Guru Besar Fakultas Pertanian Unpad: 126 Juta Hektare Tanah di Indonesia Tak Subur

Senin, 07 Maret 2022 - 16:14 WIB
loading...
Guru Besar Fakultas Pertanian Unpad: 126 Juta Hektare Tanah di Indonesia Tak Subur
Sekitar 126 juta hektare tanah di Indonesia merupakan lahan suboptimal atau memiliki tingkat kesuburan yang rendah.Foto/dok
A A A
BANDUNG - Sekitar 126 juta hektare tanah di Indonesia merupakan lahan suboptimal atau memiliki tingkat kesuburan yang rendah. Diperlukan penggunaan secara bijak agar tanah tersebut tidak punah atau tak dapat digunakan kembali.

Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran (Unpad) Mahfud Arifin mengungkap, sekira 126 juta hektare tanah di Indonesia merupakan lahan suboptimal atau memiliki tingkat kesuburan yang rendah. Angka ini lebih besar dari luasan lahan potensial pertanian yang tersedia dan siap digunakan, yaitu sekira 34,58 juta hektare.

Baca juga: KM Putra Barokah Hilang Kontak, 18 ABK Belum Diketahui Nasibnya

“Lahan suboptimal di Indonesia memerlukan penanganan yang hati-hati berbasis spesifik lokasi, karena rentan terdegradasi,” ungkapnya pada diskusi Satu Jam Berbincang Ilmu “Potensi Sumber Daya Lahan di Indonesia” yang digelar Dewan Profesor Unpad, dalam keterangan resmi Unpad, Senin (7/3/2022).

Guru besar bidang ilmu tanah tersebut menjelaskan, kondisi lahan marginal di Indonesia bisa disebabkan dua hal, yaitu secara alami dan salah pengelolaan. Untuk faktor alamiah, beberapa wilayah di Indonesia secara kodratnya memiliki tanah yang miskin mengandung unsur hara. Salah satunya diakibatkan oleh proses pelapukan sudah berlangsung lama.

Karena proses pelapukan yang sudah berlangsung lama membuat mineral kaya nutrisi sudah terlapuk dan tercuci. Dengan demikian, mineral-mineral yang tersisa adalah mineral yang tahan lapuk dan miskin nutrisi. Hal ini membuat tanah menjadi suboptimal untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian.

Sementara faktor pengelolaan yang salah terjadi karena tanah terlalu dieksploitasi untuk aktivitas pertanian. Eksploitasi berlebihan akan membuat tanah menjadi “lelah”. Dalam jangka panjang, hal ini akan memicu degradasi lahan.

“Jika biasanya tanah itu cukup ditanam dua kali setahun, ini dipaksa tiga kali setahun tidak diberi recovery terlebih dahulu. Padahal tanah juga butuh recovery,” kata Prof. Mahfud.

Baca juga: Terjebak Perang Rusia Ukraina, 3 Warga Langkat Sumut Sembunyi di Bunker Pabrik Plastik

Diakui Prof. Mahfud, tanah dengan tingkat kesuburan rendah ini cukup merepotkan jika akan dimanfaatkan untuk aktivitas pertanian. “Input teknologinya merepotkan. Pupuknya harus banyak, bahan organiknya harus banyak, karena mudah terdegradasi,” ujarnya.

Lebih lanjut Prof. Mahfud menjelaskan, langkah tepat untuk menangani tanah suboptimal adalah dengan menumbuhkan vegetasi. Tanah suboptimal yang dibiarkan terpapar matahari akan membuat unsur hara di dalamnya menjadi mengkristal. Akibatnya, tanah akan menjadi sulit diolah.

“Ini kejadian seperti di India, ada tanah punah. Jadi tanahnya sudah tidak bisa dijadikan area pertanian,” kata Prof. Mahfud.

Dengan luasan lahan optimal yang sempit praktis membuat produktivitas pertanian di Indonesia menjadi rendah. Prof. Mahfud mengatakan, salah satu sebab Indonesia banyak mengimpor pangan adalah karena produktivitas dalam negeri yang rendah dibandingkan negara lain.

Meski demikian, sektor perkebunan ternyata menyimpan potensi ekspor yang tinggi. Data Kementerian Pertanian RI 2019 menunjukkan ekspor perkebunan di Indonesia cenderung lebih tinggi dibandingkan ekspor komoditas pangan. “Ini indikasi Indonesia lebih cocok untuk perkebunan,” ujarnya Prof. Mahfud.

Dia menjelaskan, beberapa komoditas perkebunan premium di Indonesia justru ditanam di lahan-lahan marginal, seperti rasuan duku di Sumatera Selatan, lada di Sulawesi Selatan, hingga kopi di Jambi.
(msd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1337 seconds (0.1#10.140)