LBH Sebut Polda Sulsel Ingin Hentikan Kasus Penembakan Barukang
loading...
A
A
A
MAKASSAR - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota Makassar menerima informasi bahwa penyidik Direktorat Kriminal Umum Polda Sulsel mau menghentikan kasus penembakan tiga warga di Jalan Barukang, Kecamatan Ujung Tanah.
Diketahui kasus yang menewaskan pemuda bernama Anjas (23) karena terkena luka tembak yang disinyalir dilepaskan polisi tepat mengenai kepala, serta melukai Amar (18) dan Iqbal (22) di bagian kaki. Peristiwa penembakan ke warga sipil ini terjadi pada 30 Agustus 2020 lalu.
"Setelah sekian lama mandek, kini Polda Sulsel selaku penyidik mengklaim akan menghentikan perkara dengan dalih para pelaku sudah berdamai dengan para korban," kata penasihat hukum keluarga korban, Salman Aziz dalam keterangan tertulisnya kepada jurnalis Selasa (27/7/2021).
Salman menyatakan, keluarga korban yang tewas, membantah telah berdamai dengan kepolisian. Keluarga justru menuntut dan mendesak agar kasus tersebut dilanjutkan. LBH diketahui secara resmi telah melaporkan kasus ini ke Polda Sulsel pada 5 September 2020.
Salman menilai, sejak awal, telah ada indikasi kasus ini akan dihentikan dengan cara mengulur-ngulur waktu atau mendiamkan laporan korban (undue delay). "Hal ini terbukti pada klarifikasi Polda Sulsel dalam surat hasil pemeriksaan Kompolnas dan Ombudsman RI kepada LBH Makassar," jelas Salman.
Dalam surat yang diterima LBH Makassar, Polda Sulsel pada pokoknya memberikan klarifikasi bahwa kasus ini awalnya layak ditingkatkan dari tahap penyelidikan ke penyidikan karena terdapat bukti permulaan yang cukup. Mulai dari keterangan saksi dan alat bukti.
"Namun penyelidikan rencana akan dihentikan karena ketiga korban atau pelapor merasa tidak keberatan dan merasa tidak dirugikan lagi karena telah menempuh penyelesaian secara kekeluargaan," ungkap Salman.
Polda Sulsel pun mengklaim, bahwa rencana penghentian tersebut mengacu pada surat Edaran Kapolri Nomor. SN/8/VII/2008 tentang penerapan keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara pidana serta akan menerbitkan surat perintah penghentian penyelidikan (SP3).
LBH kemudian mengklarifikasi langsung klaim tersebut ke keluarga korban. Keluarga korban menyebut, kepolisian berbohong. Pihak keluarga korban juga menyayangkan hukuman terhadap ke-11 terduga pelaku yang hanya dijatuhi sanksi disiplin.
"Sementara proses pidana justru akan dihentikan. Keinginan keluarga, pelaku dihukum sebagaimana hukum yang berlaku. Ituji mauta. Masa mati anakta mati begituji? Tidak dihukum pelakunya? Tidak masuk akal," imbuh Salman mewakili keinginan keluarga korban.
LBH menilai, rencana SP3 Polda Sulsel dengan alasan penyelesaian secara kekeluargaan atau yang diklaim sebagai pendekatan restorative justice adalah tindakan melawan hukum. Pasalnya kata Salman, perkara yang dilaporkan bukan delik aduan yang memungkinan penghentian proses hukum.
LBH juga menduga bahwa ke-11 terlapor anggota kepolisian turut serta berbuat pidana, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 338 KUHPidana subsider 170 KUHPidana juncto Pasal 351 juncto Pasal 55 juncto Pasal 56 KUHPidana. "Sehingga bahkan pun ada pencabutan laporan, penyidik tetap berwenang dan berkewajiban untuk memproses perkara tersebut," tegasnya.
