Kisah Syekh Mutamakkin, Ajaran Tasawufnya Meresahkan Ulama Istana Mataram
loading...
A
A
A
Syiar Syekh Ahmad al-Mutamakkin atau Syekh Mutamakkin atau Ki Cebolek kepada masyarakat Tuban , Jawa Timur mengusik sejumlah ulama setempat. Ajaran wahdatul wujud atau manunggaling kawula gusti yang dibeberkan, telah meresahkan.
Syekh Mutamakkin mengajarkan ilmu hakekat kepada masyarakat awam yang baru belajar Islam. Dia mengajarkan tasawuf Islam dengan mendedah Serat Dewaruci. Bagi pandangan ulama Tuban, apa yang dilakukan Syekh Mutamakkin dianggap menyimpang.
Katib Anom Kudus, seorang ulama kraton Mataram Islam menegaskan, sepak terjang Mutamakkin harus dihentikan. Katib Anom Kudus didukung Katib Witana asal Surabaya dan Katib Busu dari Gresik. Mereka membawa tudingan kesesatan itu ke dalam kerajaan.
Dalam serat Cebolek karya Raden Ngabehi Yosodipuro I (1729-1803), tudingan kesesatan Syekh Mutamakkin disampaikan kepada raja Mataram Islam, Susuhunan Amangkurat IV (1719-1726). Termasuk tentang dua ekor anjing piaraan Syekh Mutamakkin yang bernama Abdul Qohhar dan Qomaruddin, juga dilaporkan.
Pemakaian nama Abdul Qohhar dan Qomaruddin dinilai penistaan, karena serupa dengan nama penghulu dan katib di Tuban. Isi Serat Cebolek menempatkan Syekh Mutamakkin sebagai pihak yang terpojok tanpa bisa membela diri.
“Serat Cebolek mewakili cerita dari pihak penguasa,” tulis M Solahudin dalam Napak Tilas Masyayikh Biografi 25 Pendiri Pesantren Tua di Jawa-Madura.
Syekh Mutamakkin diperkirakan lahir tahun 1645 di Desa Cebolek, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Saat ini Desa Cebolek telah berganti nama menjadi Desa Winong. Hal itu juga yang membuat Syekh Mutamakkin kerap dipanggil Ki Cebolek atau Mbah Mbolek.
Ayah Syekh Mutamakkin adalah Pangeran Benowo II atau Raden Sumahadinegara yang pada tahun 1617 hijrah ke Giri (Gresik) untuk mencari suaka. Peristiwa itu terjadi saat Kerajaan Mataram Islam menyerang Kerajaan Pajang. Sementara ibunda Syekh Mutamakkin merupakan keturunan Sayyid Ali Bejagung, Tuban.
“Nama ningrat Syekh Ahmad al-Mutamakkin adalah Sumahadiwijaya,” tulis M Solahudin dalam Napak Tilas Masyayikh Biografi 25 Pendiri Pesantren Tua di Jawa-Madura.
Nama al-Mutamakkin yang berarti orang yang meneguhkan hati atau orang yang diyakini kesuciannya, diperoleh Syekh Mutamakkin sepulang menimba ilmu di Timur Tengah. Syekh Mutamakkin pernah berguru kepada Syekh Yusuf Makassar (wafat 1699).
Dalam Serat Cebolek juga disebutkan, saat di Timur Tengah Mbah Mutamakkin juga berguru kepada Seh Jen atau Syekh Zain atau Syekh Muhammad Zain al-Mizjaji al-Yamani, yakni tokoh Tarekat Naqsyabandiyah.
Sepulang dari Timur Tengah, Mbah Mutamakkin tidak kembali ke Tuban, melainkan menetap di Kajen Pati Jawa Tengah karena kapal yang ia tumpangi terdampar. Pada masa Pakubuwono II (1726-1749), desakan para ulama untuk menghukum Syekh Mutamakkin kembali bergolak.
