Jejak HOS Tjokroaminoto, Raja Jawa Tanpa Mahkota Gurunya Soekarno, Muso, Semaun, dan Kartosuwiryo
loading...
A
A
A
Namanya begitu harum, dikenang sebagai Raja Jawa Tanpa Mahkota. Dia adalah Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto. Pendiri Sarekat Islam ini, juga indung semang para pejuang. Dari tangan dinginnya, tokoh nasional bermunculan.
Baca Juga: 100 Tahun Zelfbestuur HOS Tjokroaminoto (1916-2016)
Nama Raja Jawa Tanpa Mahkota pertama kali dilontarkan Pemerintah Hindia Belanda. Waktu itu mereka menyebut "De Ongekroonde van Java" atau Raja Jawa Tanpa Mahkota yang mengiringi perjalanan penuh heroik HOS Tjokroaminoto. Nafas perjuangannya tak pernah putus dan selalu memberikan warna dalam dimensi perjuangan kemerdekaan.
Ketika mendengar nama Tjokroaminoto, Belanda selalu gemetaran. Semua itu tak lepas dari besarnya pengaruh Tjokroaminoto di kalangan masyarakat dan juga menggambarkan rasa khawatir Belanda terhadap tokoh yang membentuk karakter Bung Karno sejak muda ini.
Waktu itu, Bung Karno datang ke Surabaya di usia 15 tahun dan tinggal di rumah kos milik Tjokroaminoto. Di saat taring Belanda begitu kuat di masyarakat untuk menebar teror, Tjokroaminoto dikenal dengan pidato yang menyentuh hati untuk menggerakan massa. Peracik siasat yang jitu, serta bapak pergerakan nasional yang ulung.
Dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang ditulis oleh Cindy Adams menjelakan, tiap malam di rumah Peneleh gang VII itu selalu datang para tokoh pergerakan nasional untuk bertemu dengan Tjokroaminoto. Mereka meracik siasat, berdiskusi tentang kebangsaan dan menyegarkan perlawanan.
Bung Karno kecil waktu itu tak mau melewatkan momen itu, ia duduk di lantai sambil mendengarkan berbagai percakapan Raja Jawa Tanpa Mahkota itu pada para pejuang. Diskusi itu banyak dilakukan malam hari sampai larut yang begitu dingin. Bung Karno kecil saja waktu itu masih tetap memasang mata, tanpa melewatkan sedikitpun percakapan. "Berapa banyak yang diambil Belanda dari Indonesia?" cletuk Bung Karno.
"Anak ini sangat ingin tahu," kata Tjokroaminoto. Kemudian menambahkan, "De Vereenigde Oost Indische Compagnie atau mencuri kira-kira 1.800 juta gulden dari tanah kita setiap tahunnya untuk memberi makan Den Haag".
Api perlawanan terus bangkit ketika Raja Jawa Tanpa Mahkota itu membuka banyak tabir kekejaman penjajahan. Begitulah tiap malam. Dalam pekat kopi yang tersaji sampai pagi bersama dengan obrolan berbagai macam jenis tokoh yang ditemuinya di rumah Tjokroaminoto.
Tjokroaminoto sendiri lahir di Desa Bakur, Tegalsari, Ponorogo pada 1883. Ayahnya adalah Raden Mas Tjokroamiseno, bangsawan yang sangat disegani oleh masyarakat karena bekerja sebagai wedana di Kleco, Madiun. Sedangkan kakeknya, Raden Mas Tjokronegoro adalah mantan Bupati Ponorogo.
Tjokroaminoto menempuh pendidikan pada Sekolah Dasar. Setelah tamat, sesuai dengan keinginan ayahnya, ia melanjutkan petualangan ke Opleiding School voor Inlandse Ambtenaren (OSVIA) di Magelang. Ia selesai menempuh pendidikan di OSVIA pada 1902.
