Kesaktian Mpu Bharada, Penasihat Raja Airlangga yang Mampu Terbang Membelah Kerajaan Kahuripan Pakai Air Kendi
loading...
A
A
A
Kerajaan Kahuripan harus terbelah menjadi dua bagian, menjadi Kerajaan Kadiri, dan Kerajaan Jenggala. Jauh sebelum peristiwa terbelahnya Kerajaan Kahuripan, Raja Airlangga dilanda kebimbangan.
Kebimbangan Raja Airlangga terjadi menjelang dia turun takhta, dan berkeinginan menjadi pendeta, namun dua puteranya justru terlibat persaingan keras untuk memperebutkan takhta Kerajaan Kahuripan.
Raja Airlangga yang merupakan putra sulung Raja Bali, memiliki niat untuk menempatkan salah satu putranya bertakhta di Bali. Di tengah kebimbangan Raja Airlangga, Mpu Bharada diutus berangkat ke Bali, untuk menyampaikan maksud tersebut.
Mpu Bharada yang dikisahkan memiliki kesaktian yang luar biasa, bertolak ke Bali hanya dengan menaiki sehelai daun. Sesampainya di Bali, Mpu Bharada mengutarakan maksut dari Raja Airlangga. Namun, maksut itu ditolak oleh Raja Bali, yang kala itu dijabat oleh adik Raja Airlangga.
Menerima kabar penolakan dari Raja Bali yang disampaikan Mpu Bharada, Raja Airlangga akhirnya dengan terpaksa memutuskan membelah Kerajaan Kahuripan, dengan terjadinya perdamaian antara kedua puteranya.
Dalam Kitab Nagarakertagama, seperti yang ditulis Slamet Muljana dalam bukunya yang berjudul "Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya", Mpu Bharada bertugas menetapkan batas antara kedua belah kerajaan.
Berkat kesaktian yang dimiliki, dikisahkan Mpu Bharada membelah Kerajaan Kahuripan, terbang menumpang sehelai daun sambil mengucurkan air kendi. Bekas kucuran air kendi inilah yang menjadi batas Kerajaan Kadiri, dan Kerajaan Jenggala.
Sejarawan Mojokerto, Ayuhannafiq menyebutkan, ada mitos yang berkembang di masyarakat, Mpu Bharada dikisahkan terbang membawa kendi berisi air. Air itu kemudian yang memecah Kerajaan Kahuripan menjadi dua wilayah, dan bekas air itu disebut sebagai Sungai Brantas.
Ayuhannafiq menambahkan, saat proses membelah wilayah Kerajaan Kahuripan menjadi dua bagian, jubah Mpu Bharada tersangkut ranting pohon asam, hingga membuatnya marah. "Mpu Bharada akhirnya mengutuk pohon asam itu menjadi kerdil. Penduduk sekitar menamakan daerah itu Kamal Pandak, yang artinya asam pendek," katanya.
Pembelahan wilayah Kerajaan Kahuripan ini, tercatat dalam Serat Calon Arang, Nagarakertagama, dan Prasasti Turun Hyang II. Kerajaan Kadiri berpusat di Daha, dan diperintah oleh Sri Samarawijaya. Sementara Kerajaan Janggala berpusat di Kahuripan, dan diperintah oleh Mapanji Garasakan.
Selesai menetapkan batas Kerajaan Kadiri dan Janggala berdasarkan cucuran air kendi, Mpu Bharada mengucapkan kutukan, barang siapa berani melanggar batas tersebut hidupnya akan mengalami kesialan.
Pasca isiden tersebut, Mpu Bharada memutuskan untuk berhenti dan tidak melanjutkan prosesi pembelahan wilayah itu sampai tuntas. Kemudian ia berdiam diri dan memutuskan untuk bertapa dan menetap di Kamal Pandak.
