Cerita Ngeri Perang Puputan Bali, Perjuangan Heroik hingga Bunuh Diri Massal

Kamis, 23 Juni 2022 - 05:05 WIB
loading...
Cerita Ngeri Perang Puputan Bali, Perjuangan Heroik hingga Bunuh Diri Massal
Ilustrasi perang puputan Bali. Foto: Istimewa
A A A
BALI - Pulau Bali di balik keindahan alam serta keramahan warganya, menyimpan cerita sejarah perlawanan yang heroik sekaligus mengerikan. Sejarah perjuangan masyarakat Pulau Dewata itu terjadi di akhir abad 18, di masa penjajahan kolonial Belanda.

Salah satunya di Kerajaan Klungkung. Pada 18 April 1908, tanpa rasa gentar seujung kuku pun, Dewa Agoeng Gedeh atau Dewa Agung Gede, penguasa Kerajaan Klungkung Bali bersama keluarga dan rakyatnya, maju ke medan perang melawan kesewenang-wenangan penjajah.

“Raja hanya dikelilingi oleh 200 orang yang sebagian besar adalah wanita dan anak-anak-mengajukan diri sebagai seorang Bali sejati untuk melakukan poepoetan (Puputan),” tulis H H Van Kol, seperti dikutip dari buku Bali Tempo Doeloe.



Kerajaan Klungkung yang berlokasi di tenggara Pulau Bali (sekarang Kabupaten Klungkung) itu berdiri pada tahun 1668. Wilayah kerajaan yang didirikan Dewa Agung Jambe, meliputi pulau Nusa Ceningan, Nusa Lembongan, dan Nusa Penida yang berada lepas pantai selat Badung.

Dewa Agung Gede merupakan Susuhunan (penguasa tertinggi) atau raja berikutnya yang naik tahta.

Dewa Agung Gede dikenal sebagai raja yang baik, seorang penguasa yang mengayomi rakyatnya. Terhadap masalah kependudukan, Dewa Agung Gede selalu mengedepankan penyelesaian tanpa kekerasan.

Tetapi dia sangat disiplin pada persoalan yang menyangkut adat, konflik adat di luar puri atau istana, termasuk menghargai waktu di dalam puri.



Kedatangan kolonial Belanda awalnya disambut baik. Dewa Agung Gede rela patuh pada superioritas kekuasaan kompeni Belanda yang telah menaklukkan wilayah Badung dan Tabanan.

Saat tiba di Gianyar, kompeni Belanda disambut dengan penuh hormat. Termasuk perjanjian baru yang intinya pengambilalihan hak pengelolaan opium dari raja ke Kolonial Belanda, juga ia tandatangani.

Dewa Agung Gede juga menyerahkan dua daerah terpentingnya, yakni Abeansemal dan Sabang yang terletak di antara Gianyar dan Tabanan.

Meski sepintas tampak patuh, berbagai persyaratan di luar batas yang diterapkan kompeni Belanda itu diam-diam menimbulkan rasa dendam. “Maka bisa dianggap wajar bila dendam tumbuh sejak saat ini,” kata Van Kol.



Di tengah berlangsungnya insiden kecil yang mengacaukan kepentingan pengelolaan opium, Belanda semakin meningkatkan kesewenang-wenangannya.

Belanda meminta semua senjata diserahkan. Kemudian semua jenis benteng pertahanan harus diruntuhkan sampai rata dengan tanah. Semua yang dimiliki penguasa Klungkung, dirampas.

Dewa Agung Gede habis kesabaran dan memutuskan melawan. Ia mendapat sokongan kekuatan dari Tjokorda Gelgel, yakni pangeran atau penguasa di bawah raja.

Saat kompeni Belanda menyerbu Puri, perang pun tak bisa terlelakkan lagi. Pertahanan Puri Klungkung diperkuat dengan membuat lobang-lobang yang dikamuflase dengan tanaman pohon dan tanah liat.



Meski banyak bangunan yang runtuh, lobang yang ada mampu menyelamatkan rakyat Klungkung dari bombardir peluru kapal perang kompeni Belanda. Kendati demikian penjajah Belanda pada akhirnya berhasil merebut Puri Kerajaan sekaligus memasang meriam-meriam dan senapan yang siap ditembakkan.

Melihat itu semua, mereka yang semula hendak melawan terdiam seketika. Saat yang genting pada 18 April 1908 itu, raja Dewa Agung Gede dengan berpakaian putih tiba-tiba muncul. Di tangan kanannya menghunus sebilah keris.

Sebanyak 200-an orang yang sebagian terdiri dari wanita dan anak-anak berada di sekelilingnya. Mereka telah memutuskan melakukan Puputan, yakni melawan sampai titik darah penghabisan, sampai ajal menjemput.

Berjarak sekitar 200 meter dari meriam Belanda, Dewa Agung Gede lantas menancapkan keris sucinya ke tanah. Konon, tanah pun sontak menganga dan menelan sebagian besar pasukan kompeni Belanda.



Namun tiba-tiba sebuah peluru meriam Belanda menyambar lututnya. Dewa Agung Gede yang jatuh terjengkang kembali bangkit dan maju melawan sampai tewas.

Anak lelaki Dewa juga meninggal dunia terkena berondongan peluru Belanda. Begitu juga dengan Tjokorda, melawan sampai titik darah penghabisan. Tanpa rasa gentar sedikitpun, para selir raja menyusul kematian suaminya.

“Enam selirnya berlutut dan membiarkan diri mereka ditusuk jantungnya dengan sebilah keris," tambahnya.

Melihat junjungannya telah tewas, para pengikut yang tersisa bersama istri dan anak-anak mereka di belakangnya maju menyerang dengan memakai tombak. Dalam sekejap mereka menjadi santapan peluru senapan dan meriam Belanda yang berhamburan.

Beberapa yang tidak terluka berjalan maju, memungut keris dari tubuh yang bersimbah darah, dan lantas menghujamkan ke tubuh sendiri. “Mereka semua menginginkan kematian,” sambung Van Kol.



Pertempuran yang tidak seimbang itu menelan banyak nyawa. Dari jarak 100 meter pasukan Belanda, seorang Raja Agung tewas dengan kondisi yang mengenaskan.

Di dekat jasadnya, terkapar tubuh istri-istrinya yang juga sudah tak bernyawa. Di belakangnya, menumpuk mayat yang beberapa diantaranya masih hidup dalam keadaan bermandikan darah dan sekarat.

Sumber sejarah menyebut, sedikitnya 300 orang gugur melawan kolonial Belanda. Mereka yang masih tersisa di kediaman Kerajaan Klungkung, segera diasingkan ke Lombok, termasuk 19 orang yang dianggap memiliki jabatan penting di kerajaan. Inem Semara Pura, Puri atau istana Dewa Agung Gede luluh lantak.

Peristiwa yang terjadi di Klungkung mengulang tragedi dua tahun sebelumnya (1906) di Denpasar yang menewaskan sebanyak 1.200 sampai 1.400 orang rakyat Bali.

“Sejak akhir abad ke-18, para penguasa Bali beserta keluarganya menyadari bahwa kekalahan tidak dapat dihindari. Mereka pun memilih mati,” tulis Van Kol yang merupakan anggota Dewan Parlemen II Belanda yang pada abad ke-19 menjadi insinyur di Hindia Belanda.
(san)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2267 seconds (0.1#10.140)