Sejak Belia Diponegoro Sudah Muak dengan Tekanan Politik Belanda ke Keraton Jogjakarta

Jum'at, 22 Oktober 2021 - 06:12 WIB
loading...
Sejak Belia Diponegoro Sudah Muak dengan Tekanan Politik Belanda ke Keraton Jogjakarta
Perjuangan Pangeran Diponegoro dalam melawan penjajah Belanda, telah dimulai sejak muda. Foto/Ist.
A A A
Tekanan politik Belanda kepada Keraton Jogjakarta, membuat muak Pangeran Diponegoro sejak usianya masih belia. Hal inilah yang nampaknya membuat benih-benih perlawanan terhadap kesewenang-wenangan Belanda, tumbuh subur di dalam hati dan pikiran Pangeran Diponegoro.



Gubernur Jenderal Belanda ke-36 di Hindia Belanda, Herman Willem Daendels, sering kali menekan Keraton Jogjakarta dengan kekuatan bersenjata guna memaksakan kehendaknya. Salah satunya, pada paruh pertama bulan Agustus 1808, sultan kedua Keraton Jogjakarta, dipaksa menerima aturan seremonial baru yang diberlakukan Daendels.



Peter Carey, dalam bukunya yang berjudul "Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855", mengungkapkan, saat itu Belanda menuduh raja Jogjakarta itu kurang setia menegaskan bahwa segala perkara akan beres jika ia dapat berbicara dengan sultan secara pribadi.



Namun dengan 3.000 serdadu di belakangnya, pertemuan tatap muka antara Daendels dengan Sultan Jogjakarta, hampir tidak mungkin dapat menjadi pertemuan pemikiran. Tekanan juga diarahkan oleh Belanda agar keraton membuka akses Belanda ke hutan-hutan jati di wilayah sebelah timur.

Ketua Dewan Administrasi Hutan yang baru ditunjuk oleh Gubernur Jenderal Gustaf Wilhelm Wiese menuliskan surat dari Rembang, untuk meminta bupati-bupati di Padangan yang sekarang menjadi bagian dari Kabupaten Bojonegoro, dan Panolan yang sekarang dikenal dengan Cepu.



Dari daerah inilah Belanda membutuhkan untuk kegiatan penebangan kayu. Maka bupati-bupati wilayah Padangan, dan Panolan, diminta untuk hadir di Jogjakarta. Tujuannya satu, guna mendengarkan instruksi-instruksi Daendels.

Raden Ronggo yang merupakan adipati di Madiun, juga dipanggil menghadap. Sebab Madiun, juga daerah yang memiliki kayu berlimpah. Bupati Padangan, dan Panolan, kemudian ikut memberontak kepada Belanda, bersama Raden Ronggo.

Raden Tumenggung Notowijoyo III dari Panolan, adalah mertua Pangeran Diponegoro. Melalui mertuanya inilah, Pangeran Diponegoro muda akhirnya merasakan secara langsung tekanan-tekanan politik Belanda yang dialamatkan kepada kesultanan, untuk membuka akses Belanda ke wilayah penghasil kayu.



Langkah Daendels ini juga untuk mengamankan akses persediaan kayu jati. Tak hanya keputusan untuk mendatangkan dua bupati di timur Keraton Yogyakarta, juga untuk mengurangi berbagai aksi penggarongan di wilayah Belanda yang dilakukan warga.

Menurut Daendels, kerja sama pihak keraton dalam usaha-usaha penyelidikan tindak kriminal ini, agar para pelaku kejahatan tidak mudah mencari perlindungan di wilayah yurisdiksi keraton. Maka makin meyakinkan Daendels bahwa suatu perjanjian baru tentang hukum dan ketertiban mutlak diperlukan.

Maka pada 26 September 1808 kesepakatan hukum dan ketertiban ditandangani oleh dua patih dari Surakarta dan Yogyakarta di Klaten. Kerasnya ancaman hukuman yang ditetapkan mencerminkan kemustahilan hukum dan ketertiban dapat dilaksanakan di dalam kesemrawutan administratif pemerintahan, yang tidak memberi harapan sama sekali di keraton-keraton Jawa Tengah bagian selatan.
(eyt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1830 seconds (0.1#10.140)