Membaca Keberagaman dari Masjid Agung Solo
loading...
A
A
A
Masjid Agung Keraton Surakarta ini sendiri didirikan pada tahun 1745. Bersamaan dengan berdirinya Keraton Kasunanan Surakarta, yang baru saja boyongan dari tlatah Kartasura.
Ini mencandrakan, bahwasanya, keraton dan masjid agung dirintis-dibangun dalam rentang waktu yang tak jauh-jauh amat. Bila dihitung sampai sekarang, masjid Agung Keraton Surakarta sudah nyaris genap mendekati usia yang ke 300 tahun, untuk beberapa tahun ke depan saja.
Pada waktu yang hampir bersamaan pula, di masa lampau itu, berdiri Gereja Margoyudan dan Klentheng Pasar Gedhe. Pendirian dua rumah ibadah ini, menandakan bahwasanya, tempo itu Raja mengakomodasi dan menerima agama di luar Islam.
Seperti yang dijelaskan oleh KH Muhammad Muhtarom, selaku ketua pengurus takmir masjid Agung Keraton Surakarta.
Lebih lanjut, Pak Muhtarom, sapaan akrab KH Muhammad Muhtarom menerangkan ihwal simbol kerajaan, satu di antaranya, adalah masjid Agung.
Bisa dikata, masjid Agung adalah perpanjangan tangan dan representasi keagamaan dari dalam keraton sendiri. Pelbagai masalah juga coba diselesaikan di serambi masjid yang cukup luas ini.
Ruang arsitektural dari masjid Agung bisa dibilang cukup terawat. Dengan pagar yang agak menjulang, gapura gaya Persia yang ditengahnya terpasang jam matahari, juga menara yang tinggi, siap menjamu siapa saja yang datang berkunjung.
Tempat parkir juga lumayan luas. Warna biru akan begitu tampak di mata, sebab amat dominan, selain putih-krem.
Pada suatu siang, di pertengahan bulan November yang cerah bersahabat, saya sengaja sambang masjid Agung Surakarta itu. Di sana, terdapat beberapa fasilitas umum yang bisa diakses bagi publik. Satu di antaranya, adalah perpustakaan masjid Agung.
Perpustakaan ini buka tiap hari selain hari libur atau tanggal merah. Beberapa koleksi di sana bisa dibaca di tempat. Bila pengin dipinjam dan dibawa pulang agar bisa dibaca di rumah, boleh-boleh saja, asal memiliki KTP beralamat kota Solo. Baca: Ribuan Rumah di Pemalang Terendam Banjir 1 Meter Akibat Meluapnya Kali Rambut.
Ini mencandrakan, bahwasanya, keraton dan masjid agung dirintis-dibangun dalam rentang waktu yang tak jauh-jauh amat. Bila dihitung sampai sekarang, masjid Agung Keraton Surakarta sudah nyaris genap mendekati usia yang ke 300 tahun, untuk beberapa tahun ke depan saja.
Pada waktu yang hampir bersamaan pula, di masa lampau itu, berdiri Gereja Margoyudan dan Klentheng Pasar Gedhe. Pendirian dua rumah ibadah ini, menandakan bahwasanya, tempo itu Raja mengakomodasi dan menerima agama di luar Islam.
Seperti yang dijelaskan oleh KH Muhammad Muhtarom, selaku ketua pengurus takmir masjid Agung Keraton Surakarta.
Lebih lanjut, Pak Muhtarom, sapaan akrab KH Muhammad Muhtarom menerangkan ihwal simbol kerajaan, satu di antaranya, adalah masjid Agung.
Bisa dikata, masjid Agung adalah perpanjangan tangan dan representasi keagamaan dari dalam keraton sendiri. Pelbagai masalah juga coba diselesaikan di serambi masjid yang cukup luas ini.
Ruang arsitektural dari masjid Agung bisa dibilang cukup terawat. Dengan pagar yang agak menjulang, gapura gaya Persia yang ditengahnya terpasang jam matahari, juga menara yang tinggi, siap menjamu siapa saja yang datang berkunjung.
Tempat parkir juga lumayan luas. Warna biru akan begitu tampak di mata, sebab amat dominan, selain putih-krem.
Pada suatu siang, di pertengahan bulan November yang cerah bersahabat, saya sengaja sambang masjid Agung Surakarta itu. Di sana, terdapat beberapa fasilitas umum yang bisa diakses bagi publik. Satu di antaranya, adalah perpustakaan masjid Agung.
Perpustakaan ini buka tiap hari selain hari libur atau tanggal merah. Beberapa koleksi di sana bisa dibaca di tempat. Bila pengin dipinjam dan dibawa pulang agar bisa dibaca di rumah, boleh-boleh saja, asal memiliki KTP beralamat kota Solo. Baca: Ribuan Rumah di Pemalang Terendam Banjir 1 Meter Akibat Meluapnya Kali Rambut.