Raja-raja setelah Raja Airlangga, disebut-sebut banyak yang mencari lokasi di mana Kamal Pandak tersebut, karena diyakini kerajaan yang berdiri di atas Kamal Pandak tersebut, bakal bisa menyatukan kerajaan di tanah Jawa.
"Mitosnya, Kamal Pandak itu ya di Trowulan, tempat Kerajaan Majapahit. Karena pindah ke Trowulan, Majapahit bisa menyatukan Nusantara. Dalam Nagarakertagama, wilayahnya meliputi Jawa, Bali, Sumatera, Kalimantan, dan Indonesia bagian timur. Termasuk Semenanjung Malaya, Tumasik (Singapura), serta sebagian Thailand, dan Filipina," tutur Ayuhannafiq.
Menurut Prasasti Mahaksobhya yang diterbitkan oleh Raja Kerajaan Singsari, Kertanagara pada tahun 1289, kutukan Mpu Bharada tersebut akhirnya hilang, berkat usaha Wisnuwardhana yang telah menyatukan Kerajaan Kadiri, dan Kerajaan Jenggala.
Dalam Nagarakretagama, juga disebutkan Mpu Bharada adalah pendeta Budha yang mendapat anugerah tanah desa Lemah Citra atau Lemah Tulis. Hal ini tentunya sangat unik, mengingat sebagai pedeta Budha, Mpu Bharada justru bisa menjadi penasehat dan guru bagi Raja Airlangga yang merupakan penganut Hindu Wisnu.
Kisah kesaktian Mpu Bharada, juga muncul dalam cerita Calon Arang. Kala itu, Kerajaan Kahuripan, yang dipimpin Raja Airlangga (1019-1037), situasinya sangat mencekam akibat adanya teluh dari Calon Arang.
Siapapun yang tersambar teluh Calon Arang, ajal seketika menjemput. Calon Arang digambarkan sebagai sosok perempuan pelaku ilmu hitam yang sakti, yang setiap marah selalu berbicara dengan teluh.
Dilukiskan bagaimana hanya merasa kurang enak badan, panas dingin di pagi hari, siang harinya nyawa melayang. Begitu juga sakit di siang hari, sore meninggal. Begitu seterusnya teluh Calon Arang bekerja.
Ganasnya teluh Calon Arang, membuat mereka yang usai menggotong jenazah tiba-tiba juga ambruk dan meninggal dunia. Nyawa terus berjatuhan. Penduduk mengistilahkannya dengan pagebluk. Wabah penyakit yang bersumber dari murka Calon Arang.
Dalam prosa liris "Calon Arang Korban Patriarki", Toeti Heraty mengisahkan, bagaimana di puncak amarahnya Calon Arang memohon izin Batari Durga melenyapkan semua penduduk tetangganya. Istri Dewa Syiwa itu mengizinkan: "Boleh saja, kata Batari, tetapi hanya daerah pinggiran atau desa, jangan memusnahkan orang sampai ke kota".
Kota yang dimaksud adalah ibu kota Kerajaan Kediri. Dan yang terjadi seperti ada pagar pembatas tidak kasat mata. Pagebluk hanya melanda wilayah pedesaan, tapi tidak masuk wilayah ibu kota. Terutama di wilayah Desa Jirah atau Gurah (Sekarang di wilayah Kabupaten Kediri) dan sekitarnya, tempat Calon Arang berumah. Wabah begitu mengganas.
Calon Arang seorang janda yang tidak pernah ada yang tahu siapa suaminya. Di kampung Jirah, Calon Arang yang juga mendapat panggilan Ni Rangda atau Rangda dari Jirah, hidup bersama putri semata wayangnya. Seorang gadis jelita bernama Ratna Manggali. Ratna cantik sekaligus menawan hati setiap laki-laki yang pernah bertatapan dengannya.