Kesesatan Syekh Mutamakkin disamakan dengan Syekh Siti Jenar (masa Kerajaan Demak) dan Syekh Amongraga (masa Kerajaan Mataram Islam awal), dan karena itu para penudingnya mengusulkan untuk dihukum bakar. Namun oleh Pakubuwono II, permintaan itu tidak dikabulkan.
Sebagai gantinya, Syekh Mutamakkin dipanggil untuk menjelaskan ajaran tasawuf yang didedahkan dalam Serat Dewaruci. Ia diadili di depan para ulama lain, terutama dihadap-hadapkan dengan Katib Anom Kudus yang sejak awal menudingnya sesat.
Kedua ulama itu kemudian berdebat. Semua pengetahuan keagamaan didedah sekaligus untuk membuktikan siapa yang benar. Dalam teks Kajen menyebut Syekh Mutamakkin terbukti lebih alim
sekaligus lebih menguasai ilmu tasawuf dibanding Katib Anom Kudus.
Syekh Mutamakkin menafsirkan teks Serat Dewaruci yang ajaran intinya adalah mencapai insan kamil. Sufisme dan syariah tidak dalam posisi meniadakan satu sama lain. Polemik pun selesai dan ditutup dengan melaksanakan salat Jumat bersama.
“Kebijaksanaan dan keadilan sang raja sebagai seorang sufi digambarkan dengan pengampunan yang diberikan kepada Al-Mutamakkin,” demikian tertulis dalam Intelektualisme Pesantren, Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren.
Syekh Mutamakkin wafat pada tahun 1740 dan dimakamkan di Kajen, Pati Jawa Tengah. Dari berbagai sumber yang dihimpun, keturunan Syekh Mutamakkin terbagi atas tiga keluarga besar (bani), yakni Siroj, Nawawi dan Salam.
Dari ketiga keluarga besar itu lahir banyak pendiri sekaligus pengasuh pesantren di Kajen, Pati. Salah satu keturunan Syekh Mutamakkin adalah almarhum KH Sahal Mahfudz, mantan Rais Aam PBNU.
Lihat Juga: Kisah Tumenggung Pati Pembisik Sultan Amangkurat I Meredam Konflik Kesultanan Mataram dengan Banten
Syekh Mutamakkin mengajarkan ilmu hakekat kepada masyarakat awam yang baru belajar Islam. Dia mengajarkan tasawuf Islam dengan mendedah Serat Dewaruci. Bagi pandangan ulama Tuban, apa yang dilakukan Syekh Mutamakkin dianggap menyimpang.
Katib Anom Kudus, seorang ulama kraton Mataram Islam menegaskan, sepak terjang Mutamakkin harus dihentikan. Katib Anom Kudus didukung Katib Witana asal Surabaya dan Katib Busu dari Gresik. Mereka membawa tudingan kesesatan itu ke dalam kerajaan.
Dalam serat Cebolek karya Raden Ngabehi Yosodipuro I (1729-1803), tudingan kesesatan Syekh Mutamakkin disampaikan kepada raja Mataram Islam, Susuhunan Amangkurat IV (1719-1726). Termasuk tentang dua ekor anjing piaraan Syekh Mutamakkin yang bernama Abdul Qohhar dan Qomaruddin, juga dilaporkan.
Pemakaian nama Abdul Qohhar dan Qomaruddin dinilai penistaan, karena serupa dengan nama penghulu dan katib di Tuban. Isi Serat Cebolek menempatkan Syekh Mutamakkin sebagai pihak yang terpojok tanpa bisa membela diri.
“Serat Cebolek mewakili cerita dari pihak penguasa,” tulis M Solahudin dalam Napak Tilas Masyayikh Biografi 25 Pendiri Pesantren Tua di Jawa-Madura.
Syekh Mutamakkin diperkirakan lahir tahun 1645 di Desa Cebolek, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Saat ini Desa Cebolek telah berganti nama menjadi Desa Winong. Hal itu juga yang membuat Syekh Mutamakkin kerap dipanggil Ki Cebolek atau Mbah Mbolek.