Tjokroaminoto kemudian memulai kehidupan dengan bekerja sebagai juru tulis pangrehpraja di Ngawi. Tiga tahun kemudian, Tjokroaminoto pindah ke perusahaan swasta Firma De Kooy di Surabaya.
Sambil bekerja, dia bersekolah sore hari di Burgerlijke Avond School (sekolah teknik) dengan mengambil jurusan teknik mesin. Sesudah lulus, dia bekerja sebagai ahli kimia pada sebuah pabrik gula di daerah Surabaya.
Pada tahun 1912, titik balik dalam perjuangan politiknya dimulai. Ia sudah tidak pernah bekerja lagi sebagai pegawai. Pada tahun itu dirinya bertemu Haji Samanhudi, pendiri Sarekat Dagang Islam (SDI) di Surabaya. Tjokroaminoto mengusulkan agar nama SDI diubah menjadi Sarekat Islam, tanpa meninggalkan misi dagang. Tujuannya adalah agar cakupannya lebih luas dan berkembang.
Haji Samanhudi memberikan kata sepakat atas usulan itu. Ia kemudian meminta Tjokroaminoto menyusun Anggaran Dasar SI. Tjokroaminoto bergerak cepat. Tugas yang diberikan Haji Samanhudi pun diselesaikannya.
Dalam anggaran dasar itu disebutkan bahwa tujuan SI ialah memajukan perdagangan, menolong anggotanya yang mengalami kesulitan, memajukan kepentingan rohani dan jasmani kaum bumiputera, dan memajukan kehidupan agama Islam.
SI berkembang dengan pesat dan dalam waktu singkat jumlah anggotanya bertambah. Pada 1913, SI mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda supaya diakui sebagai badan hukum untuk seluruh Indonesia. Permohonan itu pun ditolak.
Pada 1915, istilah Central Comitte diganti dengan Central SI. Bersamaan dengan itu, Tjokroaminoto diangkat sebagai Ketua Central SI, sedangkan Samanhudi sebagai Ketua Kehormatan. Pada Maret 1916, Anggaran Dasar SI akhirnya diakui oleh pemerintah.
Sejak aktif dalam SI, Tjokroaminoto tidak mempunyai penghasilan tetap. Untuk membantu keperluan rumah tangganya, ia menerima beberapa orang pemuda mondok di rumahnya yang kecil yang terletak di sebuah gang sempit di kawasan Peneleh, Surabaya.
Selain sibuk memimpin SI, Tjokroaminoto juga banyak menulis di berbagai majalah dan surat kabar. Ia menjadi pembantu tetap majalah Bintang Surabaya. Untuk kepentingan SI, ia mendirikan NV Setia yang menerbitkan harian Utusan Hindia yang dipimpinnya sendiri.
Tulisan-tulisan dalam harian itu sangat tajam mengecam pemerintah kolonial. Karena itulah, tahun 1923 harian tersebut dilarang terbit. Namun, dua tahun kemudian, bersama Agus Salim, Tjokroaminoto menerbitkan harian Fajar Asia di Yogyakarta.
Tjokroaminoto bercita-cita agar bangsa Indonesia kelak memiliki pemerintahan sendiri dan terbebas dari belenggu penjajah. Demi mewujudkan cita-citanya itu, ia memiliki gagasan membentuk parlemen yang diharapkan bisa melahirkan perundang-undangan. Gagasan Tjokroaminoto ini dilontarkan di tengah-tengah Kongres Nasional Pertama Central Sarekat Islam pada 1916.
Tak lama setelah Tjokroaminoto mengusulkan pembentukan parlemen, tepatnya pada 1918, pemerintah kolonial Belanda bersedia membentuk Dewan Rakyat (Volksraad). Tjokroaminoto dan tokoh SI lainnya, yakni Abdul Muis dan Agus Salim terpilih sebagai anggota Dewan itu.
