Kisah Kerakusan Ratu Sakti, Raja Pajajaran yang Merampas Harta Rakyat dan Menikahi Selir Ayah
loading...
A
A
A
Perjalanan Kerajaan Pajajaran, semakin surut ketika Ratu Sakti naik takhta menjadi raja ke empat Kerajaan Pajajaran. Dia memerintah Kerajaan Pajajaran, pada tahun 1543-1551 Masehi. Ratu Sakti hanya sempat menikmati takhta selama delapan tahun, sebelum akhirnya dikudeta oleh Ratu Nilakendra.
Diharapkan mampu menjadi raja yang kuat bagi Kerajaan Pajajaran, ternyata perilaku Ratu Sakti justru sangat buruk. Fery Taufiq El-Jaquene mengisahkan, Sejak Ratu Sakti naik takhta, Kerajaan Pajajaran ditimpa masalah kompleks.
Masyarakat sudah tidak percaya lagi dengan pemerintahan Ratu Sakti, karena kelaparan merajalela, dibarengi dengan kemaksiatan dan kejahatan. Saat rakyat mengalami bencana kelaparan, Kerajaan Pajajaran tidak memasok kebutuhan pokok rakyat.
Ratu Sakti justru lebih suka mabuk-mabukan, dan jauh dari agama. Tak hanya itu, Ratu Sakti juga tidak mempedulikan tatanan hukum negara, sehingga rakyat mulai membangkang.
Dikisahkan Fery Taufiq El-Jaquene, Ratu Sakti memiliki moral buruk, memberlakukan hukum semena-mena terhadap masyarakat kecil, yakni dengan menghukum mati penduduk, merampas harta masyarakat tanpa alasan pasti.
Ratu Sakti juga dicap sebagai raja yang berani melanggar adat keraton, sebab telah mengawini seorang putri larangan dari keluaran yang dilarang adat secara keras. Bahkan, Ratu Sakti juga memperistri ibu tirinya.
Dalam Carita Parahiyangan, juga dituliskan tentang keburukan Ratu Sakti, yang berbunyi "Aja tinut de sang kawuri polah sang nata", yang artinya "Janganlah ditiru kelakuan raja ini oleh mereka yang kemudian menggantikannya".
Rakyat Kerajaan Pajajaran, tak lagi mengurusi Kerajaan Pajajaran, karena sedang mendapatkan gangguan dari luar, seperti dari Banten, Cirebon, dan Demak. Rakyat Kerajaan Pajajaran, lebih fokus mengurusi diri sendiri untuk menyelamatkan keluarga masing-masing.
Diharapkan mampu menjadi raja yang kuat bagi Kerajaan Pajajaran, ternyata perilaku Ratu Sakti justru sangat buruk. Fery Taufiq El-Jaquene mengisahkan, Sejak Ratu Sakti naik takhta, Kerajaan Pajajaran ditimpa masalah kompleks.
Masyarakat sudah tidak percaya lagi dengan pemerintahan Ratu Sakti, karena kelaparan merajalela, dibarengi dengan kemaksiatan dan kejahatan. Saat rakyat mengalami bencana kelaparan, Kerajaan Pajajaran tidak memasok kebutuhan pokok rakyat.
Ratu Sakti justru lebih suka mabuk-mabukan, dan jauh dari agama. Tak hanya itu, Ratu Sakti juga tidak mempedulikan tatanan hukum negara, sehingga rakyat mulai membangkang.
Dikisahkan Fery Taufiq El-Jaquene, Ratu Sakti memiliki moral buruk, memberlakukan hukum semena-mena terhadap masyarakat kecil, yakni dengan menghukum mati penduduk, merampas harta masyarakat tanpa alasan pasti.
Ratu Sakti juga dicap sebagai raja yang berani melanggar adat keraton, sebab telah mengawini seorang putri larangan dari keluaran yang dilarang adat secara keras. Bahkan, Ratu Sakti juga memperistri ibu tirinya.
Dalam Carita Parahiyangan, juga dituliskan tentang keburukan Ratu Sakti, yang berbunyi "Aja tinut de sang kawuri polah sang nata", yang artinya "Janganlah ditiru kelakuan raja ini oleh mereka yang kemudian menggantikannya".
Rakyat Kerajaan Pajajaran, tak lagi mengurusi Kerajaan Pajajaran, karena sedang mendapatkan gangguan dari luar, seperti dari Banten, Cirebon, dan Demak. Rakyat Kerajaan Pajajaran, lebih fokus mengurusi diri sendiri untuk menyelamatkan keluarga masing-masing.