Laskar Inong Balee, Pasukan Janda Pejuang Aceh yang Ciutkan Nyali Tentara VOC
loading...
A
A
A
Inong Balee Masa DOM
Inong balee kembali muncul dalam sejarah perempuan Aceh sekira 1989. Saat itu konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah RI sedang memuncak. Pada 1990, pemerintah RI bahkan menetapkan Aceh dalam status Daerah Operasi Militer (DOM).
Pada masa ini, makna Inong Balee bukan hanya para janda perang, tapi juga para gadis dan perempuan bersuami yang tergabung dalam GAM. Mereka pun turut melawan pemerintah RI dan angkatan bersenjata Indonesia. Tak sekadar mengangkat senjata, mereka pun berperan dalam banyak aspek, mulai dari dapur umum, perawatan, logistik, propaganda, dan intelijen.
Mengutip Al Chaidar dalam Aceh Bersimbah Darah: Mengungkap Penerapan Status DOM di Aceh 1989-1998 (1998) dijelaskan, pergesaran makna itu dipengaruhi oleh perubahan perilaku dan mentalitas di saat konflik. Pada saat itu, kekerasan bersenjata antara kelompok GAM dengan angkatan bersenjata Indonesia semakin panas.
Begitu juga Reni Nuryanti dalam Perempuan Berselimut Konflik (2012) menerangkan, perempuan Aceh pun mulai memposisikan diri lebih aktif dalam konflik. Sejak 1990, mereka bukan lagi sekedar objek konflik atau instrumen teror, melainkan terlibat sebagai subjek peristiwa.
Pada masa-masa itulah Inong Balee digunakan untuk menyebut para tentara perempuan itu. Julukan ini diberikan oleh Panglima GAM Tengku Abdullah Syafei. Secara resmi, penyebutan Inong Baleesebagai tentara perempuan GAM dinyatakan oleh Juru Bicara GAM Sofyan Dawood pada ulang tahun GAM pada 2000.
Dalam konteks masa DOM, pilihan menjadi Inong Balee bagi perempuan Aceh adalah sebuah konsekuensi pada pilihan hidup atau mati. Namun begitu, posisi inong balee tetaplah penting dalam sejarah Aceh.
Bahan Tulisan: Laksamana Malahayati: Sang Perempuan Keumala oleh Endang Moerdopo
Aceh Bersimbah Darah: Mengungkap Penerapan Status DOM di Aceh 1989-1998 (1998)
Perempuan Berselimut Konflik (2012) oleh Reni Nuryanti
Diolah berbagai sumber
Inong balee kembali muncul dalam sejarah perempuan Aceh sekira 1989. Saat itu konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah RI sedang memuncak. Pada 1990, pemerintah RI bahkan menetapkan Aceh dalam status Daerah Operasi Militer (DOM).
Pada masa ini, makna Inong Balee bukan hanya para janda perang, tapi juga para gadis dan perempuan bersuami yang tergabung dalam GAM. Mereka pun turut melawan pemerintah RI dan angkatan bersenjata Indonesia. Tak sekadar mengangkat senjata, mereka pun berperan dalam banyak aspek, mulai dari dapur umum, perawatan, logistik, propaganda, dan intelijen.
Mengutip Al Chaidar dalam Aceh Bersimbah Darah: Mengungkap Penerapan Status DOM di Aceh 1989-1998 (1998) dijelaskan, pergesaran makna itu dipengaruhi oleh perubahan perilaku dan mentalitas di saat konflik. Pada saat itu, kekerasan bersenjata antara kelompok GAM dengan angkatan bersenjata Indonesia semakin panas.
Begitu juga Reni Nuryanti dalam Perempuan Berselimut Konflik (2012) menerangkan, perempuan Aceh pun mulai memposisikan diri lebih aktif dalam konflik. Sejak 1990, mereka bukan lagi sekedar objek konflik atau instrumen teror, melainkan terlibat sebagai subjek peristiwa.
Pada masa-masa itulah Inong Balee digunakan untuk menyebut para tentara perempuan itu. Julukan ini diberikan oleh Panglima GAM Tengku Abdullah Syafei. Secara resmi, penyebutan Inong Baleesebagai tentara perempuan GAM dinyatakan oleh Juru Bicara GAM Sofyan Dawood pada ulang tahun GAM pada 2000.
Dalam konteks masa DOM, pilihan menjadi Inong Balee bagi perempuan Aceh adalah sebuah konsekuensi pada pilihan hidup atau mati. Namun begitu, posisi inong balee tetaplah penting dalam sejarah Aceh.
Bahan Tulisan: Laksamana Malahayati: Sang Perempuan Keumala oleh Endang Moerdopo
Aceh Bersimbah Darah: Mengungkap Penerapan Status DOM di Aceh 1989-1998 (1998)
Perempuan Berselimut Konflik (2012) oleh Reni Nuryanti
Diolah berbagai sumber
(msd)