Sampai akhir hayatnya, Tjokroaminoto tak pernah lelah untuk terus mendidik anak muda dalam perjuangan. Pada 17 Desember 1934, Tjokroaminoto wafat di Yogyakarta dan dimakamkan di TMP Pekuncen, Yogyakarta. Dari tangan dinginnya, banyak pejuang yang terus menanamkan nasionalisme dan mampu mengusir penjajah.
Baca Juga: 100 Tahun Zelfbestuur HOS Tjokroaminoto (1916-2016)
Nama Raja Jawa Tanpa Mahkota pertama kali dilontarkan Pemerintah Hindia Belanda. Waktu itu mereka menyebut "De Ongekroonde van Java" atau Raja Jawa Tanpa Mahkota yang mengiringi perjalanan penuh heroik HOS Tjokroaminoto. Nafas perjuangannya tak pernah putus dan selalu memberikan warna dalam dimensi perjuangan kemerdekaan.
Ketika mendengar nama Tjokroaminoto, Belanda selalu gemetaran. Semua itu tak lepas dari besarnya pengaruh Tjokroaminoto di kalangan masyarakat dan juga menggambarkan rasa khawatir Belanda terhadap tokoh yang membentuk karakter Bung Karno sejak muda ini.
Waktu itu, Bung Karno datang ke Surabaya di usia 15 tahun dan tinggal di rumah kos milik Tjokroaminoto. Di saat taring Belanda begitu kuat di masyarakat untuk menebar teror, Tjokroaminoto dikenal dengan pidato yang menyentuh hati untuk menggerakan massa. Peracik siasat yang jitu, serta bapak pergerakan nasional yang ulung.
Dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang ditulis oleh Cindy Adams menjelakan, tiap malam di rumah Peneleh gang VII itu selalu datang para tokoh pergerakan nasional untuk bertemu dengan Tjokroaminoto. Mereka meracik siasat, berdiskusi tentang kebangsaan dan menyegarkan perlawanan.
Bung Karno kecil waktu itu tak mau melewatkan momen itu, ia duduk di lantai sambil mendengarkan berbagai percakapan Raja Jawa Tanpa Mahkota itu pada para pejuang. Diskusi itu banyak dilakukan malam hari sampai larut yang begitu dingin. Bung Karno kecil saja waktu itu masih tetap memasang mata, tanpa melewatkan sedikitpun percakapan. "Berapa banyak yang diambil Belanda dari Indonesia?" cletuk Bung Karno.
"Anak ini sangat ingin tahu," kata Tjokroaminoto. Kemudian menambahkan, "De Vereenigde Oost Indische Compagnie atau mencuri kira-kira 1.800 juta gulden dari tanah kita setiap tahunnya untuk memberi makan Den Haag".
Api perlawanan terus bangkit ketika Raja Jawa Tanpa Mahkota itu membuka banyak tabir kekejaman penjajahan. Begitulah tiap malam. Dalam pekat kopi yang tersaji sampai pagi bersama dengan obrolan berbagai macam jenis tokoh yang ditemuinya di rumah Tjokroaminoto.
Tjokroaminoto sendiri lahir di Desa Bakur, Tegalsari, Ponorogo pada 1883. Ayahnya adalah Raden Mas Tjokroamiseno, bangsawan yang sangat disegani oleh masyarakat karena bekerja sebagai wedana di Kleco, Madiun. Sedangkan kakeknya, Raden Mas Tjokronegoro adalah mantan Bupati Ponorogo.
Tjokroaminoto menempuh pendidikan pada Sekolah Dasar. Setelah tamat, sesuai dengan keinginan ayahnya, ia melanjutkan petualangan ke Opleiding School voor Inlandse Ambtenaren (OSVIA) di Magelang. Ia selesai menempuh pendidikan di OSVIA pada 1902.
Tjokroaminoto kemudian memulai kehidupan dengan bekerja sebagai juru tulis pangrehpraja di Ngawi. Tiga tahun kemudian, Tjokroaminoto pindah ke perusahaan swasta Firma De Kooy di Surabaya.
