, Ratu Kencono (ibu Sultan) dan Ratu Ageng (nenek Sultan) sebagai wali.
Sementara untuk urusan pemerintahan keraton, Belanda menyerahkan kepada patih dengan pengawasan residen. Pengaturan itu, terutama soal kewalian sengaja dilakukan dengan tujuan untuk menyempitkan kekuasaan Diponegoro.
Pengaturan wali yang dianggap menyimpangi tradisi keraton, ditambah tidak adanya upaya Belanda berunding lebih dulu, telah memanaskan hati Pangeran Diponegoro.
“Belanda mengetahui bahwa Diponegoro tidak berafiliasi terhadapnya,” demikian dikutip dari buku Sejarah Nusantara Yang Disembunyikan (2019).
Bernama kecil Ontowiryo, Pangeran Diponegoro merupakan putra sulung Hamengku Buwono III dari Garwa Ampeyan.
Sejak kecil ia di bawah asuhan neneknya, yakni Ratu Ageng, istri Sultan Hamengku Buwono I yang memilih bertempat tinggal di Tegalrejo, Yogyakarta.
Saat remaja hingga tumbuh dewasa, jalan pikiran Diponegoro banyak dipengaruhi neneknya.
Di dalem Tegalrejo yang berjarak jauh dari lingkungan keraton Yogyakarta, Diponegoro muda digembleng ilmu agama Islam serta kepemimpinan. Ia lebih banyak bergaul dengan para alim ulama.
Kemarahan Diponegoro terhadap kolonial Belanda sudah menumpuk. Ia juga geram melihat Residen Yogya terus berusaha memajukan adat dan pakaian Eropa di lingkungan keraton.
Kekesalannya semakin tidak bisa didamaikan begitu tahu semakin banyak tanah yang disewakan kepada orang Eropa. Tanah-tanah dipakai bisnis perkebunan.
Situasi sosial itu yang membuat Diponegoro semakin jarang mendatangi keraton Yogyakarta yang dianggapnya berafiliasi dengan Belanda.
“Residen dan patih menetapkan putusan-putusan dan menjalankan tindakan-tindakan dengan tidak berunding lebih dahulu dengan Diponegoro dan Mangkubumi. Hal ini menambah kemarahan Diponegoro”.
Pangeran Diponegoro mengambil langkah dengan membangun pesanggrahan di kawasan Desa Dekso. Lokasi untuk markas pasukannya itu berada di atas pertemuan sungai Tinalah dan sungai Klegung.
Pesanggrahan itu dikonsep sebagaimana sebuah pemerintahan tradisional keraton yang mengambil tempat alam terbuka. Nicolaus Engelhard menuliskan bahwa Diponegoro memiliki kerangka pikir yang mengarah pada pembentukan keraton baru.
Pangeran Bei Joyokusumo bersama Kiai Mojo dan Pangeran Mangkubumi bersepakat mengangkat Pangeran Diponegoro sebagai raja bagi rakyat yang tidak suka terhadap Belanda dan keraton Yogyakarta.
Pangeran Diponegoro mendapat gelar baru Sultan bagi rakyat Jawa yang tertindas. Perang Diponegoro atau Perang Jawa (1825-1830) berakhir dengan ditangkapnya Diponegoro di Magelang.
Pada 8 Januari 1855 Diponegoro wafat dalam pembuangan di benteng Rotterdam di Makassar.
Lihat Juga: Kisah Tumenggung Pati Pembisik Sultan Amangkurat I Meredam Konflik Kesultanan Mataram dengan Banten
Kemarahan Diponegoro yang lantas memerintahkan para pengikutnya mencabuti patok-patok batas proyek jalan kereta api adalah akumulasi. Sebagai puncak akumulasi kemarahan, pasukan perang berjumlah besar pun dihimpunnya.
Pangeran Diponegoro sudah lama tidak menyukai Belanda. Terutama saat kolonial Belanda terlalu dalam mencampuri urusan keraton Yogyakarta. Peristiwa itu terjadi pascamangkatnya Sultan Hamengku Buwono IV pada tahun 1820.
