Dinilai Rugikan Eksistensi Hutan Jawa, Penolakan KHDPK Terus Berkumandang

Senin, 20 Juni 2022 - 09:56 WIB
loading...
Dinilai Rugikan Eksistensi Hutan Jawa, Penolakan KHDPK Terus Berkumandang
Deklarasi bersama menolak implementasi Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK), yang dinilai sangat merugikan eksistensi hutan Jawa. Foto/SINDOnews/Agung Bakti Sarasa
A A A
BANDUNG - Pengelolaan hutan yang merupakan implementasi dari Surat Keputusan (SK) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) No. 287/2022 tentang Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK), mendapatkan penolakan dari berbagai kalangan.



Penolakan KHDPK disampaikan Forum Penyelamat Hutan Jawa (FPHJ), bersama Serikat Perhutani Bersatu (SPB), serta Masyarakat adat dan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang menilai kebijakan tersebut jelas merugikan eksistensi hutan Jawa.



Penolakan disampaikan dalam kegiatan deklarasi bersama, yang disertai diskusi dalam rangka Hari Lingkungan Hidup Sedunia dan Bulan Bung Karno yang digelar di Alam Santosa, Kabupaten Bandung, Sabtu (18/6/2022).



Ketua FPHJ, Eka Santosa kembali menegaskan, bahwa pihaknya tidak anti terhadap reforma agraria. Namun, Eka menolak jika lahan hutan Jawa menjadi objek dari reforma agraria dalam implementasi kebijakan KHDPK.

Terlebih, kata Eka, banyak lahan terlantar dan lebih cocok dijadikan objek reforma agraria dari pada hutan yang sekarang menjadi penyeimbang ekosistem, dan sumber kehidupan bagi warga sekitar.

"Sekali lagi kami keberatan, dan menolak tegas jika hutan yang dikelola bersama LMDH menjadi objek reforma agraria. Banyak lahan tidur dan sudah habis berlakunya yang bisa dioptimalisasi menjadi reforma agraria," tegas Eka dalam keterangannya, Senin (20/6/2022).



Perwakilan SPB, Muhammad Ikhsan mengatakan, berbagai langkah atau cara telah mereka lakukan, mulai menggelar aksi damai ke Kantor Staf Presiden (KSP) sampai mendatangi Komisi IV DPR di Senayan, untuk mengadukan masalah ini. Kebijakan KHDPK, kata Ikhsan, tentunya sangat berdampak bagi karyawan Perhutani.

"Kami pasti sebagai karyawan (Perhutani) merasa terdampak padahal baru mau ditetapkan, tapi secara psikologis sudah terkena, meski dampaknya tak selalu PHK (pemutusan hubungan kerja)," katanya.

Ikhsan berharap, penetapan kebijakan yang dilakukan pemerintah nanti ada kesetaraan dan tak ada diskriminasi. Selain itu, jika perlu, sesuai prinsip kebijakan publik, harus ada konsultasi publik dulu, bukan hanya sosialisasi semata dalam penerapan KHDPK.

Dinilai Rugikan Eksistensi Hutan Jawa, Penolakan KHDPK Terus Berkumandang


"Pemerintah itu jelas-jelas harus paling pertama berkonsultasi dengan yang paling terdampak, yakni seperti kami (karyawan Perhutani). Kami miliki anggota sebanyak 12.000-an, lalu ada Serikat Pekerja dan Pegawai Perum Perhutani yang jumlahnya 3.000-an dan ratusan orang dari Serikat Rimbawan Pembaharuan Perum Perhutani," papar Ikhsan.

Sementara itu, Ketua Paguyuban LMDH Jabar, Nace Permana mengakui bahwa kebijakan Menteri LHK melalui SK No. 287/2022 sangat merugikan banyak pihak. "Situasi sekarang itu bagi LMDH seperti anak tirinya Perhutani, dan anak pungutnya KLHK," tuturnya.

"Dengan sudah diserobotnya lahan oleh kaum reforma agraria dari tangan Perhutani, pemanfaatan hutan perhutanan sosial (IPHPS) di beberapa wilayah, semisal Karawang sudah dikavling-kavling. Jadi, langkah yang kami ambil sekarang melakukan patroli di tingkat bawah," katanya.



Sekretaris FPHJ, Thio Setiowekti menambahkan, keberadaan Perhutani saat ini salah satunya berkat jasa Presiden Soekarno yang menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) No. 17-30 tentang Pembentukan Perusahaan-perusahaan Kehutanan Negara, tahun 1961 silam.

Mengutip penjelasan dari pakar kehutanan UGM Haryadi Himawan, Thio menjelaskan, pasca kemerdekaan ada partai politik yang menginginkan lahan dibagikan kepada rakyat. Namun, kelompok rimbawan yang mengelola hutan Jawa peninggalan Belanda, terbukti tertib dan teruji, sehingga Presiden Soekarno mendirikan BPN Perhutani 1961.

"Perhutani sebagai pengelola hutan Jawa warisan Bung Karno tetap terjaga sampai presiden-presiden berikutnya, sampai muncul lah SK menteri LHK No. 287/2022 yang mengancam eksistensi hutan Jawa," tandasnya.
(eyt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3005 seconds (0.1#10.140)