Iwan Simatupang, Sastrawan Besar Indonesia yang Hidupnya Berakhir Tragis

Selasa, 18 Januari 2022 - 12:44 WIB
loading...
Iwan Simatupang, Sastrawan Besar Indonesia yang Hidupnya Berakhir Tragis
Iwan Simatupang bersama istri. Foto: Istimewa
A A A
BLITAR - Hari ini, tanggal 18 Januari, adalah hari kelahiran sastrawan Iwan Simatupang. Andai masih menghirup udara, hari ini Iwan Simatupang akan merayakan ulang tahunnya yang ke-94.

Iwan Simatupang lahir pada 18 Januari 1928, di Sibolga Sumatera Utara . Karyanya dikenal sebagai pembaharu sastra Indonesia. Ziarah, Merahnya Merah, Kering, Kooong, kumpulan cerpen Tegak Lurus dengan Langit, menggemparkan dunia sastra Indonesia.

Iwan Simatupang menyebut novel-novelnya sebagai novel masa depan, tanpa pahlawan, tanpa tema, dan tanpa moral. Tokoh utamanya nyaris selalu berjenis kelamin laki-laki, tidak memiliki identitas atau nama pribadi, kecuali sebutan profesi atau alias, dan kerap memakai frase panggilan “tokoh kita”.



Iwan seorang penganut filsafat eksistensialisme dan fenomenologi. Karyanya yang dianggap ganjil, menuai banyak pujian sekaligus kecaman.

“Sastrawan ini secara kontroversial telah mengguncang dunia kesusasteraan Indonesia modern menjelang akhir dekade 1960-an dengan novel-novelnya,” tulis Kurnia Jr dalam buku Inspirasi ?Nonsens!, Novel-novel Iwan Simatupang, seperti dikutip Selasa (18/1/2022).

Disepanjang tahun 1953 hingga 1970, Iwan nyaris tidak berhenti menulis esai. Esai-esainya kemudian dikumpulkan dengan judul Kebebasan Pengarang dan Masalah Tanah Air. Iwan juga menulis sejumlah sajak yang sedikit orang tahu.



Korespondensinya dengan sastrawan Yogyakarta, Bambang Soelarto (Penulis naskah drama Domba-domba Revolusi) terkumpul menjadi surat politik dan oleh penerbit lalu diberi judul : Surat-surat Politik Iwan Simatupang 1964-1966.

Iwan mulai menggauli dunia sastra pada umur 20 tahun. Ia jebolan HBS Medan, yang pernah menjadi komandan pasukan TRIP di Sumatera Utara (1949). Iwan Simatupang memulai menulis pada awal tahun 1950-an. Ia bahkan pernah mengajar sastra di sebuah SMA di Surabaya (1950-1953).

Di lingkungan sekolah, dia akrab dipanggil Pak Guru Iwan. Di saat yang sama, dia tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Kedoteran di Surabaya. “Kala itu ia tengah belajar di Fakultas Kedokteran, Sekolah Kedokteran Surabaya,“ tulis Kurnia JR.



Dalam kumpulan esai Iwan Simatupang, “Kebebasan Pengarang dan Masalah Tanah Air," disebutkan Iwan Simatupang mahasiswa Fakultas Kedokteran Unair Surabaya. Sayangnya ia hanya kuliah sampai tahun 1953, dan tidak tamat.

Sekitar tahun 1954-1959, Iwan memperoleh bea siswa ke Eropa dari Sticusa (Stichting Culturele Samenwerking) atau Yayasan Kerjasama Indonesia-Belanda. Di Paris, Iwan menekuni filsafat. Di Leiden Belanda, ia belajar drama.

Selama belajar di Eropa, Iwan menikahi wanita Indo bernama Cornelia Astrid Van Geem alias Corry. Pernikahannya dikarunia dua anak laki-laki bernama Ion dan Ino. Saat pulang ke Tanah Air, Iwan Simatupang membawa serta istri dan kedua anaknya.



Kematian Corry pada tahun 1960 membuat Iwan Simatupang sedih dan hancur. Dalam keadaan berduka, Iwan memulai menggarap novel Ziarah. Pada manuskripnya, dia tuliskan kata persembahan untuk Corry.

Novel Merahnya Merah yang dimulai belakangan, terbit duluan pada tahun 1961. Merahnya Merah meraih Hadiah Sastra Nasional pada tahun 1970. Iwan memulai novel Kering ketika merasa muak dengan kemelut politik yang terjadi saat itu (Orde Lama).

Iwan tidak sepakat dengan prinsip politik adalah panglima. Ia merasa sebal melihat seluruh bidang kehidupan masyarakat di bawah kendali politik.



Iwan Simatupang merupakan salah satu dari sejumlah sastrawan yang ikut meneken Manifes Kebudayaan (Manikebu).

Manikebu merupakan kelompok sastrawan, seniman, pelukis, penulis, pemusik yang berada pada kutub yang berseberangan dengan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat).

Manikebu mengusung tag line seni untuk seni dengan humanisme universal sebagai basis pemikiran. Sedangkan para seniman Lekra yang merupakan ounderbow PKI mengusung realisme sosialis.

Dalam perjalanan hidupnya Iwan cukup lama singgah di Hotel Salak, Bogor. Di kamar hotel bernomor 52, hampir seluruh esainya lahir. Dalam surat yang ia tujukan kepada HB Jassin (17 Januari 1962), Iwan menyebut dirinya sebagai “Manusia Hotel”.



“Kalau kukaji hidupku sendiri hingga kini, aku sendiri adalah 'manusia hotel' itu. Terus menerus di hotel. Uit liefde & leed, karena suka dan terpaksa..,” tulisnya.

Pada 4 Agustus 1970, Iwan Simatupang tutup usia. Ia meninggal dunia di rumah kakak perempuanya di Jakarta, karena mengidap penyakit komplikasi.

Sastrawan besar itu meninggal dalam kondisi ekonomi yang parah, selalu mengalami kesulitan biaya hidup, karena tidak mempunyai pekerjaan yang tetap, sering berpindah pekerjaan.
(hsk)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2818 seconds (0.1#10.140)