Menurut Salman restorative justice hanya dapat diterapkan dalam kategori tindak pidana ringan (Tipiring). Aturan itu tertuang dalam Pasal 205 Ayat (1) KUHAP. "Restorative justice hanya mencakup tipiring yang ancaman hukumannya tiga bulan penjara atau kurungan," ucap Salman.
Menurut Salman, Polda Sulsel tak bersikap transparan dalam menangani perkara ini. "Dikarenakan upaya yang ditempuh dalam kasus ini merupakan tindakan melawan hukum dan diduga kuat sebagai maladministrasi," tegasnya menutup.
Sementara itu Kabid Humas Polda Sulsel Kombes E Zulpan belum merespon konfirmasi dari jurnalis, baik melalui pesan WhatsApp dan telepon. Begitu juga upaya konfirmasi kepada Direktur Ditreskrimum Polda Sulsel, Kombes Pol Turman Sormin Siregar, sama sekali tidak dijawab.
Padahal Kabid Humas Polda Sulsel Kombes Pol E Zulpan sebelumnya menyatakan akan menuntaskan dugaan pidana kasus penembakan oknum polisi ke warga sipil tersebut. Dia menegaskan pihaknya berkomitmen tidak akan menghentikan perkara tersebut.
"Jadi proses pidananya tetap berlangsung, tidak ada kata kadaluarsa. Penyelidikan oleh Polda khususnya Ditreskrimum masih berlanjut. Tidak mungkin mau dihentikan," kata Zulpan kepada SINDOnews, Kamis (11/3/2021).
Dia menyampaikan meskipun sudah hampir tujuh bulan kasus itu ditangani pihaknya. Zulpan mengaku belum ada yang mengarah pada tersangka. "Sampai saat ini belum ada mengarah kepada tersangka, tapi kasus ini tetap berlanjut," paparnya.
Zulpan menyatakan, pihak sudah bekerja secara profesional dan transparan. "Kita pastikan penegakan hukum yang transparan dan berkeadilan bagi semua masyarakat sesuai komitmen Kapolri dan Kapolda, Polri presisi, jadi sabar dulu," ucapnya.
Mantan Analis Kebijakan Madya Bidang Kamsel Korlantas Polri itu berdalih penanganan kasus harus ditangani secara hati-hati. "Harus berdasarkan scientific crime investigation (SCI), harus berbasis ilmiah semuanya. Termasuk bukti-bukti semua," tegas Zulpan," tegasnya.
Proses penyelidikan yang berjalan menurut Zulpan, memang cukup panjang. Khususnya untuk menyesuaikan semua keterangan anggota yang telah diperiksa, saksi dan alat bukti yang sementara dikumpulkan. "Itu untuk menentukan siapa pelakunya," ujarnya.
Meski begitu, teknis penyelidikan kata Zulpan belum bisa dipublish yang pasti prosesnya terus berlangsung. "Karena ini sudah jadi atensi kami. Tapi penanganan kita tidak sembarangan. Harus hati-hati," pungkas perwira polisi tiga bunga ini.
Sebelumnya ada 12 anggota polisi telah menjalani sanksi pelanggaran prosedural pengamanan internal dari Bid Propam Polda Sulsel. Vonis dibacakan dalam sidang putusan yang digelar pada Kamis, 24 September 2020, lalu di Mapolda Sulsel.
Anggota yang bersalah terdiri dari tiga perwira dan sembilan bintara jajaran Polres Pelabuhan Makassar.
Adapun para polisi pelanggar itu masing-masing AKP TH, Iptu MS, Ipda MF yang berstatus sebagai perwira. Sementara bintara masing-masing adalah, Aipda IB, Aipda JM, Bripka MA, Bripka MI, Bripka US, Bripka YG, Brigpol IF, Brigpol HP dan Aiptu HM.
