Sejak Belia Diponegoro Sudah Muak dengan Tekanan Politik Belanda ke Keraton Jogjakarta
loading...
A
A
A
Raden Ronggo yang merupakan adipati di Madiun, juga dipanggil menghadap. Sebab Madiun, juga daerah yang memiliki kayu berlimpah. Bupati Padangan, dan Panolan, kemudian ikut memberontak kepada Belanda, bersama Raden Ronggo.
Raden Tumenggung Notowijoyo III dari Panolan, adalah mertua Pangeran Diponegoro. Melalui mertuanya inilah, Pangeran Diponegoro muda akhirnya merasakan secara langsung tekanan-tekanan politik Belanda yang dialamatkan kepada kesultanan, untuk membuka akses Belanda ke wilayah penghasil kayu.
Langkah Daendels ini juga untuk mengamankan akses persediaan kayu jati. Tak hanya keputusan untuk mendatangkan dua bupati di timur Keraton Yogyakarta, juga untuk mengurangi berbagai aksi penggarongan di wilayah Belanda yang dilakukan warga.
Menurut Daendels, kerja sama pihak keraton dalam usaha-usaha penyelidikan tindak kriminal ini, agar para pelaku kejahatan tidak mudah mencari perlindungan di wilayah yurisdiksi keraton. Maka makin meyakinkan Daendels bahwa suatu perjanjian baru tentang hukum dan ketertiban mutlak diperlukan.
Maka pada 26 September 1808 kesepakatan hukum dan ketertiban ditandangani oleh dua patih dari Surakarta dan Yogyakarta di Klaten. Kerasnya ancaman hukuman yang ditetapkan mencerminkan kemustahilan hukum dan ketertiban dapat dilaksanakan di dalam kesemrawutan administratif pemerintahan, yang tidak memberi harapan sama sekali di keraton-keraton Jawa Tengah bagian selatan.
Raden Tumenggung Notowijoyo III dari Panolan, adalah mertua Pangeran Diponegoro. Melalui mertuanya inilah, Pangeran Diponegoro muda akhirnya merasakan secara langsung tekanan-tekanan politik Belanda yang dialamatkan kepada kesultanan, untuk membuka akses Belanda ke wilayah penghasil kayu.
Baca Juga
Langkah Daendels ini juga untuk mengamankan akses persediaan kayu jati. Tak hanya keputusan untuk mendatangkan dua bupati di timur Keraton Yogyakarta, juga untuk mengurangi berbagai aksi penggarongan di wilayah Belanda yang dilakukan warga.
Menurut Daendels, kerja sama pihak keraton dalam usaha-usaha penyelidikan tindak kriminal ini, agar para pelaku kejahatan tidak mudah mencari perlindungan di wilayah yurisdiksi keraton. Maka makin meyakinkan Daendels bahwa suatu perjanjian baru tentang hukum dan ketertiban mutlak diperlukan.
Maka pada 26 September 1808 kesepakatan hukum dan ketertiban ditandangani oleh dua patih dari Surakarta dan Yogyakarta di Klaten. Kerasnya ancaman hukuman yang ditetapkan mencerminkan kemustahilan hukum dan ketertiban dapat dilaksanakan di dalam kesemrawutan administratif pemerintahan, yang tidak memberi harapan sama sekali di keraton-keraton Jawa Tengah bagian selatan.
(eyt)