Gubernur Papua Barat Menyepakati Perdamaian Ganti Rugi Rp150 Miliar
loading...
A
A
A
JAKARTA - Max Mahare, mantan kuasa hukum Gubernur Papua Barat angkat bicara tentang keputusan Pengadilan Negeri Sorong bernomor 69/PDT.G/2019/PN.Son tertanggal 30 Oktober 2019. Putusan itu diketahui memuat kesepakatan perdamaian antara penggugat yaitu Rico Sia dengan tergugat Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan yang diwakili oleh Max.
Menurut dia, awalnya pihak penggugat di dalam persidangan menginginkan ganti rugi Rp357 miliar. Pengan perincian penggantian materiel Rp 157 miliar dan nonmateriel Rp200 miliar. Namun, kata Max, penggugat memberikan penawaran dengan menurunkan ganti rugi menjadi Rp 223 miliar. Selanjutnya Gubernur Papua Barat kala itu menyanggupi ganti rugi sebesar Rp 150 miliar.
"Jadi, yang menentukan Rp 150 Miliar adalah pihak Gubernur (Papua Barat, red) yang kemudian dituangkan dalam surat perdamaian oleh Biro Hukum (Provinsi Papua Barat, red) yang kemudian dibawa ke hadapan mediator dan disahkan hingga menjadi keputusan inkrah pada 30 Oktober 2019,” kata dia dalam keterangan persnya, Jumat (21/5).
Namun, kata Max, Gubernur Papua Barat justru melakukan perlawanan hukum hingga tingkat pengadilan tinggi atas putusan perdamaian tersebut. Di sisi lain, dirinya tidak menjabat kuasa hukum tergugat ketika Gubernur Papua Barat melayangkan perlawanan.
Hanya saja, Max mengingatkan tentang yurisprudensi Mahkamah Agung yang menyatakan putusan perdamaian tidak mungkin diadakan permohonan banding atau kasasi. "Sebab, putusan perdamaian adalah putusan tertinggi, sehingga tidak mungkin, ya, mengajukan perlawanan itu," beber dia.
Max pun lebih menyarankan tergugat segera membayarkan ganti rugi kepada Rico Sia ketimbang melakukan perlawanan putusan perdamaian. Hal itu demi mengurangi beban keungan daerah. Pasalnya, kata dia, putusan perdamaian memuat penalti seandainya ganti rugi telat dibayarkan.
"Jadi, dengan penyampaian fakta ini gubernur untuk serius dan fokus mengembalikan hutang ke Rico Sia karena akan menjadi temuan kerugian negara dengan pertambahan bunga berjalan," beber dia.
Menurut dia, awalnya pihak penggugat di dalam persidangan menginginkan ganti rugi Rp357 miliar. Pengan perincian penggantian materiel Rp 157 miliar dan nonmateriel Rp200 miliar. Namun, kata Max, penggugat memberikan penawaran dengan menurunkan ganti rugi menjadi Rp 223 miliar. Selanjutnya Gubernur Papua Barat kala itu menyanggupi ganti rugi sebesar Rp 150 miliar.
"Jadi, yang menentukan Rp 150 Miliar adalah pihak Gubernur (Papua Barat, red) yang kemudian dituangkan dalam surat perdamaian oleh Biro Hukum (Provinsi Papua Barat, red) yang kemudian dibawa ke hadapan mediator dan disahkan hingga menjadi keputusan inkrah pada 30 Oktober 2019,” kata dia dalam keterangan persnya, Jumat (21/5).
Namun, kata Max, Gubernur Papua Barat justru melakukan perlawanan hukum hingga tingkat pengadilan tinggi atas putusan perdamaian tersebut. Di sisi lain, dirinya tidak menjabat kuasa hukum tergugat ketika Gubernur Papua Barat melayangkan perlawanan.
Hanya saja, Max mengingatkan tentang yurisprudensi Mahkamah Agung yang menyatakan putusan perdamaian tidak mungkin diadakan permohonan banding atau kasasi. "Sebab, putusan perdamaian adalah putusan tertinggi, sehingga tidak mungkin, ya, mengajukan perlawanan itu," beber dia.
Max pun lebih menyarankan tergugat segera membayarkan ganti rugi kepada Rico Sia ketimbang melakukan perlawanan putusan perdamaian. Hal itu demi mengurangi beban keungan daerah. Pasalnya, kata dia, putusan perdamaian memuat penalti seandainya ganti rugi telat dibayarkan.
"Jadi, dengan penyampaian fakta ini gubernur untuk serius dan fokus mengembalikan hutang ke Rico Sia karena akan menjadi temuan kerugian negara dengan pertambahan bunga berjalan," beber dia.
(don)