Namun menginjak usia 25 tahun, tidak satupun laki-laki yang berani melamarnya. Alih-alih meminang, mendekat saja para lelaki sudah ciut nyali. Mendengar nama Calon Arang, para laki-laki sudah gentar. Terbayang seorang perempuan tukang sihir, penyembah Dewi Durga atau Dewi Bagawati yang menghabiskan waktu bersama murid-muridnya di kuburan.
Tiadanya laki-laki yang menyunting Ratna Manggali, membuat Calon Arang murka. Membayangkan anaknya yang cantik jelita menjadi perawan tua, dada Calon Arang seperti terbakar. Sebagai seorang ibu sekaligus seorang janda, Calon Arang merasa terhina. "Alangkah marahnya sang janda. Alangkah malunya sang janda," tulis Toeti Heraty.
Di kuburan, Calon Arang bersama murid-muridnya, terus menjalankan ritual mautnya. Semuanya perempuan. Wersirsa, Mahisawandana, Lendya, Lende, Lendi, Guyang, Larung, dan Gandi. Murid-murid kinasih itu menandak-nandak (menari), mengikuti sang guru yang merapal mantra. Pada lehernya berkalung usus manusia. Pada telinga beranting paru-paru dan mengeramasi rambut dengan darah manusia.
Calon Arang menikmati hasil kerjanya. Ia tertawa-tawa melihat kematian yang terus berjatuhan. Bahagia melihat tangis penduduk Kediri yang meledak karena kehilangan keluarga. Persebaran penyakit tak bisa dicegah. Kian meluas sampai ke puncak-puncak gunung. Para pendeta kerajaan malu bertemu rakyat, karena tidak mampu menolak teluh yang disebar Calon Arang.
Raja Airlangga berduka melihat penderitaan yang ditanggung rakyatnya. "Kewibawaan raja terganggu di tahta," tulis Toeti Heraty dalam Calon Arang Korban Patriarki. Teror pagebluk perempuan penyihir Calon Arang tidak bisa didiamkan. Serbuan tentara kerajaan ke Jirah yang gagal karena mendapat perlawanan sengit Calon Arang, harus diganti dengan taktik lain.
Raja Airlangga memerintahkan patih dan para menteri utama untuk mengundang para pendeta, resi, pujangga dan guru. Semuanya berkumpul dan bersama-sama melakukan ritual pemujaan kepada Sang Hyang Agni, sekaligus meminta petunjuk.
Terbitlah petunjuk dari dewata, yang menyebut nama Sri Munindra Baradah atau Mpu Bharada. Seorang pendeta sempurna yang bertempat di pertapaan Semasana, Lemah Tulis. "Dialah yang dapat meruwat kerajaanmu, yang akan menghilangkan noda di dunia, membuat sejahtera dunia".
Mpu Bharada bagi Raja Airlangga bukan sosok asing. Hasil penelitian Louis Damais, sarjana Perancis (1540) pada naskah kuno, menyebut, Mpu Bharada pernah menyarankan Raja Airlangga membagi tahta kerajaan. Satu tahta di Jawa (Kediri) dan satunya di Bali. Namun sarannya tidak terwujud, karena penolakan Sri Mpu Kuturan di Bali.
Mpu Kuturan yang lebih sakti ingin menempatkan cucunya sendiri di takhta, dan menolak raja dari Jawa. Kelak, atas saran Mpu Mpu Bharada lagi, Raja Airlangga membagi tahta menjadi Kerajaan Kediri dan Kerajaan Jenggala.
Sementara begitu dititahkan Raja Airlangga mengatasi urusan Calon Arang, Mpu Bharada langsung bersiap mengutus Mpu Kebo Bahula, murid kesayangannya. Mpu Bahula adalah seorang pujangga dari Gangga Citra. Mpu Bharada tahu, murka Calon Arang berakar dari putrinya yang terancam menjadi perawan tua. Ia pun memerintahkan Mpu Bahula untuk meminang Ratna Manggali.
