Dosen Unair Nilai PSBB Surabaya Gagal, Ini Penyebabnya
loading...
A
A
A
SURABAYA - Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tahap I dan II di Surabaya Raya dinilai gagal. Data dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebutkan, hingga Senin (25/5/2020), jumlah pasien positif COVID-19 di Jawa Timur (Jatim) mencapai 3.886 orang. Hari ini saja, jumlah pasien positif COVID-19 bertambah 223 orang.
(Baca juga: Hari Kedua Lebaran, Ada Lonjakan Jumlah Positif COVID-19 di Jatim )
Pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Suko Widodo menyatakan, kegagalan PSSB diakibatkan beberapa hal. Antara lain, penerapan PSBB sangat longgar dan tidak adanya konsep penyiapan warga.
Lalu, tidak ada konsep komunikasi preventif yang efektif. Kondisi itu diperburuk dengan kurang maksimalnya penyiapan fasilitas kesehatan."Praktik PSBB dan protokol kesehatan belum diterapkan secara disiplin sesuai ketentuan," ungkapnya, Senin (25/5/2020).
Akibatnya, banyak perilaku sosial yang tidak mendukung penerapan PSBB. Masyarakat tak pernah disiapkan atau dilibatkan maksimal dalam penyelenggaraan PSBB. Sebagian besar di antara mereka hanya sebagai sasaran program saja. "Selama ini, warga hanya dianjurkan untuk di rumah saja. Dampak kejenuhan tak pernah diperhitungkan. Jika diperhitungkan, tidak diberikan solusi," imbuhnya.
Sejauh ini, lanjut dia, warga diminta dengan komunikasi daring atau online. Padahal, ini juga sesuatu ‘new normal’ yang tidak mudah dilakukan, utamanya untuk generasi tua. "Bukan hanya soal kemampuan mempelajari teknologinya, tetapi fasilitasnya pun belum tentu semua warga memiliki. Lihat sejumlah kasus, kesulitan orang tua membimbing putranya mengerjakan PR dari sekolah," jelasnya.
(Baca juga: Ratusan Warga AS Pesta Liar di Danau Saat COVID-19 Mengganas )
Menurutnya, komunikasi publik, sebagai "kendali" melaksanakan PSBB dan protokol kesehatan, melahirkan banyak distorsi informasi. Tidak juga disiapkan manajemen edukasi dan konsultatif, sehingga banyak terjadi penolakan (reject) atas pesan yang disampaikan ke warga. "Fasiltas komunikasi publik hanya bertumpu pada online yang belum semuanya (terutama orang tua) akrab dengan pola komunikasi online," tandasnya.
Fasilitas kesehatan yang disediakan juga dinilai belum mampu menampung secara ideal untuk merawat pasien COVID-19 dalam jumlah banyak. Melihat laju penambahan orang terpapar, maka rumah sakit (RS) yang tersedia bakal tak mampu menampungnya.
Pihaknya memberikan rekomendasi, yakni penerapan PSBB secara disiplin. Kemudian, melibatkan tenaga relawan terlatih seperti Pramuka. Aktivis masyarakat juga harus diturunkan ke masyarakat.
(Baca juga: Hari Kedua Lebaran, Ada Lonjakan Jumlah Positif COVID-19 di Jatim )
Pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Suko Widodo menyatakan, kegagalan PSSB diakibatkan beberapa hal. Antara lain, penerapan PSBB sangat longgar dan tidak adanya konsep penyiapan warga.
Lalu, tidak ada konsep komunikasi preventif yang efektif. Kondisi itu diperburuk dengan kurang maksimalnya penyiapan fasilitas kesehatan."Praktik PSBB dan protokol kesehatan belum diterapkan secara disiplin sesuai ketentuan," ungkapnya, Senin (25/5/2020).
Akibatnya, banyak perilaku sosial yang tidak mendukung penerapan PSBB. Masyarakat tak pernah disiapkan atau dilibatkan maksimal dalam penyelenggaraan PSBB. Sebagian besar di antara mereka hanya sebagai sasaran program saja. "Selama ini, warga hanya dianjurkan untuk di rumah saja. Dampak kejenuhan tak pernah diperhitungkan. Jika diperhitungkan, tidak diberikan solusi," imbuhnya.
Sejauh ini, lanjut dia, warga diminta dengan komunikasi daring atau online. Padahal, ini juga sesuatu ‘new normal’ yang tidak mudah dilakukan, utamanya untuk generasi tua. "Bukan hanya soal kemampuan mempelajari teknologinya, tetapi fasilitasnya pun belum tentu semua warga memiliki. Lihat sejumlah kasus, kesulitan orang tua membimbing putranya mengerjakan PR dari sekolah," jelasnya.
(Baca juga: Ratusan Warga AS Pesta Liar di Danau Saat COVID-19 Mengganas )
Menurutnya, komunikasi publik, sebagai "kendali" melaksanakan PSBB dan protokol kesehatan, melahirkan banyak distorsi informasi. Tidak juga disiapkan manajemen edukasi dan konsultatif, sehingga banyak terjadi penolakan (reject) atas pesan yang disampaikan ke warga. "Fasiltas komunikasi publik hanya bertumpu pada online yang belum semuanya (terutama orang tua) akrab dengan pola komunikasi online," tandasnya.
Fasilitas kesehatan yang disediakan juga dinilai belum mampu menampung secara ideal untuk merawat pasien COVID-19 dalam jumlah banyak. Melihat laju penambahan orang terpapar, maka rumah sakit (RS) yang tersedia bakal tak mampu menampungnya.
Pihaknya memberikan rekomendasi, yakni penerapan PSBB secara disiplin. Kemudian, melibatkan tenaga relawan terlatih seperti Pramuka. Aktivis masyarakat juga harus diturunkan ke masyarakat.