Pemerintah Belanda mendudukkan Raden Mas Menol, Putra Sultan Hamengku Buwono IV sebagai sultan pengganti.
Karena Mas Menol masih anak-anak, Belanda lantas mengangkat Diponegoro, Pangeran Mangkubumi, Ratu Kencono (ibu Sultan) dan Ratu Ageng (nenek Sultan) sebagai wali.
Sementara untuk urusan pemerintahan keraton, Belanda menyerahkan kepada patih dengan pengawasan residen. Pengaturan itu, terutama soal kewalian sengaja dilakukan dengan tujuan untuk menyempitkan kekuasaan Diponegoro.
Pengaturan wali yang dianggap menyimpangi tradisi keraton, ditambah tidak adanya upaya Belanda berunding lebih dulu, telah memanaskan hati Pangeran Diponegoro.
“Belanda mengetahui bahwa Diponegoro tidak berafiliasi terhadapnya,” demikian dikutip dari buku Sejarah Nusantara Yang Disembunyikan (2019).
Bernama kecil Ontowiryo, Pangeran Diponegoro merupakan putra sulung Hamengku Buwono III dari Garwa Ampeyan.
Sejak kecil ia di bawah asuhan neneknya, yakni Ratu Ageng, istri Sultan Hamengku Buwono I yang memilih bertempat tinggal di Tegalrejo, Yogyakarta.
Saat remaja hingga tumbuh dewasa, jalan pikiran Diponegoro banyak dipengaruhi neneknya.
Di dalem Tegalrejo yang berjarak jauh dari lingkungan keraton Yogyakarta, Diponegoro muda digembleng ilmu agama Islam serta kepemimpinan. Ia lebih banyak bergaul dengan para alim ulama.
Kemarahan Diponegoro terhadap kolonial Belanda sudah menumpuk. Ia juga geram melihat Residen Yogya terus berusaha memajukan adat dan pakaian Eropa di lingkungan keraton.
Kekesalannya semakin tidak bisa didamaikan begitu tahu semakin banyak tanah yang disewakan kepada orang Eropa. Tanah-tanah dipakai bisnis perkebunan.
Situasi sosial itu yang membuat Diponegoro semakin jarang mendatangi keraton Yogyakarta yang dianggapnya berafiliasi dengan Belanda.
“Residen dan patih menetapkan putusan-putusan dan menjalankan tindakan-tindakan dengan tidak berunding lebih dahulu dengan Diponegoro dan Mangkubumi. Hal ini menambah kemarahan Diponegoro”.
Pangeran Diponegoro mengambil langkah dengan membangun pesanggrahan di kawasan Desa Dekso. Lokasi untuk markas pasukannya itu berada di atas pertemuan sungai Tinalah dan sungai Klegung.
Pesanggrahan itu dikonsep sebagaimana sebuah pemerintahan tradisional keraton yang mengambil tempat alam terbuka. Nicolaus Engelhard menuliskan bahwa Diponegoro memiliki kerangka pikir yang mengarah pada pembentukan keraton baru.
Pangeran Bei Joyokusumo bersama Kiai Mojo dan Pangeran Mangkubumi bersepakat mengangkat Pangeran Diponegoro sebagai raja bagi rakyat yang tidak suka terhadap Belanda dan keraton Yogyakarta.
Pangeran Diponegoro mendapat gelar baru Sultan bagi rakyat Jawa yang tertindas. Perang Diponegoro atau Perang Jawa (1825-1830) berakhir dengan ditangkapnya Diponegoro di Magelang.
Pada 8 Januari 1855 Diponegoro wafat dalam pembuangan di benteng Rotterdam di Makassar.
Lihat Juga: Kisah Tumenggung Pati Pembisik Sultan Amangkurat I Meredam Konflik Kesultanan Mataram dengan Banten
(nic)