Hari Kemerdekaan, Melihat Para Milenial Tulungagung Tekuni Gerakan Rakyat Bantu Rakyat

Minggu, 15 Agustus 2021 - 12:17 WIB
loading...
Hari Kemerdekaan, Melihat Para Milenial Tulungagung Tekuni Gerakan Rakyat Bantu Rakyat
Di warkop yang berada di Kelurahan Kepatihan, Kota Tulungagung, para komunitas milenial Tulungagung menyiapkan gerakan sosial. (Foto/Sindonews/Solichan Arif)
A A A
TULUNGAGUNG - Hati Suhita Wiratri (24) dongkol merasa tidak bisa berbuat apa-apa, saat melihat orang-orang di sekitarnya pada mengeluh. Tetangganya yang pedagang kecil, curhat. Sejak berlaku PPKM Darurat , kondisi ekonomi mereka semakin gawat.

Di Kabupaten Tulungagung, pelaksanaan PPKM Darurat diikuti pemberlakuan jam malam. Supaya warga tidak keluar rumah, mulai pukul 20.00 WIB lampu-lampu penerangan jalan umum, dimatikan. Intensitas razia protokol kesehatan juga ditingkatkan.

Upaya Pemkab Tulungagung mencegah kerumunan terbilang sukses. Suasana malam di Tulungagung berubah seperti "kota mati". Jalan-jalan sepi. Warga malas meninggalkan rumah. Banyak yang khawatir terjaring razia. Karena sepi pembeli, lapak-lapak pedagang kecil terpaksa tutup lebih dini.

Baca juga: Ironis! Beras Bantuan Sosial di Tuban Berkutu dan Bau Apek, Oleh Warga Dijadikan Pakan Ayam

Pedagang nasi bantingan. Warung kopi dan gorengan, serta angkringan. Kalau tidak sampai gulung tikar, biasanya bertahan dengan merelakan terbelit hutang. "Ini menyedihkan. Apalagi kita kenal dengan mereka," tutur Suhita kepada Sindonews.com.

Suatu hari, teman karib Suhita yang biasanya berjualan nasi di pinggir jalan, berbagi kabar. Dalam waktu dekat akan berhenti jualan. Jalanan sudah tidak bisa diharapkan. Si teman akan banting stir menjadi pengamen jalanan. Mendengar itu, Suhita merasa terpukul.

Suhita marah pada diri sendiri. Kenapa tidak berdaya membantu. Ia mulai berfikir tentang komunitas. Tentang orang-orang yang berfikiran sama. "Saya marah, kenapa menjadi orang yang lemah. Kalau kuat, saya bisa membantu orang lain," kenang Suhita dengan mata berkaca-kaca.

Suhita berpenampilan tomboi. Jumper selalu melekat di tubuhnya. Jumper yang dipadu dipadu celana jeans gelap, serta sepatu warna senada. Rambut ikalnya yang tumbuh sebahu, dibebaskan awut-awutan. Tahun 2018, Suhita baru lulus kuliah. Di kampus negeri Jember, ia belajar Ilmu Sosiologi.

Meski terkadang masih wira-wiri Tulungagung-Jember, sejak lulus Suhita lebih banyak berada di Tulungagung. "Dulu saat masih di kampus justru aktif di kegiatan olahraga," terangnya. Di sebuah kedai kopi kecil di Kelurahan Kepatihan, Kota Tulungagung, Suhita cerita.

Ia yang sudah lama menggemari motor-motor klasik itu, suatu hari bertemu komunitas yang satu hobi dengannya. Entah bagaimana awalnya. Kami, kata Suhita tidak lagi melulu bicara soal motor. Tema percakapan melebar kemana-mana. Para anak muda itu memiliki kegelisahan yang sama.

Terutama soal imbas pandemi COVID-19. Sampai suatu ketika muncul premis yang terucap : negara memang tengah melindungi rakyat dari bahaya COVID-19. Tapi negara lupa, kelaparan juga bisa membunuh rakyat. "Kami bersepakat untuk melakukan kegiatan sosial sama-sama. Karena kalau sendirian jelas tidak kuat," terang Suhita.

Kedai kopi tempat berkumpul berbagai komunitas tersebut, milik Pendik Herlambang (29). Melihat kegelisahan para milienial, Pendik yang juga penghobi motor, spontan berinisiatif membuat grup WA. Yang bergabung tidak hanya komunitas sepeda motor.

Baca juga: Darah Tertumpah di Bandung Utara, Kisah Kegelisahan Trio Sersan saat Diminta Melucuti Senjata

Ada juga pemilik kedai kopi lain. Kemudian seniman, pendekar perguruan silat, aktivis mahasiswa, pelajar, termasuk para pelanggan kopi, juga turut bergabung. "Nama grup WA nya Sila Kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab," kata Pendik yang duduk di sebelah Suhita.