"Dia akan kusuruh melamar Sang Manggali. Engkau Kanuruhan (utusan Raja Airlangga) beritahukanlah kepada Sang Penguasa Dunia, berapa saja mahar yang diminta hendaklah dipenuhi oleh raja," tulis Toeti Heraty. Kerajaan pun langsung menyiapkan mahar lamaran. Hidangan makanan, buah -buahan, ditambah jamuan upacara: tuak, nasi, ikan, sampo, brem, kilang, serta serebad budur dan minum cakelang.
Sesuai jalannya siasat, Calon Arang bersedia menerima Mpu Kebo Bahula sebagai menantunya. Namun Rangda Jirah itu juga mengingatkan, "Namun janganlah tidak bersungguh-sungguh dengan Ratna Manggali". Menyertai lamaran, Bahula juga menyerahkan sirih tanda pertunangan, perak hadiah perkawinan, selendang, permata ratna mutu manikam yang memancar.
Mpu Bahula dan Ratna Manggali, sah sebagai suami istri. Keduanya saling mencintai. Sesuai prosa Calon Arang berkode LOR 5387/5279 yang tertulis pada daun lontar yang berada di Puri Cakranegara, Lombok, Mpu Bahula mulai memata-matai aktifitas Calon Arang. Di setiap menjelang malam, janda Jirah itu selalu membawa lipyakara, pustaka suci, dan pergi ke kuburan.
Bahula sengaja mengawasi, dan lalu bertanya kepada istrinya, Ratna Manggali: "Dinda, adikku tercinta, mengapakah ibu selalu pergi malam hari? Saya khawatir Dinda,". Melalui mulut anaknya sendiri, rahasia kesaktian Calon Arang pun bocor. Ratna Manggali cerita, ibunya ke kuburan untuk menjalankan sihir. Sihir itulah yang mengakibatkan terjadinya pagebluk.
Mpu Bahula juga berhasil menyentuh lipyakarya. Sastra Lipyakarya merupakan buku suci yang berisi hal utama untuk jalan kebaikan menuju kesempurnaan, puncak rahasia pengetahuan. Calon Arang sengaja membelokkan untuk kesaktian sihir dan kesengsaraan. Bahula memperlihatkan kitab Lipyakarya kepada Mpu Baradah, gurunya.
Rahasia kesaktian Calon Arang yang selama ini sulit terkalahkan, terungkap. Dengan bekal pengetahuan yang didapat dari muridnya, Mpu Baradah menyatroni Calon Arang. Saat bertemu Mpu Bharada, Calon Arang memperlihatkan keramahan sebagai besan. Janda Jirah itu juga meminta Sang Bogiswara Bharada meruwatnya. "Mohon diruwatlah sebagai besan".
Mpu Bharada melihat dosa Calon Arang teramat besar, dan karenannya permintaan itu ditolaknya mentah-mentah. Seketika itu Calon Arang murka. Dari mata, mulut, hidung, telinga muncul kobaran api yang langsung menyambar, membakar tumbuhan yang ada di sekelilingnya. Tapi api tidak mampu menghanguskan tubuh Mpu Bharada.
"Saya tidak mati kau sihir, besan. Aku ambil nyawamu semoga kamu mati di tempatmu berdiri". Karena rahasia kesaktiannya sudah terbongkar. Dengan merapal asta capala, Mpu Bharada berhasil menumpas Calon Arang.
Perempuan tukang teluh, penyembah Batari Durga di kuburan yang ritualnya memakai darah dan organ manusia itu, mati seketika di tempatnya berdiri. Rakyat Kerajaan Kahuripan kembali tentram. Kewibawaan Raja Airlangga kembali terjaga.
"Lalu bagaimana sikap Ratna Manggali, apakah akan saling menyalahkan sepanjang hayat. Suatu saat istri sadar menimbang antara cinta dan tipu muslihat, pula akan tersiksa menyalahkan diri karena ibu telah terkhianati," tulis Toeti Heraty.
