Kisah Hilangnya Majapahit: Di Balik Kemegahan yang Lenyap Akibat Bencana Alam
loading...
A
A
A
Majapahit , kerajaan yang pernah berjaya di Nusantara, menyimpan misteri tentang akhir istananya yang megah. Konon, kompleks istana yang dikelilingi benteng setinggi 10 meter ini lenyap seketika akibat bencana alam. Namun, benarkah demikian?
Di luar area benteng, masih terdapat area kompleks permukiman para pejabat Majapahit mulai dari mahapatih Gajah Mada hingga Bhatara Matahun. Ada beberapa kompleks permukiman pula di area luar benteng.
Di sebelah timur ialah tempat tinggal Dharmadhyaksa Kasaiwan Hyang Brahmaraja dan para pendeta Siwa. Bahkan dikutip dari buku sejarawan Prof. Slamet Muljana, "Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit", di bagian selatan ialah tempat tinggal Dharmadhyaksa Kasogatan dan para pendeta Buddha. Di bagian barat ialah tempat tingga pada arya, menteri dan sanak kadang rajadiraja.
Di sebelah timur terpisah oleh jalan adalah pesanggrahan Bhatara Wengker Sri Wijayarajasa dan permaisurinya. Di sebelah selatan pesanggrahan Bhatara Wengker adalah pesanggrahan Bhatara Matahun Sri Rajasa wardhana dan permaisurinya Bhre Lasem. Kedua pesanggrahan itu terletak di sisi selatan tidak jauh dari istana Sang Prabhu.
Di bagian utara ada pasar, di belakang pasar itulah tempat pesanggrahan Bhatara Narapati. Sedangkan di sebelah timur laut keraton ialah rumah kediaman Patih Amangkubhumi Gajah Mada. Di sebelah selatan kraton ialah gedung kedhyaksaan diapit oleh perumahan para upapati dan pendeta. Di sebelah timur kedhyaksaan ialah perumahan pendeta Siwa, sedang di sebelah baratnya ialah perumahan pendeta Budha.
Ibukota dan istana Majapahit yang semegah itu telah lama musnah. Tidak ada tanda-tanda bahwa kemusnahannya disebabkan oleh musibah alam, yang berupa air bah atau letusan gunung berapi. Gunung Kelud yang sering meletus terletak jauh di sebelah selatan Majapahit, sedangkan Sungai Brantas yang mengalir ke arah utara dari Kediri ke Majakerta, terletak jauh di sebelah barat ibukota Majapahit.
Ibukota Majapahit terletak kira-kira 15 kilometer di sebelah selatan Majakerta, meliputi daerah Trawulan dan Tralaya. Di daerah Trawulan dan Tralaya kedapatan beberapa makam Muslim dari abad ke empat belas sampai abad ke-16. Pada maesan batu nisan Muslim itu dipahat tarikh Saka dengan huruf Jawa dan di sisinya tulisan Arab kebanyakan berupa kutipan Quran. Di desa Kedaton ditemukan batu nisan Muslim bertarikh Saka 1372 (1450 Masehi).
Sampai sekarang batu nisan Itu masih ada di situ, di Trawulan ada dua batu nisan Muslim dengan tarikh 1308 dan 1448 Masehi, di Tralaya batu nisan Muslim yang masih ada di tempat aslinya bertarikh 1376, 1380, 1407, 1418, 1420, 1487, 1407, 1460, 1475 dan 1611.
Seandainya kemusnahan ibukota Majapahit itu akibat bencana alam, batu - batu nisan itu pasti telah terpendam di bawah lahar atau di bawah tanah, atau hanyut kena aliran air bah. Gundukan tanah di atas Segaran dan Candi Tikus yang terbukti ialah bekas pemandian menunjukkan bahwa dua tempat tersebut sengaja ditimbuni tanah.