Mereka diganjar hukuman 21 hari kurungan penjara khusus, terhitung sejak vonis dibacakan. Selain itu beberapa hukuman administrasi turut diberikan, seperti tidak boleh melanjutkan pendidikan, kenaikan pangkat tertunda hingga mutasi jabatan.
Diketahui kasus yang menewaskan pemuda bernama Anjas (23) karena terkena luka tembak yang disinyalir dilepaskan polisi tepat mengenai kepala, serta melukai Amar (18) dan Iqbal (22) di bagian kaki. Peristiwa penembakan ke warga sipil ini terjadi pada 30 Agustus 2020 lalu.
"Setelah sekian lama mandek, kini Polda Sulsel selaku penyidik mengklaim akan menghentikan perkara dengan dalih para pelaku sudah berdamai dengan para korban," kata penasihat hukum keluarga korban, Salman Aziz dalam keterangan tertulisnya kepada jurnalis Selasa (27/7/2021).
Salman menyatakan, keluarga korban yang tewas, membantah telah berdamai dengan kepolisian. Keluarga justru menuntut dan mendesak agar kasus tersebut dilanjutkan. LBH diketahui secara resmi telah melaporkan kasus ini ke Polda Sulsel pada 5 September 2020.
Salman menilai, sejak awal, telah ada indikasi kasus ini akan dihentikan dengan cara mengulur-ngulur waktu atau mendiamkan laporan korban (undue delay). "Hal ini terbukti pada klarifikasi Polda Sulsel dalam surat hasil pemeriksaan Kompolnas dan Ombudsman RI kepada LBH Makassar," jelas Salman.
Dalam surat yang diterima LBH Makassar, Polda Sulsel pada pokoknya memberikan klarifikasi bahwa kasus ini awalnya layak ditingkatkan dari tahap penyelidikan ke penyidikan karena terdapat bukti permulaan yang cukup. Mulai dari keterangan saksi dan alat bukti.
"Namun penyelidikan rencana akan dihentikan karena ketiga korban atau pelapor merasa tidak keberatan dan merasa tidak dirugikan lagi karena telah menempuh penyelesaian secara kekeluargaan," ungkap Salman.
Polda Sulsel pun mengklaim, bahwa rencana penghentian tersebut mengacu pada surat Edaran Kapolri Nomor. SN/8/VII/2008 tentang penerapan keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara pidana serta akan menerbitkan surat perintah penghentian penyelidikan (SP3).
LBH kemudian mengklarifikasi langsung klaim tersebut ke keluarga korban. Keluarga korban menyebut, kepolisian berbohong. Pihak keluarga korban juga menyayangkan hukuman terhadap ke-11 terduga pelaku yang hanya dijatuhi sanksi disiplin.
"Sementara proses pidana justru akan dihentikan. Keinginan keluarga, pelaku dihukum sebagaimana hukum yang berlaku. Ituji mauta. Masa mati anakta mati begituji? Tidak dihukum pelakunya? Tidak masuk akal," imbuh Salman mewakili keinginan keluarga korban.
LBH menilai, rencana SP3 Polda Sulsel dengan alasan penyelesaian secara kekeluargaan atau yang diklaim sebagai pendekatan restorative justice adalah tindakan melawan hukum. Pasalnya kata Salman, perkara yang dilaporkan bukan delik aduan yang memungkinan penghentian proses hukum.
LBH juga menduga bahwa ke-11 terlapor anggota kepolisian turut serta berbuat pidana, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 338 KUHPidana subsider 170 KUHPidana juncto Pasal 351 juncto Pasal 55 juncto Pasal 56 KUHPidana. "Sehingga bahkan pun ada pencabutan laporan, penyidik tetap berwenang dan berkewajiban untuk memproses perkara tersebut," tegasnya.
Menurut Salman restorative justice hanya dapat diterapkan dalam kategori tindak pidana ringan (Tipiring). Aturan itu tertuang dalam Pasal 205 Ayat (1) KUHAP. "Restorative justice hanya mencakup tipiring yang ancaman hukumannya tiga bulan penjara atau kurungan," ucap Salman.