Lihat Juga: Kisah Cinta Jenderal Sudirman dengan Siti Alfiah, Gambaran Tentang Cinta yang Tak Memandang Harta
Kebimbangan Raja Airlangga terjadi menjelang dia turun takhta, dan berkeinginan menjadi pendeta, namun dua puteranya justru terlibat persaingan keras untuk memperebutkan takhta Kerajaan Kahuripan.
Raja Airlangga yang merupakan putra sulung Raja Bali, memiliki niat untuk menempatkan salah satu putranya bertakhta di Bali. Di tengah kebimbangan Raja Airlangga, Mpu Bharada diutus berangkat ke Bali, untuk menyampaikan maksud tersebut.
Mpu Bharada yang dikisahkan memiliki kesaktian yang luar biasa, bertolak ke Bali hanya dengan menaiki sehelai daun. Sesampainya di Bali, Mpu Bharada mengutarakan maksut dari Raja Airlangga. Namun, maksut itu ditolak oleh Raja Bali, yang kala itu dijabat oleh adik Raja Airlangga.
Menerima kabar penolakan dari Raja Bali yang disampaikan Mpu Bharada, Raja Airlangga akhirnya dengan terpaksa memutuskan membelah Kerajaan Kahuripan, dengan terjadinya perdamaian antara kedua puteranya.
Dalam Kitab Nagarakertagama, seperti yang ditulis Slamet Muljana dalam bukunya yang berjudul "Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya", Mpu Bharada bertugas menetapkan batas antara kedua belah kerajaan.
Berkat kesaktian yang dimiliki, dikisahkan Mpu Bharada membelah Kerajaan Kahuripan, terbang menumpang sehelai daun sambil mengucurkan air kendi. Bekas kucuran air kendi inilah yang menjadi batas Kerajaan Kadiri, dan Kerajaan Jenggala.
Sejarawan Mojokerto, Ayuhannafiq menyebutkan, ada mitos yang berkembang di masyarakat, Mpu Bharada dikisahkan terbang membawa kendi berisi air. Air itu kemudian yang memecah Kerajaan Kahuripan menjadi dua wilayah, dan bekas air itu disebut sebagai Sungai Brantas.
Ayuhannafiq menambahkan, saat proses membelah wilayah Kerajaan Kahuripan menjadi dua bagian, jubah Mpu Bharada tersangkut ranting pohon asam, hingga membuatnya marah. "Mpu Bharada akhirnya mengutuk pohon asam itu menjadi kerdil. Penduduk sekitar menamakan daerah itu Kamal Pandak, yang artinya asam pendek," katanya.
Pembelahan wilayah Kerajaan Kahuripan ini, tercatat dalam Serat Calon Arang, Nagarakertagama, dan Prasasti Turun Hyang II. Kerajaan Kadiri berpusat di Daha, dan diperintah oleh Sri Samarawijaya. Sementara Kerajaan Janggala berpusat di Kahuripan, dan diperintah oleh Mapanji Garasakan.
Selesai menetapkan batas Kerajaan Kadiri dan Janggala berdasarkan cucuran air kendi, Mpu Bharada mengucapkan kutukan, barang siapa berani melanggar batas tersebut hidupnya akan mengalami kesialan.
Pasca isiden tersebut, Mpu Bharada memutuskan untuk berhenti dan tidak melanjutkan prosesi pembelahan wilayah itu sampai tuntas. Kemudian ia berdiam diri dan memutuskan untuk bertapa dan menetap di Kamal Pandak.
Raja-raja setelah Raja Airlangga, disebut-sebut banyak yang mencari lokasi di mana Kamal Pandak tersebut, karena diyakini kerajaan yang berdiri di atas Kamal Pandak tersebut, bakal bisa menyatukan kerajaan di tanah Jawa.
