Membaca Keberagaman dari Masjid Agung Solo

Rabu, 24 November 2021 - 07:05 WIB
loading...
Membaca Keberagaman dari Masjid Agung Solo
Saat bertandang ke kota Solo, satu tempat yang rasanya belum afdhal dan kurang lengkap bila tidak dikunjungi, satu di antaranya, adalah Masjid Agung Keraton Solo.(Ist)
A A A
SOLO - Solo adalah kota yang bisa dijadikan barometer kebudayaan “Jawa”. Selain Yogyakarta, tentu saja. Tak salah, bila Solo kemudian berdaulat-bergema dengan slogan The Spirit of Java.

Kota ini menjadi tempat bertemunya sekian kebudayaan hingga melahirkan suatu sintesis budaya yang hibrid.

Hibriditas yang dimiliki kota Solo meliputi beragam sisi dan dimensi. Ada banyak hal yang membuat kota yang dialiri Sungai Bengawan ini bertambah kaya dan penuh warna. Sungguh.

Mulai dari soal arsitektural, perayaan komunal, budaya lokal, denyut kota, destinasi wisata, dan segala rupa keberagaman lainnya.

Saat bertandang ke kota Solo, satu tempat yang rasanya belum afdhal dan kurang lengkap bila tidak dikunjungi, satu di antaranya, adalah Masjid Agung Keraton Solo. Masjid satu ini telah melewati perjalanan waktu historis yang mahapanjang.

Keberadaan masjid ini pun turut menjadi saksi atas pelbagai peristiwa yang terjadi di kota Solo, dari masa ke masa. Tak ayal, bila masjid Agung Keraton termasuk ke dalam situs sejarah, yang sampai sekarang masih bebas untuk dikunjungi, dan berfungsi seperti sedia kala.

Sebagai masjid yang menyandang status masjid keraton, sebermula masjid ini ditujukan untuk mendukung penuh segala keperluan dan kepentingan keraton yang masih berkaitan dengan keagamaan, atau ritual yang bersinggungan dengan ke-Islam-an maupun ke-Jawaan, seperti grebeg, sekaten, maupun maulid nabi, umpamanya.

Pelbagai kegiatan mengundang orang-orang untuk turut merayakan, memberi tontonan, dan memanjatkan doa-doa. Peristiwa demi peristiwa terjadi melibatkan banyak orang, memberi kesempatan dan ruang perjumpaan untuk publik sekaligus sarana nguri-nguri budaya.

Lokasi masjid ini berada tepat di sebelah barat Alun-alun Utara kota Solo. Sedang di sebelah selatan, berdiri Pasar Klewer. Sebuah pasar tempat praktik ekonismistik warga Solo berlangsung.

Antara keraton (kerajaan), pasar, alun-alun, dan rumah ibadah yakni masjid, rasa-rasanya selaras dengan selera dan konsep kerajaan masa itu. Keempat entitas ini adalah satu kesatuan yang saling melengkapi, sebagai sarana ruang kota.

Masjid Agung Keraton Surakarta ini sendiri didirikan pada tahun 1745. Bersamaan dengan berdirinya Keraton Kasunanan Surakarta, yang baru saja boyongan dari tlatah Kartasura.

Ini mencandrakan, bahwasanya, keraton dan masjid agung dirintis-dibangun dalam rentang waktu yang tak jauh-jauh amat. Bila dihitung sampai sekarang, masjid Agung Keraton Surakarta sudah nyaris genap mendekati usia yang ke 300 tahun, untuk beberapa tahun ke depan saja.

Pada waktu yang hampir bersamaan pula, di masa lampau itu, berdiri Gereja Margoyudan dan Klentheng Pasar Gedhe. Pendirian dua rumah ibadah ini, menandakan bahwasanya, tempo itu Raja mengakomodasi dan menerima agama di luar Islam.

Seperti yang dijelaskan oleh KH Muhammad Muhtarom, selaku ketua pengurus takmir masjid Agung Keraton Surakarta.

Lebih lanjut, Pak Muhtarom, sapaan akrab KH Muhammad Muhtarom menerangkan ihwal simbol kerajaan, satu di antaranya, adalah masjid Agung.

Bisa dikata, masjid Agung adalah perpanjangan tangan dan representasi keagamaan dari dalam keraton sendiri. Pelbagai masalah juga coba diselesaikan di serambi masjid yang cukup luas ini.

Ruang arsitektural dari masjid Agung bisa dibilang cukup terawat. Dengan pagar yang agak menjulang, gapura gaya Persia yang ditengahnya terpasang jam matahari, juga menara yang tinggi, siap menjamu siapa saja yang datang berkunjung.

Tempat parkir juga lumayan luas. Warna biru akan begitu tampak di mata, sebab amat dominan, selain putih-krem.

Pada suatu siang, di pertengahan bulan November yang cerah bersahabat, saya sengaja sambang masjid Agung Surakarta itu. Di sana, terdapat beberapa fasilitas umum yang bisa diakses bagi publik. Satu di antaranya, adalah perpustakaan masjid Agung.

Perpustakaan ini buka tiap hari selain hari libur atau tanggal merah. Beberapa koleksi di sana bisa dibaca di tempat. Bila pengin dipinjam dan dibawa pulang agar bisa dibaca di rumah, boleh-boleh saja, asal memiliki KTP beralamat kota Solo. Baca: Ribuan Rumah di Pemalang Terendam Banjir 1 Meter Akibat Meluapnya Kali Rambut.

Sebelum memasuki serambi masjid, pengunjung akan melewati kolam terlebih dahulu. Kolam ini ada di tiap-tiap sisi masjid. Keberadaan kolam, yang bakal membasuh kaki-kaki jamaah yang hendak memasuki masjid ini, bukan tanpa sebab musabab.

“Mbah-mbah disek itu kan nggak nggo sandal. Ulama-ulama biyen marai pelajaran dengan langsung dipraktikkan tanpa harus menggurui, biar tidak tersinggung, maka dibuatlah kolam air. Otomatis bila masuk masjid, sudah suci,” ungkap Pak Muhtarom lagi.

Masjid Agung Keraton Surakarta ini, tutur Pak Muhtarom, “bukan hanya aset untuk umat Islam saja, tapi aset bangsa. Bila sudah menyangkut bangsa, maka milik semua," sebutnya. Baca Juga: Akses Masuk Gang Ditutup Tembok, Warga di Brebes Ini Terpaksa Miringkan Badan.

Sampai sekarang, masjid Agung ini masih menjadi titik penting tradisi Islam di Keraton Surakarta, pendeknya, dan yang lebih luas, mewakili cermin budaya keberagaman di Kota Solo sebagaimana umumnya.

Sumbangsih dari Masjid Agung Solo tak bisa diabaikan atau disepelekan begitu saja, dengan amat gampangnya. Peran masjid ini tak sekadar catatan kaki.
(nag)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1981 seconds (0.1#10.140)