Kebalikannya Candi Bajang Ratu yang kiranya ialah pintu gerbang istana selatan, dan Candi Wringin Lawang, yang kiranya ialah pintu gerbang masuk kota Majapahit dari arah utara, tidak ditimbuni dengan tanah, karena tingginya.
Di luar area benteng, masih terdapat area kompleks permukiman para pejabat Majapahit mulai dari mahapatih Gajah Mada hingga Bhatara Matahun. Ada beberapa kompleks permukiman pula di area luar benteng.
Di sebelah timur ialah tempat tinggal Dharmadhyaksa Kasaiwan Hyang Brahmaraja dan para pendeta Siwa. Bahkan dikutip dari buku sejarawan Prof. Slamet Muljana, "Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit", di bagian selatan ialah tempat tinggal Dharmadhyaksa Kasogatan dan para pendeta Buddha. Di bagian barat ialah tempat tingga pada arya, menteri dan sanak kadang rajadiraja.
Di sebelah timur terpisah oleh jalan adalah pesanggrahan Bhatara Wengker Sri Wijayarajasa dan permaisurinya. Di sebelah selatan pesanggrahan Bhatara Wengker adalah pesanggrahan Bhatara Matahun Sri Rajasa wardhana dan permaisurinya Bhre Lasem. Kedua pesanggrahan itu terletak di sisi selatan tidak jauh dari istana Sang Prabhu.
Di bagian utara ada pasar, di belakang pasar itulah tempat pesanggrahan Bhatara Narapati. Sedangkan di sebelah timur laut keraton ialah rumah kediaman Patih Amangkubhumi Gajah Mada. Di sebelah selatan kraton ialah gedung kedhyaksaan diapit oleh perumahan para upapati dan pendeta. Di sebelah timur kedhyaksaan ialah perumahan pendeta Siwa, sedang di sebelah baratnya ialah perumahan pendeta Budha.
Ibukota dan istana Majapahit yang semegah itu telah lama musnah. Tidak ada tanda-tanda bahwa kemusnahannya disebabkan oleh musibah alam, yang berupa air bah atau letusan gunung berapi. Gunung Kelud yang sering meletus terletak jauh di sebelah selatan Majapahit, sedangkan Sungai Brantas yang mengalir ke arah utara dari Kediri ke Majakerta, terletak jauh di sebelah barat ibukota Majapahit.
Ibukota Majapahit terletak kira-kira 15 kilometer di sebelah selatan Majakerta, meliputi daerah Trawulan dan Tralaya. Di daerah Trawulan dan Tralaya kedapatan beberapa makam Muslim dari abad ke empat belas sampai abad ke-16. Pada maesan batu nisan Muslim itu dipahat tarikh Saka dengan huruf Jawa dan di sisinya tulisan Arab kebanyakan berupa kutipan Quran. Di desa Kedaton ditemukan batu nisan Muslim bertarikh Saka 1372 (1450 Masehi).
Sampai sekarang batu nisan Itu masih ada di situ, di Trawulan ada dua batu nisan Muslim dengan tarikh 1308 dan 1448 Masehi, di Tralaya batu nisan Muslim yang masih ada di tempat aslinya bertarikh 1376, 1380, 1407, 1418, 1420, 1487, 1407, 1460, 1475 dan 1611.
Seandainya kemusnahan ibukota Majapahit itu akibat bencana alam, batu - batu nisan itu pasti telah terpendam di bawah lahar atau di bawah tanah, atau hanyut kena aliran air bah. Gundukan tanah di atas Segaran dan Candi Tikus yang terbukti ialah bekas pemandian menunjukkan bahwa dua tempat tersebut sengaja ditimbuni tanah.
Kebalikannya Candi Bajang Ratu yang kiranya ialah pintu gerbang istana selatan, dan Candi Wringin Lawang, yang kiranya ialah pintu gerbang masuk kota Majapahit dari arah utara, tidak ditimbuni dengan tanah, karena tingginya.
(hri)