Riwayat Pemberontakan Ronggo Prawirodirjo III yang Mengilhami Perang Jawa

Sabtu, 09 April 2022 - 05:05 WIB
loading...
Riwayat Pemberontakan Ronggo Prawirodirjo III yang Mengilhami Perang Jawa
Makam Raden Ronggo Prawirodirjo III. Foto: Istimewa/SINDOnews
A A A
PEMBERONTAKAN Ronggo Prawirodirjo III atau yang akrab disapa dengan Raden Ronggo terhadap Belanda, merupakan peristiwa besar dalam sejarah Keraton Jawa bagian tengah selatan, sebelum meletusnya Perang Jawa.

Sayang, pemberontakan ini gagal. Namun demikian, pemberontakan ini telah berhasil mengilhami meletusnya perang yang jauh lebih besar lagi, yakni Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro.

Seperti apa jalannya pemberontakan, apa motivasi pemberontakan itu? Berikut ulasan singkat Cerita Pagi.



Pertama-tama kita ulas sedikit riwayat Raden Ronggo. Disebutkan, bahwa Raden Ronggo Prawirodirjo III (1710-1810) merupakan cucu Raden Ronggo Prawirodirjo I. Raden Ronggo I merupakan keturunan Sultan Abdul Kahir I dari Bima.

Pada mulanya, Raden Ronggo III tinggal di sebelah selatan Kali Catur, Desa Kranggan, wilayah Kabupaten Madiun. Pada usianya yang ke-16 tahun, dia lalu diangkat menjadi Bupati Wedono Madiun, pada 14 Januari 1796.

Keberhasilan Raden Ronggo menghentikan perlawanan Rajegwesi yang dikenal sakti, menimbulkan decak kagum Sultan Hamengku Buwono II alias Sultan Sepuh, dan diangkat menjadi panglima perang pasukan keraton.

Sejak itu, dia memiliki ribuan pasukan. Dia juga dibolehkan tinggal di keraton dan berhubungan langsung dengan Sultan Sepuh. Bahkan, dia menikahi puteri Sultan Sepuh dan Ratu Kedaton, yakni Ratu Maduretno.



Sebagai menantu Sultan Sepuh, Raden Ronggo berpeluang menjadi adipati wilayah Mancanegara Timur Jogjakarta.

Sesuai perjanjian Giyanti 1755, wilayah itu meliputi Madiun, sebagian Pacitan, Magetan, Caruban, dan Tulunggagung. Di luar itu, wilayah Kasunanan Surakarta, seperti Ponorogo, Jogorogo, sebagian Pacitan, Kediri, dan Blitar.

Rumah Raden Ronggo di Maospati, disebut-sebut mirip benteng. Dijaga seribuan prajurit dengan persenjataan lengkap.

Namun, selama masa pemerintahannya, Raden Ronggo lebih suka tinggal di keraton. Dia juga beberapa kali melakukan latihan militer di alun-alun muka Keraton Jogjakarta, sehingga menimbulkan kecurigaan Kompeni.



Tidak adanya batas jelas wilayah Jogjakarta dan Surakarta, kerap menimbulkan perselisihan kedua penduduk. Setiap terjadi perselisihan itu, Raden Ronggo kerap bertindak kejam dengan langsung menindak penduduk Surakarta.

Bahkan pernah Raden Ronggo menyuruh bakar habis beberapa desa di Ponorogo, sebagai balas dendam atas kerusuhan yang terjadi di wilayah perbatasan yang menurut laporan dilakukan oleh penduduk Surakarta.

Saat terjadi monopoli perdagangan kayu jati di Mancanegara oleh Belanda, Raden Ronggo termasuk yang berang.

Dia mengecam tindakan sewenang-wenang Gubernur Jenderal Belanda Herman Willem Deandels itu, karena tidak hanya merugikan para bupati, tetapi juga warga yang tinggal di kawasan hutan jati, hingga menimbulkan konflik sosial.



Sejak itu, banyak penduduk sekitar yang menjadi pelaku kriminal-kriminal kecil. Mereka juga kerap terlibat bentrokan dengan penduduk di wilayah pesisir yang dikuasai oleh pihak Belanda.

Sebagai kepala pemerintahan distrik-distrik di wilayah timur, Raden Ronggo kerap dijadikan kambing hitam kericuhan itu.

Mengetahui hal itu, emosi Raden Ronggo terbakar. Ditambah, pada waktu itu istrinya Ratu Maduretno meninggal dunia, pada pertengahan 1809. Kepergian istri tercinta sangat memukul batinnya. Ditambah, Deandels makin kejam.

Dia melakukan kerja paksa terhadap penduduk untuk membangun jalan raya pos lintas Jawa. Proyek jalan ini, telah memakan lebih dari 12.000 jiwa orang Jawa. Alhasil, banyak warga yang mengungsi ke wilayah kerajaan.