"Mitosnya, Kamal Pandak itu ya di Trowulan, tempat Kerajaan Majapahit. Karena pindah ke Trowulan, Majapahit bisa menyatukan Nusantara. Dalam Nagarakertagama, wilayahnya meliputi Jawa, Bali, Sumatera, Kalimantan, dan Indonesia bagian timur. Termasuk Semenanjung Malaya, Tumasik (Singapura), serta sebagian Thailand, dan Filipina," tutur Ayuhannafiq.
Menurut Prasasti Mahaksobhya yang diterbitkan oleh Raja Kerajaan Singsari, Kertanagara pada tahun 1289, kutukan Mpu Bharada tersebut akhirnya hilang, berkat usaha Wisnuwardhana yang telah menyatukan Kerajaan Kadiri, dan Kerajaan Jenggala.
Dalam Nagarakretagama, juga disebutkan Mpu Bharada adalah pendeta Budha yang mendapat anugerah tanah desa Lemah Citra atau Lemah Tulis. Hal ini tentunya sangat unik, mengingat sebagai pedeta Budha, Mpu Bharada justru bisa menjadi penasehat dan guru bagi Raja Airlangga yang merupakan penganut Hindu Wisnu.
Kisah kesaktian Mpu Bharada, juga muncul dalam cerita Calon Arang. Kala itu, Kerajaan Kahuripan, yang dipimpin Raja Airlangga (1019-1037), situasinya sangat mencekam akibat adanya teluh dari Calon Arang.
Siapapun yang tersambar teluh Calon Arang, ajal seketika menjemput. Calon Arang digambarkan sebagai sosok perempuan pelaku ilmu hitam yang sakti, yang setiap marah selalu berbicara dengan teluh.
Dilukiskan bagaimana hanya merasa kurang enak badan, panas dingin di pagi hari, siang harinya nyawa melayang. Begitu juga sakit di siang hari, sore meninggal. Begitu seterusnya teluh Calon Arang bekerja.
Ganasnya teluh Calon Arang, membuat mereka yang usai menggotong jenazah tiba-tiba juga ambruk dan meninggal dunia. Nyawa terus berjatuhan. Penduduk mengistilahkannya dengan pagebluk. Wabah penyakit yang bersumber dari murka Calon Arang.
Dalam prosa liris "Calon Arang Korban Patriarki", Toeti Heraty mengisahkan, bagaimana di puncak amarahnya Calon Arang memohon izin Batari Durga melenyapkan semua penduduk tetangganya. Istri Dewa Syiwa itu mengizinkan: "Boleh saja, kata Batari, tetapi hanya daerah pinggiran atau desa, jangan memusnahkan orang sampai ke kota".
Kota yang dimaksud adalah ibu kota Kerajaan Kediri. Dan yang terjadi seperti ada pagar pembatas tidak kasat mata. Pagebluk hanya melanda wilayah pedesaan, tapi tidak masuk wilayah ibu kota. Terutama di wilayah Desa Jirah atau Gurah (Sekarang di wilayah Kabupaten Kediri) dan sekitarnya, tempat Calon Arang berumah. Wabah begitu mengganas.
Calon Arang seorang janda yang tidak pernah ada yang tahu siapa suaminya. Di kampung Jirah, Calon Arang yang juga mendapat panggilan Ni Rangda atau Rangda dari Jirah, hidup bersama putri semata wayangnya. Seorang gadis jelita bernama Ratna Manggali. Ratna cantik sekaligus menawan hati setiap laki-laki yang pernah bertatapan dengannya.
Baca Juga
Namun menginjak usia 25 tahun, tidak satupun laki-laki yang berani melamarnya. Alih-alih meminang, mendekat saja para lelaki sudah ciut nyali. Mendengar nama Calon Arang, para laki-laki sudah gentar. Terbayang seorang perempuan tukang sihir, penyembah Dewi Durga atau Dewi Bagawati yang menghabiskan waktu bersama murid-muridnya di kuburan.
