Kisah Bung Karno, Kalau Tak Jadi Presiden Pilih Jadi Pelukis

Senin, 06 Juni 2022 - 19:32 WIB
loading...
Kisah Bung Karno, Kalau Tak Jadi Presiden Pilih Jadi Pelukis
Presiden pertama RI, Soekarno.Foto/dok
A A A
JAKARTA - Dullah, Lee Man Fong dan Lim Wasim, tiga orang perupa Istana sejak 1950, memiliki pendapat yang sama tentang Presiden Soekarno atau Bung Karno sebagai pelukis yang berbakat.

Bung Karno bukan sekedar penggemar lukisan, yang itu bisa teramati dari beragam koleksinya. Namun ia juga seorang perupa dengan selera melukis yang tinggi. Insting lukisnya tajam. Kemudian juga sapuan kuasnya, tak kalah dengan perupa profesional.

Sejak muda ia juga cukup produktif, di mana di majalah Fikiran Ra’jat dan Soeloeh Indonesia yang dipimpinnya, Bung Karno kerap merilis lukisan atau karikatur karya pribadinya. Tak heran jika sempat terucap bahwa andai dirinya tak menjadi Presiden Republik Indonesia, menjadi pelukis adalah jalan hidupnya.

Baca juga: Bucinnya Bung Karno kepada Penari Haryati: Ini Surat Cintanya

“Bung Karno pernah mengatakan, kalau saja tidak menjadi presiden, jalan hidup yang dipilihnya adalah sebagai pelukis,” demikian yang tertulis dalam buku “Soekarno Poenja Tjerita, Yang Unik dan Tak Terungkap Dari Sejarah Soekarno”.

Bakat melukis Bung Karno makin terasah saat menjalani hukuman buang di Ende. Pernah ia membuat lukisan tentang ritual pemujaan masyarakat Hindu Bali di sebuah pura. Lukisan berjudul Pura Bali itu kini masih tersimpan baik di Museum Bung Karno, di Pulau Bunga, Ende.

Kebiasaan melukis itu terus terbawa saat dirinya menjadi Presiden RI. Pernah suatu ketika Bung Karno hendak melukis di wilayah Priangan, Jawa Barat. Peristiwa itu berlangsung pada kisaran tahun 1950-an.

Di lokasi, Bung Karno hanya ditemani Dullah, dan beberapa pengawal yang bertugas memastikan lokasi aman dari musuh yang tak dikenal. Pemandangan alam Priangan membuat Bung Karno tertegun sekaligus takjub.

“Keindahan pemandangan Indonesia memang luar biasa. Kalau aku melihat pohon-pohon menghijau, bila kupandang lembah dan ngarai, bila kudengar kicau burung, bila kurasa desir angin, semakin besar rasa cintaku kepada Indonesia,” ujar Bung Karno dalam buku “Soekarno Poenja Tjerita, Yang Unik dan Tak Terungkap Dari Sejarah Soekarno”.

Bung Karno mulai melukis. Ia asyik menggulati cat, kuas dan kanvasnya. Bung Karno seolah lupa, bahwa tempatnya melukis merupakan wilayah kekuasaan pemberontak DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia).

Para pengawal meresahkan keamanan sang Proklamator, namun tak berani menyampaikan langsung kepada Bung Karno. Yang bisa dilakukan hanya menarik lengan pelukis Dullah, dan berbisik lirih.

Baca juga: Asisten Rumah Tangga di Kota Batu Bisa Berangkat Haji Setelah Menabung Selama 20 Tahun

“Mas, mohon diperingatkan kepada Presiden bahwa daerah ini rawan, berbahaya. Ini daerah Kartosoewirjo”.

“Baru saja satu rombongan lewat tak jauh dari tempat ini. Mereka tentu akan melapor ke markas DI/TII. Kami sangat khawatir dengan keselamatan Bapak karena kita tidak siap dengan kondisi terburuk. Jumlah pengamanan kita sedikit,” tambahnya.

Dullah terkejut. Namun ia juga tak berani mengusik Bung Karno yang baru saja memulai lukisannya. Sekarmadji Maridjan Kartoesoewirjo sebenarnya sahabat Bung Karno. Keduanya merupakan sama-sama murid H.O.S Tjokroaminoto saat indekos di Peneleh, Surabaya, Jawa Timur.

Paska kemerdekaan keduanya bersimpang jalan. Perbedaan garis politik membuat keduanya saling berhadap-hadapan. Dan Priangan merupakan markas laskar DI/TII.

Atas alasan demi keselamatan kepala negara, pelukis Dullah meminta pengawal menyampaikan sendiri kepada Bung Karno. Apa yang terjadi? Bung Karno bergeming. Ia tetap asyik melukis meskipun pengawal menyampaikan informasi terkait DI/TII.

Melihat itu, Dullah memutar akal. Sebagai salah satu perupa kesayangan Bung Karno, ia tahu bagaimana cara mendekati Bung Karno. “Maaf, Pak, matahari sudah agak tinggi,” kata Dullah.

“Maksudmu?” Bung Karno menanggapi. Dullah pun langsung berargumentasi panjang lebar. Ia bicara tentang efek cahaya yang sudah tak sesuai kehendak. Dengan setengah mengarang, Dullah mengatakan matahari yang tinggi membuat efek cahaya di dalam hutan tak seindah terobosan matahari pagi.

Bung Karno seketika menghentikan sapuan kuasnya. Sejenak ia memandangi kanvas, menatap obyek yang sedang dilukis, memandang Dullah dan menarik nafas dalam-dalam.

“Benar juga, Dullah. Baiklah kita kembali ke sini besok lebih pagi, untuk melihat apa yang kau katakan itu,” ujar Bung Karno seperti tertulis dalam “Soekarno Poenja Tjerita, Yang Unik dan Tak Terungkap Dari Sejarah Soekarno”. Bung Karno beserta rombongan kecilnya seketika itu kembali ke Jakarta.
(msd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1953 seconds (0.1#10.140)