Sementara itu, konflik perbatasan antara wilayah Jogjakarta dan Surakarta mencapai puncaknya yang pertama di Delanggu. Saat itu, terjadi insiden yang menewaskan kepala desa Delanggu oleh pasukan Raden Ronggo.

Puncak konflik selanjutnya perampokan dan pembunuhan, pada peristiwa Ngebel-Sekedok, pada 31 Januari 1810. Dalam peristiwa itu, tiga orang warga tewas dibunuh oleh orang Madiun yang diduga disuruh Raden Ronggo.

Menurut penyelidikan Dendeals, Raden Ronggo bersalah atas peristiwa ini. Dia lalu menjatuhkan hukum tangkap hidup atau mati kepada Raden Ronggo. Sejak peristiwa itulah, perlawanan Raden Ronggo terhadap Belanda dimulai.

Seperti disinggung sejak awal, pemberontakan itu berlangsung singkat saja. Meski demikian berdampak sangat besar.



Raden Ronggo lalu mendeklarasikan dirinya sebagai Ratu Adil yang mengayomi semua korban kekejaman dan ketidakadilan Belanda. Dalam hal ini, dia berhasil menarik golongan Tionghoa ke dalam barisannya.

Komunitas-komunitas Tionghoa peranakan yang kaya di Lasem, Tuban, dan Sidayu diajaknya bergabung. Dia berharap, dapat bantuan logistik untuk melancarkan serangan terhadap garnisun Belanda di sepanjang Rembang-Surabaya.

Meski demikian, dukungan paling kuat terhadap perlawanan Raden Ronggo justru berasal dari golongan Muslim Jawa.

Pemberontakan Raden Ronggo juga dinilai memiliki arti penting paham mesianis Jawa yang menjadi cikal bakal ciri-ciri perlawanan Diponegoro. Perjuangan Raden Ronggo membangkitkan kesadaran banyak penguasa di Jawa.



Meski demikian, pemberontakan ini tetap gagal menyatukan kembali kerjasama antara Jogjakarta dengan Solo.

Deandels memang tidak tidak bisa dianggap remeh. Gerakannya sangat cepat. Dia terus mengejar pasukan Raden Ronggo tanpa henti. Namun, dengan gagah berani, Raden Ronggo terus melakukan perlawanan.

Dalam pertempuran penghabisan, di tepi Bengawan Solo, sebagian besar pasukan Raden Ronggo telah berhasil dipukul mundur, dan lari ke dalam hutan. Saat itu, dia bertemu seorang Bupati Jogja yang berada di pasukan Leberveld.

Setelah sempat tembak menembak, Bupati itu bertanya, apa yang diinginkan Raden Ronggo. Dijawab, bahwa dia tidak ingin menyusahkan orang Jawa, tetapi ingin membunuh siapa saja yang jadi beban orang Jawa dan Tionghoa.



Usai mengucapkan kalimat itu, dia melompat turun dari kudanya, dan menyerang dengan tombaknya. Tetapi Bupati itu berhasil melukai dadanya dengan tusukan balasan. Berakhir lah riwayat perjuangan Raden Ronggo.

Leberveld memerintahkan para serdadu infanterinya untuk bergerak dan menghabisinya. Nasib serupa dialami oleh wakil Raden Ronggo, yakni Sumonegoro. Jenazah keduanya kemudian dimandikan di Bengawan Solo.

Setelah dibungkus kain putih, jenazah keduanya dibawa ke Jogja. Yang mengenaskan, setibanya di Jogja, Sultan memerintahkan agar jenazah kedua pejuang itu digantung dalam kerana terbuka di persimpangan Pangurakan.

Raden Ronggo dan Sumonegoro, diperlakukan sebagai kriminal dan dipertontonkan kepada publik. Pemandangan ini boleh jadi dilihat langsung oleh Pangeran Diponegoro muda dan menimbulkan benih perlawanan baru.

Setelah sehari dibiarkan seperti itu, jenazah kedua pejuang tersebut dikebumikan di pekuburan para pengkhianat di Banyusumurup, sebelah Tenggara Imogiri yang berbatasan dengan Gunung Kidul.

Sampai di sini ulasan singkat Cerita Pagi, semoga bermanfaat.

Sumber tulisan:
1. Abdul Rohim, Kronik Perang Jawa 1825-1830, Anak Hebat Indonesia, Buku Elektronik.
2. Lilik Suharmaji, GEGER SEPOY Sejarah Kelam Perseteruan Inggris dengan Keraton Yogyakarta (1812-1815), Araska, 2020.
3. TS Werdoyo, Tan Jing Sing, Grafiti, 1990.
4. Peter Carey, takdir Riwayat Pengeras Diponegoro (1785-1855), Kompas, 2015.
(hsk)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3178 seconds (0.1#10.140)