Sambil bekerja, dia bersekolah sore hari di Burgerlijke Avond School (sekolah teknik) dengan mengambil jurusan teknik mesin. Sesudah lulus, dia bekerja sebagai ahli kimia pada sebuah pabrik gula di daerah Surabaya.
Pada tahun 1912, titik balik dalam perjuangan politiknya dimulai. Ia sudah tidak pernah bekerja lagi sebagai pegawai. Pada tahun itu dirinya bertemu Haji Samanhudi, pendiri Sarekat Dagang Islam (SDI) di Surabaya. Tjokroaminoto mengusulkan agar nama SDI diubah menjadi Sarekat Islam, tanpa meninggalkan misi dagang. Tujuannya adalah agar cakupannya lebih luas dan berkembang.
Haji Samanhudi memberikan kata sepakat atas usulan itu. Ia kemudian meminta Tjokroaminoto menyusun Anggaran Dasar SI. Tjokroaminoto bergerak cepat. Tugas yang diberikan Haji Samanhudi pun diselesaikannya.
Dalam anggaran dasar itu disebutkan bahwa tujuan SI ialah memajukan perdagangan, menolong anggotanya yang mengalami kesulitan, memajukan kepentingan rohani dan jasmani kaum bumiputera, dan memajukan kehidupan agama Islam.
SI berkembang dengan pesat dan dalam waktu singkat jumlah anggotanya bertambah. Pada 1913, SI mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda supaya diakui sebagai badan hukum untuk seluruh Indonesia. Permohonan itu pun ditolak.
Pada 1915, istilah Central Comitte diganti dengan Central SI. Bersamaan dengan itu, Tjokroaminoto diangkat sebagai Ketua Central SI, sedangkan Samanhudi sebagai Ketua Kehormatan. Pada Maret 1916, Anggaran Dasar SI akhirnya diakui oleh pemerintah.
Sejak aktif dalam SI, Tjokroaminoto tidak mempunyai penghasilan tetap. Untuk membantu keperluan rumah tangganya, ia menerima beberapa orang pemuda mondok di rumahnya yang kecil yang terletak di sebuah gang sempit di kawasan Peneleh, Surabaya.
Selain sibuk memimpin SI, Tjokroaminoto juga banyak menulis di berbagai majalah dan surat kabar. Ia menjadi pembantu tetap majalah Bintang Surabaya. Untuk kepentingan SI, ia mendirikan NV Setia yang menerbitkan harian Utusan Hindia yang dipimpinnya sendiri.
Tulisan-tulisan dalam harian itu sangat tajam mengecam pemerintah kolonial. Karena itulah, tahun 1923 harian tersebut dilarang terbit. Namun, dua tahun kemudian, bersama Agus Salim, Tjokroaminoto menerbitkan harian Fajar Asia di Yogyakarta.
Tjokroaminoto bercita-cita agar bangsa Indonesia kelak memiliki pemerintahan sendiri dan terbebas dari belenggu penjajah. Demi mewujudkan cita-citanya itu, ia memiliki gagasan membentuk parlemen yang diharapkan bisa melahirkan perundang-undangan. Gagasan Tjokroaminoto ini dilontarkan di tengah-tengah Kongres Nasional Pertama Central Sarekat Islam pada 1916.
Tak lama setelah Tjokroaminoto mengusulkan pembentukan parlemen, tepatnya pada 1918, pemerintah kolonial Belanda bersedia membentuk Dewan Rakyat (Volksraad). Tjokroaminoto dan tokoh SI lainnya, yakni Abdul Muis dan Agus Salim terpilih sebagai anggota Dewan itu.
Sampai akhir hayatnya, Tjokroaminoto tak pernah lelah untuk terus mendidik anak muda dalam perjuangan. Pada 17 Desember 1934, Tjokroaminoto wafat di Yogyakarta dan dimakamkan di TMP Pekuncen, Yogyakarta. Dari tangan dinginnya, banyak pejuang yang terus menanamkan nasionalisme dan mampu mengusir penjajah.
(eyt)