Tangkal Radikalisme, Ormas Keagamaan Jadi Garda Terdepan
loading...
A
A
A
SERANG - Organisasi Masyarakat (ormas) keagamaan jadi garda terdepan dalam pencegahan penyebaran radikal terorisme dengan memberikan dengan menggaungkan nasionalisme melalui pendekatan agama.
Pendekatan yang dilakukan yakni tentang ajaran agama yang baik dan benar, serta menjunjung tinggi toleransi, serta ideologi Pancasila.
Hal itu penting karena ideologi terorisme sebagai gerakan politik kerap memanipulasi dan mendistorsi agama untuk mengganti ideologi negara yang bertentangan dengan Pancasila sebagai konsensus nasional.
"Terorisme adalah gerakan politik kekuasaan dengan memanipulasi dan mempolitisasi agama yang bertujuan mengganti ideologi negara dengan ideologi transnasional. Wataknya adalah intoleran terhadap perbedaan dan keberagaman, serta eksklusif terhadap perubahan," kata Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol R Ahmad Nurwakhid di Serang, Banten, dikutip Selasa (14/2/2022).
Pernyatan itu disampaikan pada Rakernas I Pengurus Besar Mathla'ul Anwar dengan tema: "Arah Baru Menata Umat Merekat Bangsa" di Kota Serang, Banten. Nurwakhid memberikan pemahaman terkait hubungan eksklusifisme, intoleransi, radikalisme dan aksi terorisme.
Menurutnya, sikap eksklusif dan intoleran adalah watak dasar dari radikalisme, yang menjiwai semua aksi terorisme dan semuanya diawali oleh paham takfiri.
"Jadi tidak ada kaitannya aksi radikal terorisme dengan agama apapun, karena bertentangan dengan ajaran semua agama. Namun terkait dengan pemahaman dan cara beragama yang salah dan menyimpang dari oknum umat beragama, dan biasanya didominasi oleh mayoritas umat beragama di wilayah tersebut," katanya.
Nurwakhid mengungkapkan, bukti dari efektivitas peran ormas keagamaan dan tokoh agama dalam melakukan pencegahan atau kontra radikalisasi terutama di dunia maya terlihat dari data indeks potensi radikalisme tahun 2019 yang berada di angka 38 persen.
Begitu terjadi pandemi COVID-9 awal tahun 2020, dalam survei yang dilakukan BNPT bulan Oktober-November 2020, indeks potensi radikalisme itu turun dari 38 menjadi 12,2 persen.
"Artinya apa? Salah satu faktor penurunan diakibatkan masifnya tokoh agama dan tokoh masyarakat moderat yang selama ini tidak aktif berdakwah di media sosial, menjadi aktif ikut berdakwah di berbagai platform media sosial," ungkapnya.
Pendekatan yang dilakukan yakni tentang ajaran agama yang baik dan benar, serta menjunjung tinggi toleransi, serta ideologi Pancasila.
Hal itu penting karena ideologi terorisme sebagai gerakan politik kerap memanipulasi dan mendistorsi agama untuk mengganti ideologi negara yang bertentangan dengan Pancasila sebagai konsensus nasional.
"Terorisme adalah gerakan politik kekuasaan dengan memanipulasi dan mempolitisasi agama yang bertujuan mengganti ideologi negara dengan ideologi transnasional. Wataknya adalah intoleran terhadap perbedaan dan keberagaman, serta eksklusif terhadap perubahan," kata Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol R Ahmad Nurwakhid di Serang, Banten, dikutip Selasa (14/2/2022).
Pernyatan itu disampaikan pada Rakernas I Pengurus Besar Mathla'ul Anwar dengan tema: "Arah Baru Menata Umat Merekat Bangsa" di Kota Serang, Banten. Nurwakhid memberikan pemahaman terkait hubungan eksklusifisme, intoleransi, radikalisme dan aksi terorisme.
Menurutnya, sikap eksklusif dan intoleran adalah watak dasar dari radikalisme, yang menjiwai semua aksi terorisme dan semuanya diawali oleh paham takfiri.
"Jadi tidak ada kaitannya aksi radikal terorisme dengan agama apapun, karena bertentangan dengan ajaran semua agama. Namun terkait dengan pemahaman dan cara beragama yang salah dan menyimpang dari oknum umat beragama, dan biasanya didominasi oleh mayoritas umat beragama di wilayah tersebut," katanya.
Nurwakhid mengungkapkan, bukti dari efektivitas peran ormas keagamaan dan tokoh agama dalam melakukan pencegahan atau kontra radikalisasi terutama di dunia maya terlihat dari data indeks potensi radikalisme tahun 2019 yang berada di angka 38 persen.
Begitu terjadi pandemi COVID-9 awal tahun 2020, dalam survei yang dilakukan BNPT bulan Oktober-November 2020, indeks potensi radikalisme itu turun dari 38 menjadi 12,2 persen.
"Artinya apa? Salah satu faktor penurunan diakibatkan masifnya tokoh agama dan tokoh masyarakat moderat yang selama ini tidak aktif berdakwah di media sosial, menjadi aktif ikut berdakwah di berbagai platform media sosial," ungkapnya.