Kisah Bung Karno, Kalau Tak Jadi Presiden Pilih Jadi Pelukis
loading...
A
A
A
Para pengawal meresahkan keamanan sang Proklamator, namun tak berani menyampaikan langsung kepada Bung Karno. Yang bisa dilakukan hanya menarik lengan pelukis Dullah, dan berbisik lirih.
Baca juga: Asisten Rumah Tangga di Kota Batu Bisa Berangkat Haji Setelah Menabung Selama 20 Tahun
“Mas, mohon diperingatkan kepada Presiden bahwa daerah ini rawan, berbahaya. Ini daerah Kartosoewirjo”.
“Baru saja satu rombongan lewat tak jauh dari tempat ini. Mereka tentu akan melapor ke markas DI/TII. Kami sangat khawatir dengan keselamatan Bapak karena kita tidak siap dengan kondisi terburuk. Jumlah pengamanan kita sedikit,” tambahnya.
Dullah terkejut. Namun ia juga tak berani mengusik Bung Karno yang baru saja memulai lukisannya. Sekarmadji Maridjan Kartoesoewirjo sebenarnya sahabat Bung Karno. Keduanya merupakan sama-sama murid H.O.S Tjokroaminoto saat indekos di Peneleh, Surabaya, Jawa Timur.
Paska kemerdekaan keduanya bersimpang jalan. Perbedaan garis politik membuat keduanya saling berhadap-hadapan. Dan Priangan merupakan markas laskar DI/TII.
Atas alasan demi keselamatan kepala negara, pelukis Dullah meminta pengawal menyampaikan sendiri kepada Bung Karno. Apa yang terjadi? Bung Karno bergeming. Ia tetap asyik melukis meskipun pengawal menyampaikan informasi terkait DI/TII.
Melihat itu, Dullah memutar akal. Sebagai salah satu perupa kesayangan Bung Karno, ia tahu bagaimana cara mendekati Bung Karno. “Maaf, Pak, matahari sudah agak tinggi,” kata Dullah.
“Maksudmu?” Bung Karno menanggapi. Dullah pun langsung berargumentasi panjang lebar. Ia bicara tentang efek cahaya yang sudah tak sesuai kehendak. Dengan setengah mengarang, Dullah mengatakan matahari yang tinggi membuat efek cahaya di dalam hutan tak seindah terobosan matahari pagi.
Bung Karno seketika menghentikan sapuan kuasnya. Sejenak ia memandangi kanvas, menatap obyek yang sedang dilukis, memandang Dullah dan menarik nafas dalam-dalam.
Baca juga: Asisten Rumah Tangga di Kota Batu Bisa Berangkat Haji Setelah Menabung Selama 20 Tahun
“Mas, mohon diperingatkan kepada Presiden bahwa daerah ini rawan, berbahaya. Ini daerah Kartosoewirjo”.
“Baru saja satu rombongan lewat tak jauh dari tempat ini. Mereka tentu akan melapor ke markas DI/TII. Kami sangat khawatir dengan keselamatan Bapak karena kita tidak siap dengan kondisi terburuk. Jumlah pengamanan kita sedikit,” tambahnya.
Dullah terkejut. Namun ia juga tak berani mengusik Bung Karno yang baru saja memulai lukisannya. Sekarmadji Maridjan Kartoesoewirjo sebenarnya sahabat Bung Karno. Keduanya merupakan sama-sama murid H.O.S Tjokroaminoto saat indekos di Peneleh, Surabaya, Jawa Timur.
Paska kemerdekaan keduanya bersimpang jalan. Perbedaan garis politik membuat keduanya saling berhadap-hadapan. Dan Priangan merupakan markas laskar DI/TII.
Atas alasan demi keselamatan kepala negara, pelukis Dullah meminta pengawal menyampaikan sendiri kepada Bung Karno. Apa yang terjadi? Bung Karno bergeming. Ia tetap asyik melukis meskipun pengawal menyampaikan informasi terkait DI/TII.
Melihat itu, Dullah memutar akal. Sebagai salah satu perupa kesayangan Bung Karno, ia tahu bagaimana cara mendekati Bung Karno. “Maaf, Pak, matahari sudah agak tinggi,” kata Dullah.
“Maksudmu?” Bung Karno menanggapi. Dullah pun langsung berargumentasi panjang lebar. Ia bicara tentang efek cahaya yang sudah tak sesuai kehendak. Dengan setengah mengarang, Dullah mengatakan matahari yang tinggi membuat efek cahaya di dalam hutan tak seindah terobosan matahari pagi.
Bung Karno seketika menghentikan sapuan kuasnya. Sejenak ia memandangi kanvas, menatap obyek yang sedang dilukis, memandang Dullah dan menarik nafas dalam-dalam.