Tiadanya laki-laki yang menyunting Ratna Manggali, membuat Calon Arang murka. Membayangkan anaknya yang cantik jelita menjadi perawan tua, dada Calon Arang seperti terbakar. Sebagai seorang ibu sekaligus seorang janda, Calon Arang merasa terhina. "Alangkah marahnya sang janda. Alangkah malunya sang janda," tulis Toeti Heraty.
Di kuburan, Calon Arang bersama murid-muridnya, terus menjalankan ritual mautnya. Semuanya perempuan. Wersirsa, Mahisawandana, Lendya, Lende, Lendi, Guyang, Larung, dan Gandi. Murid-murid kinasih itu menandak-nandak (menari), mengikuti sang guru yang merapal mantra. Pada lehernya berkalung usus manusia. Pada telinga beranting paru-paru dan mengeramasi rambut dengan darah manusia.
Calon Arang menikmati hasil kerjanya. Ia tertawa-tawa melihat kematian yang terus berjatuhan. Bahagia melihat tangis penduduk Kediri yang meledak karena kehilangan keluarga. Persebaran penyakit tak bisa dicegah. Kian meluas sampai ke puncak-puncak gunung. Para pendeta kerajaan malu bertemu rakyat, karena tidak mampu menolak teluh yang disebar Calon Arang.
Raja Airlangga berduka melihat penderitaan yang ditanggung rakyatnya. "Kewibawaan raja terganggu di tahta," tulis Toeti Heraty dalam Calon Arang Korban Patriarki. Teror pagebluk perempuan penyihir Calon Arang tidak bisa didiamkan. Serbuan tentara kerajaan ke Jirah yang gagal karena mendapat perlawanan sengit Calon Arang, harus diganti dengan taktik lain.
Raja Airlangga memerintahkan patih dan para menteri utama untuk mengundang para pendeta, resi, pujangga dan guru. Semuanya berkumpul dan bersama-sama melakukan ritual pemujaan kepada Sang Hyang Agni, sekaligus meminta petunjuk.
Terbitlah petunjuk dari dewata, yang menyebut nama Sri Munindra Baradah atau Mpu Bharada. Seorang pendeta sempurna yang bertempat di pertapaan Semasana, Lemah Tulis. "Dialah yang dapat meruwat kerajaanmu, yang akan menghilangkan noda di dunia, membuat sejahtera dunia".
Mpu Bharada bagi Raja Airlangga bukan sosok asing. Hasil penelitian Louis Damais, sarjana Perancis (1540) pada naskah kuno, menyebut, Mpu Bharada pernah menyarankan Raja Airlangga membagi tahta kerajaan. Satu tahta di Jawa (Kediri) dan satunya di Bali. Namun sarannya tidak terwujud, karena penolakan Sri Mpu Kuturan di Bali.
Mpu Kuturan yang lebih sakti ingin menempatkan cucunya sendiri di takhta, dan menolak raja dari Jawa. Kelak, atas saran Mpu Mpu Bharada lagi, Raja Airlangga membagi tahta menjadi Kerajaan Kediri dan Kerajaan Jenggala.
Sementara begitu dititahkan Raja Airlangga mengatasi urusan Calon Arang, Mpu Bharada langsung bersiap mengutus Mpu Kebo Bahula, murid kesayangannya. Mpu Bahula adalah seorang pujangga dari Gangga Citra. Mpu Bharada tahu, murka Calon Arang berakar dari putrinya yang terancam menjadi perawan tua. Ia pun memerintahkan Mpu Bahula untuk meminang Ratna Manggali.
Baca Juga
"Dia akan kusuruh melamar Sang Manggali. Engkau Kanuruhan (utusan Raja Airlangga) beritahukanlah kepada Sang Penguasa Dunia, berapa saja mahar yang diminta hendaklah dipenuhi oleh raja," tulis Toeti Heraty. Kerajaan pun langsung menyiapkan mahar lamaran. Hidangan makanan, buah -buahan, ditambah jamuan upacara: tuak, nasi, ikan, sampo, brem, kilang, serta serebad budur dan minum cakelang.
