Kisah Perwira Jepang Galau Mabuk Miras di Depan Bung Karno usai Kalah dari Sekutu
loading...
A
A
A
Kegalauan melanda para perwira dan prajurit Jepang, mereka belum bisa menerima kabar kekalahan perang dari Sekutu. Mereka tenggelam dalam kemuraman, dan pesta sake atau minuman keras (Miras) khas Jepang, usai Kaisar Hirohito mengumumkan menyerah kalah keoada Sekutu melalui siaran radio.
Dituasi kemuraman sangat terasa pada detik-detik menjelang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Para perwira dan pegawai markas besar tentara pendudukan Jepang, serta departemen luar negeri (gaimusho) mengalami kegalauan.
Para perwira Jepang tersebut, berkumpul di rumah Mayor Jenderal Otoshi Nisimura, Kepala Staf Urusan Umum (Somubucho) di Jalan Diponegoro (dahulu Jalan Meiji) Jakarta, dengan kesedihan mendalam.
Di antaranya terlihat Miyoshi, diplomat kedutaan besar Jepang, di Den Haag dan Letnan Satu Saito, diplomat Kementerian Luar Negeri. Kemuraman itu diekspresikan dengan menenggak sake.
Kekalahan perang itu membuat pimpinan angkatan darat Jepang memutuskan tidak akan berbuat apa-apa selain menunggu tibanya tentara Sekutu di Indonesia. Mereka terikat perintah status quo dari Sekutu. "Mereka minum-minum sake untuk melupakan kesedihan," dikutip dari buku Sutan Sjahrir, Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan (2010).
Yoshio Nakatani, Shidokan atau supervisor surat kabar Asia Raya sekaligus juru bahasa pemerintah militer Dai Nippon, melukiskan kesedihan itu dalam sebuah laporan tertulis. Di rumah Otoshi Nisimura itu hadir juga Soekarno, Hatta, dan Laksamana Maeda.
"Para perwira Jepang mustahil mau menyinggung tentang menyerah kalahnya mereka, dan bersama-sama dengan itu melibatkan diri membantu persiapan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Lagi pula, mereka terikat perintah status quo dari Sekutu," tulis Nakatani.
Dituasi kemuraman sangat terasa pada detik-detik menjelang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Para perwira dan pegawai markas besar tentara pendudukan Jepang, serta departemen luar negeri (gaimusho) mengalami kegalauan.
Para perwira Jepang tersebut, berkumpul di rumah Mayor Jenderal Otoshi Nisimura, Kepala Staf Urusan Umum (Somubucho) di Jalan Diponegoro (dahulu Jalan Meiji) Jakarta, dengan kesedihan mendalam.
Di antaranya terlihat Miyoshi, diplomat kedutaan besar Jepang, di Den Haag dan Letnan Satu Saito, diplomat Kementerian Luar Negeri. Kemuraman itu diekspresikan dengan menenggak sake.
Kekalahan perang itu membuat pimpinan angkatan darat Jepang memutuskan tidak akan berbuat apa-apa selain menunggu tibanya tentara Sekutu di Indonesia. Mereka terikat perintah status quo dari Sekutu. "Mereka minum-minum sake untuk melupakan kesedihan," dikutip dari buku Sutan Sjahrir, Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan (2010).
Yoshio Nakatani, Shidokan atau supervisor surat kabar Asia Raya sekaligus juru bahasa pemerintah militer Dai Nippon, melukiskan kesedihan itu dalam sebuah laporan tertulis. Di rumah Otoshi Nisimura itu hadir juga Soekarno, Hatta, dan Laksamana Maeda.
"Para perwira Jepang mustahil mau menyinggung tentang menyerah kalahnya mereka, dan bersama-sama dengan itu melibatkan diri membantu persiapan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Lagi pula, mereka terikat perintah status quo dari Sekutu," tulis Nakatani.