Ayah Syekh Mutamakkin adalah Pangeran Benowo II atau Raden Sumahadinegara yang pada tahun 1617 hijrah ke Giri (Gresik) untuk mencari suaka. Peristiwa itu terjadi saat Kerajaan Mataram Islam menyerang Kerajaan Pajang. Sementara ibunda Syekh Mutamakkin merupakan keturunan Sayyid Ali Bejagung, Tuban.
“Nama ningrat Syekh Ahmad al-Mutamakkin adalah Sumahadiwijaya,” tulis M Solahudin dalam Napak Tilas Masyayikh Biografi 25 Pendiri Pesantren Tua di Jawa-Madura.
Nama al-Mutamakkin yang berarti orang yang meneguhkan hati atau orang yang diyakini kesuciannya, diperoleh Syekh Mutamakkin sepulang menimba ilmu di Timur Tengah. Syekh Mutamakkin pernah berguru kepada Syekh Yusuf Makassar (wafat 1699).
Dalam Serat Cebolek juga disebutkan, saat di Timur Tengah Mbah Mutamakkin juga berguru kepada Seh Jen atau Syekh Zain atau Syekh Muhammad Zain al-Mizjaji al-Yamani, yakni tokoh Tarekat Naqsyabandiyah.
Sepulang dari Timur Tengah, Mbah Mutamakkin tidak kembali ke Tuban, melainkan menetap di Kajen Pati Jawa Tengah karena kapal yang ia tumpangi terdampar. Pada masa Pakubuwono II (1726-1749), desakan para ulama untuk menghukum Syekh Mutamakkin kembali bergolak.
Kesesatan Syekh Mutamakkin disamakan dengan Syekh Siti Jenar (masa Kerajaan Demak) dan Syekh Amongraga (masa Kerajaan Mataram Islam awal), dan karena itu para penudingnya mengusulkan untuk dihukum bakar. Namun oleh Pakubuwono II, permintaan itu tidak dikabulkan.
Sebagai gantinya, Syekh Mutamakkin dipanggil untuk menjelaskan ajaran tasawuf yang didedahkan dalam Serat Dewaruci. Ia diadili di depan para ulama lain, terutama dihadap-hadapkan dengan Katib Anom Kudus yang sejak awal menudingnya sesat.
Kedua ulama itu kemudian berdebat. Semua pengetahuan keagamaan didedah sekaligus untuk membuktikan siapa yang benar. Dalam teks Kajen menyebut Syekh Mutamakkin terbukti lebih alim
sekaligus lebih menguasai ilmu tasawuf dibanding Katib Anom Kudus.
Syekh Mutamakkin menafsirkan teks Serat Dewaruci yang ajaran intinya adalah mencapai insan kamil. Sufisme dan syariah tidak dalam posisi meniadakan satu sama lain. Polemik pun selesai dan ditutup dengan melaksanakan salat Jumat bersama.
“Kebijaksanaan dan keadilan sang raja sebagai seorang sufi digambarkan dengan pengampunan yang diberikan kepada Al-Mutamakkin,” demikian tertulis dalam Intelektualisme Pesantren, Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren.
Syekh Mutamakkin wafat pada tahun 1740 dan dimakamkan di Kajen, Pati Jawa Tengah. Dari berbagai sumber yang dihimpun, keturunan Syekh Mutamakkin terbagi atas tiga keluarga besar (bani), yakni Siroj, Nawawi dan Salam.
Dari ketiga keluarga besar itu lahir banyak pendiri sekaligus pengasuh pesantren di Kajen, Pati. Salah satu keturunan Syekh Mutamakkin adalah almarhum KH Sahal Mahfudz, mantan Rais Aam PBNU.
Lihat Juga: Kisah Tumenggung Pati Pembisik Sultan Amangkurat I Meredam Konflik Kesultanan Mataram dengan Banten
(nic)