Sebagai pedagang kedai kopi, Pendik merasakan sendiri betapa "jahatnya" dampak PPKM Darurat. Usaha kecilnya megap-megap. Penjualan kopi yang dulunya bisa ratusan cangkir per hari, kini tinggal tersisa sepuluh cangkir. Namun dibanding teman-temanya, Pendik masih bisa bersyukur.

Di kalangan seniman, ia melihat banyak teman-temanya yang kehilangan job dan memutuskan beralih profesi. Apa saja dilakukan asal bisa bertahan hidup. Ada yang menjadi buruh tani. Ojek online. Kuli bangunan. "Kondisi ini tidak bisa dibiarkan. Kita boleh takut pandemi, tapi jangan sampai hilang hati nurani," katanya.

Koko Thole, seorang pekerja seni yang lama melanglang di Jakarta dan pada tahun 2010 pulang ke Tulungagung, juga berada di dalam grup Sila Kedua. Koko aktif di komunitas All Star Tulungagung. Isinya macam-macam. Mulai para penghobi motor, seniman musik, teater sampai aktivis kampus.

Di komunitas, Koko dianggap paling senior sekaligus kaya pengalaman. Koko berfikir, gerakan sosial harus nyata. Hantaman pandemi terhadap ekonomi kerakyatan tidak cukup dijawab dengan himbauan sabar dan sabar. "Di grup WA, saya kemudian mencoba memancing dengan cara lama. Yakni patungan," kata Koko.

Berawal dari pancingan uang 15 ribu hasil patungan tiga orang, dalam sekejap mengalirkan donasi. Pada bulan Juli saja, uang yang masuk ke dalam rekening mencapai Rp 16 juta lebih. Melalui warung kopi atau offline, masuk donasi Rp 3,6 juta lebih. Total uang yang terkumpul selama PPKM Rp 20 juta lebih.

Sejumlah petani petani di wilayah Kecamatan Pucanglaban, bersimpati dengan gerakan anak-anak muda ini. Karena yang dimiliki adalah kebun pisang, para petani ikut menyumbang buah pisang sebanyak satu pikap. Saat diuangkan nominalnya Rp 1,4 juta. Belum lagi warga yang menyumbang beras.

"Konsep kita betul-betul rakyat bantu rakyat. Tidak ada bantuan dari negara," katanya. Setiap donasi yang masuk langsung diumumkan secara terbuka dalam grup WA. Secara otomatis anggota grup yang berjumlah 213 orang tersebut berperan sebagai donatur sekaligus pengawas.

Dari dana yang terkumpul, para anak muda milenial itu mereka membeli nasi bungkus di warung-warung kecil. Agar merata, di setiap warung belanja dibatasi maksimal 20 bungkus. Nasi bungkus yang terkumpul, kemudian dibagi-bagikan kepada warga yang membutuhkan.

Aksi yang bernama razia perut lapar tersebut berlangsung rutin dua kali dalam seminggu. Ada dua kelompok sosial yang menjadi sasaran. Pedagang makanan dan minuman kecil, serta para pekerja jalanan. Yakni seperti tukang becak, satpam, penjaga palang pintu kereta hingga tuna wisma.

"Gerakan razia perut lapar sebenarnya sudah lama. Dulu seminggu satu kali. Dengan adanya PPKM ini menjadi dua kali," jelas Koko. Pada peringatan 17 Agustus mendatang, komunitas milenial ini telah menyiapkan bantuan beras kemerdekaan. Seluruh sisa donasi akan difokuskan ke sana.

Sebelum seluruh dana diserap, untuk sementara komunitas tidak menerima donasi. Sekitar 200-an paket beras akan disiapkan. Setiap paketnya akan berisi tiga kilogram beras premium. Sasarannya mulai petani, pedagang kecil, janda miskin, yatim piatu serta tuna wisma.

"Kalau dulu setiap hari kemerdekaan, kami juga menggelar upacara 17 Agustusan sendiri. Namun saat ini masih pandemi," kata Koko. Menurut Koko, untuk data sasaran penerima bantuan, komunitas melakukan pendataan sendiri. Caranya dengan mengecek tetangga di lingkungan terdekat masing-masing anggota komunitas.

Setiap data diverifikasi secara ketat. Komunitas tidak tertarik menggunakan data dari negara. Dalam data yang dimiliki desa, mereka melihat masih banyak orang yang tidak tepat sasaran ikut menerima. Koko juga mengatakan, gerakan sosial ini akan terus ada, dan optimis semakin besar. Tidak hanya di Tulungagung. Saat ini mereka telah berjejaring dengan komunitas serupa di luar kota.

Sebut saja Ponorogo, Madiun, Kediri, Blitar, Mojokerto, Malang dan Surabaya. Koko tidak peduli dikatakan gerakan yang mereka lakukan adalah sindiran kepada negara. Berkali-kali didekati aparat negara dengan maksud hendak ikut berdonasi, mereka juga menolaknya. "Karena kami memang sedang menyindir negara. Menyindir dengan cara produktif," pungkasnya.
(msd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2069 seconds (0.1#10.140)