Sesuai jalannya siasat, Calon Arang bersedia menerima Mpu Kebo Bahula sebagai menantunya. Namun Rangda Jirah itu juga mengingatkan, "Namun janganlah tidak bersungguh-sungguh dengan Ratna Manggali". Menyertai lamaran, Bahula juga menyerahkan sirih tanda pertunangan, perak hadiah perkawinan, selendang, permata ratna mutu manikam yang memancar.
Mpu Bahula dan Ratna Manggali, sah sebagai suami istri. Keduanya saling mencintai. Sesuai prosa Calon Arang berkode LOR 5387/5279 yang tertulis pada daun lontar yang berada di Puri Cakranegara, Lombok, Mpu Bahula mulai memata-matai aktifitas Calon Arang. Di setiap menjelang malam, janda Jirah itu selalu membawa lipyakara, pustaka suci, dan pergi ke kuburan.
Bahula sengaja mengawasi, dan lalu bertanya kepada istrinya, Ratna Manggali: "Dinda, adikku tercinta, mengapakah ibu selalu pergi malam hari? Saya khawatir Dinda,". Melalui mulut anaknya sendiri, rahasia kesaktian Calon Arang pun bocor. Ratna Manggali cerita, ibunya ke kuburan untuk menjalankan sihir. Sihir itulah yang mengakibatkan terjadinya pagebluk.
Mpu Bahula juga berhasil menyentuh lipyakarya. Sastra Lipyakarya merupakan buku suci yang berisi hal utama untuk jalan kebaikan menuju kesempurnaan, puncak rahasia pengetahuan. Calon Arang sengaja membelokkan untuk kesaktian sihir dan kesengsaraan. Bahula memperlihatkan kitab Lipyakarya kepada Mpu Baradah, gurunya.
Rahasia kesaktian Calon Arang yang selama ini sulit terkalahkan, terungkap. Dengan bekal pengetahuan yang didapat dari muridnya, Mpu Baradah menyatroni Calon Arang. Saat bertemu Mpu Bharada, Calon Arang memperlihatkan keramahan sebagai besan. Janda Jirah itu juga meminta Sang Bogiswara Bharada meruwatnya. "Mohon diruwatlah sebagai besan".
Mpu Bharada melihat dosa Calon Arang teramat besar, dan karenannya permintaan itu ditolaknya mentah-mentah. Seketika itu Calon Arang murka. Dari mata, mulut, hidung, telinga muncul kobaran api yang langsung menyambar, membakar tumbuhan yang ada di sekelilingnya. Tapi api tidak mampu menghanguskan tubuh Mpu Bharada.
"Saya tidak mati kau sihir, besan. Aku ambil nyawamu semoga kamu mati di tempatmu berdiri". Karena rahasia kesaktiannya sudah terbongkar. Dengan merapal asta capala, Mpu Bharada berhasil menumpas Calon Arang.
Perempuan tukang teluh, penyembah Batari Durga di kuburan yang ritualnya memakai darah dan organ manusia itu, mati seketika di tempatnya berdiri. Rakyat Kerajaan Kahuripan kembali tentram. Kewibawaan Raja Airlangga kembali terjaga.
"Lalu bagaimana sikap Ratna Manggali, apakah akan saling menyalahkan sepanjang hayat. Suatu saat istri sadar menimbang antara cinta dan tipu muslihat, pula akan tersiksa menyalahkan diri karena ibu telah terkhianati," tulis Toeti Heraty.
Lihat Juga: Kisah Cinta Jenderal Sudirman dengan Siti Alfiah, Gambaran Tentang Cinta yang Tak Memandang Harta
(eyt)