Menurut Salman, Polda Sulsel tak bersikap transparan dalam menangani perkara ini. "Dikarenakan upaya yang ditempuh dalam kasus ini merupakan tindakan melawan hukum dan diduga kuat sebagai maladministrasi," tegasnya menutup.
Sementara itu Kabid Humas Polda Sulsel Kombes E Zulpan belum merespon konfirmasi dari jurnalis, baik melalui pesan WhatsApp dan telepon. Begitu juga upaya konfirmasi kepada Direktur Ditreskrimum Polda Sulsel, Kombes Pol Turman Sormin Siregar, sama sekali tidak dijawab.
Padahal Kabid Humas Polda Sulsel Kombes Pol E Zulpan sebelumnya menyatakan akan menuntaskan dugaan pidana kasus penembakan oknum polisi ke warga sipil tersebut. Dia menegaskan pihaknya berkomitmen tidak akan menghentikan perkara tersebut.
"Jadi proses pidananya tetap berlangsung, tidak ada kata kadaluarsa. Penyelidikan oleh Polda khususnya Ditreskrimum masih berlanjut. Tidak mungkin mau dihentikan," kata Zulpan kepada SINDOnews, Kamis (11/3/2021).
Dia menyampaikan meskipun sudah hampir tujuh bulan kasus itu ditangani pihaknya. Zulpan mengaku belum ada yang mengarah pada tersangka. "Sampai saat ini belum ada mengarah kepada tersangka, tapi kasus ini tetap berlanjut," paparnya.
Zulpan menyatakan, pihak sudah bekerja secara profesional dan transparan. "Kita pastikan penegakan hukum yang transparan dan berkeadilan bagi semua masyarakat sesuai komitmen Kapolri dan Kapolda, Polri presisi, jadi sabar dulu," ucapnya.
Mantan Analis Kebijakan Madya Bidang Kamsel Korlantas Polri itu berdalih penanganan kasus harus ditangani secara hati-hati. "Harus berdasarkan scientific crime investigation (SCI), harus berbasis ilmiah semuanya. Termasuk bukti-bukti semua," tegas Zulpan," tegasnya.
Proses penyelidikan yang berjalan menurut Zulpan, memang cukup panjang. Khususnya untuk menyesuaikan semua keterangan anggota yang telah diperiksa, saksi dan alat bukti yang sementara dikumpulkan. "Itu untuk menentukan siapa pelakunya," ujarnya.
Meski begitu, teknis penyelidikan kata Zulpan belum bisa dipublish yang pasti prosesnya terus berlangsung. "Karena ini sudah jadi atensi kami. Tapi penanganan kita tidak sembarangan. Harus hati-hati," pungkas perwira polisi tiga bunga ini.
Sebelumnya ada 12 anggota polisi telah menjalani sanksi pelanggaran prosedural pengamanan internal dari Bid Propam Polda Sulsel. Vonis dibacakan dalam sidang putusan yang digelar pada Kamis, 24 September 2020, lalu di Mapolda Sulsel.
Anggota yang bersalah terdiri dari tiga perwira dan sembilan bintara jajaran Polres Pelabuhan Makassar.
Adapun para polisi pelanggar itu masing-masing AKP TH, Iptu MS, Ipda MF yang berstatus sebagai perwira. Sementara bintara masing-masing adalah, Aipda IB, Aipda JM, Bripka MA, Bripka MI, Bripka US, Bripka YG, Brigpol IF, Brigpol HP dan Aiptu HM.
Mereka diganjar hukuman 21 hari kurungan penjara khusus, terhitung sejak vonis dibacakan. Selain itu beberapa hukuman administrasi turut diberikan, seperti tidak boleh melanjutkan pendidikan, kenaikan pangkat tertunda hingga mutasi jabatan.
(agn)