Proyek Infrastruktur Kabel Optik Tersendat, PT Bina Nusantara Perkasa Surati Presiden
loading...
A
A
A
SURABAYA - Kasus PT Bina Nusantara Perkasa yang diajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) oleh para suplier akibat kolaps makin tidak jelas. Bahkan saat ini penyelesaian status Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara (PKPUS) perusahaan yang bergerak dalam infrastruktur kabel optik bawah laut tersebut semakin melebar.
Kuasa Hukum PT Bina Nusantara Perkasa, Ade Arif Hamdan menduga, ketidakjelasan penyelesaikan kasus PKPU tersebut karena terjadi rekayasa. Untuk itu, pihaknya berkirim surat ke Presiden Joko Widodo , Menkopolhukam, Kepala Kantor Staff Presiden, Menteri Perhubungan, Menteri BUMN, Ketua Mahkamah Agung, dan Kapolri. "Intinya berkirim surat tersebut adalah untuk minta perlindungan hukum," tegasnya.
Ade mengungkapkan, masalah itu bermula dari rapat kreditur pertama tanggal 9 Februari 2021 lalu. Dalam persidangan, salah satu pengurus yang ditetapkan oleh pengadilan yaitu Hans Thamrin saat itu mengusulkan agar proyek Telkominfra berupa pemasangan kabel proyek Luwuk-Morowali, dan Labuhan Bajo-Rabat yang semula dikerjakan oleh PT Bina Nusantara Perkasa dalam PKPUS, dialihkan ke pihak ketiga yaitu PT Era Nusantara Jayamahe.
"Terhadap usulan tersebut kuasa debitur keberatan. Sebab PT Bina Nusantara Perkasa masih mampu mengerjakan, dan seluruh peralatan kabel sudah ada di atas kapal. Dihentikannya kegiatan kapal juga karena adanya putusan PKPUS dan juga atas permintaan PT Telkominfra," terangnya.
Ade menjelaskan, kontrak tersebut bernilai sekitar Rp85 miliar, dan akan dapat diperoleh keuntungan sekitar Rp30 miliar. Kliennya telah mengerjakan sebagian pekerjaan, yakni menaikan kabel dalam kapal, dengan nilai pekerjaan sebesar Rp8,5 miliar.
Menurutnya, jika pekerjaan tersebut dialihkan ke orang lain, maka potensi keuntungan yang seharusnya didapat PT Bina Nusantara Perkasa menjadi hilang. Sehingga sangat merugikan para kreditor konkiren yang mengharapkan terbayarnya tagihan mereka.
Ia melanjutkan, atas keberatan itu maka Hakim Pengawas Perkara, Mochamad Djoenaidie, dapat menerimanya, dan mengatakan, persoalan menurunkan kabel milik Telkominfra dari Kapal PT Bina Nusantara Perkasa, dan juga persoalan melanjutkan pekerjaan ke pihak ke tiga harus dikaji dahulu, sebab semua mengandung risiko hukum.
"Namun dalam perkembangannya, manuver salah satu pengurus mengalihkan pekerjaan ke PT Era Nusantara Jayamahe, dan ambisi PT Era Nusantara Jayamahe tidak berhenti dalam persidangan ," ujarya.
Pada tanggal 20 Februari 2021, kata Ade, kapten kapal melaporkan adanya surat tertanggal 19 Februari 2021 dari Tim Pengurus PT Bina Nusantara Perkasa ( dalam PKPUS ) kepada Kepala Kantor Kesyahbandaran Utama Makassar, dan Kantor Otoritas Pelabuhan Utama Makassar.
Surat tersebut ditandatangani oleh Harman Thamrin, Palti Hutapea, dan Dwidjo Pujotomo. Tertera ada tambahan pengurus dan meminta agar diperintahkan kapal CS NEX sandar pada Jetty Telkominfra.
Saat dikonfirmasi, ternyata para pengurus tersebut tidak mengetahui adanya penambahan pengurus pada PT Bina Nusantara Perkasa dalam PKPUS . Mereka tidak diajak diskusi dan tidak tahu menahu adanya surat itu, sehingga tidak mau ikut bertanggung jawab.
"Dalam perkara ini jelas seorang pengurus tidak independen. Hakim pengawas telah gagal mengawasi kerja pengurus, bahkan dengan diam-diam telah menambah pengurus . Dan dengan kewenangan pengurus menurut penafsirannya seorang pengurus lama dan dua pengurus baru telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan bekerja sama dengan pihak ke tiga. Ini jelas perampasan kapal," pungkas Ade.
Kuasa Hukum PT Bina Nusantara Perkasa, Ade Arif Hamdan menduga, ketidakjelasan penyelesaikan kasus PKPU tersebut karena terjadi rekayasa. Untuk itu, pihaknya berkirim surat ke Presiden Joko Widodo , Menkopolhukam, Kepala Kantor Staff Presiden, Menteri Perhubungan, Menteri BUMN, Ketua Mahkamah Agung, dan Kapolri. "Intinya berkirim surat tersebut adalah untuk minta perlindungan hukum," tegasnya.
Ade mengungkapkan, masalah itu bermula dari rapat kreditur pertama tanggal 9 Februari 2021 lalu. Dalam persidangan, salah satu pengurus yang ditetapkan oleh pengadilan yaitu Hans Thamrin saat itu mengusulkan agar proyek Telkominfra berupa pemasangan kabel proyek Luwuk-Morowali, dan Labuhan Bajo-Rabat yang semula dikerjakan oleh PT Bina Nusantara Perkasa dalam PKPUS, dialihkan ke pihak ketiga yaitu PT Era Nusantara Jayamahe.
"Terhadap usulan tersebut kuasa debitur keberatan. Sebab PT Bina Nusantara Perkasa masih mampu mengerjakan, dan seluruh peralatan kabel sudah ada di atas kapal. Dihentikannya kegiatan kapal juga karena adanya putusan PKPUS dan juga atas permintaan PT Telkominfra," terangnya.
Ade menjelaskan, kontrak tersebut bernilai sekitar Rp85 miliar, dan akan dapat diperoleh keuntungan sekitar Rp30 miliar. Kliennya telah mengerjakan sebagian pekerjaan, yakni menaikan kabel dalam kapal, dengan nilai pekerjaan sebesar Rp8,5 miliar.
Menurutnya, jika pekerjaan tersebut dialihkan ke orang lain, maka potensi keuntungan yang seharusnya didapat PT Bina Nusantara Perkasa menjadi hilang. Sehingga sangat merugikan para kreditor konkiren yang mengharapkan terbayarnya tagihan mereka.
Ia melanjutkan, atas keberatan itu maka Hakim Pengawas Perkara, Mochamad Djoenaidie, dapat menerimanya, dan mengatakan, persoalan menurunkan kabel milik Telkominfra dari Kapal PT Bina Nusantara Perkasa, dan juga persoalan melanjutkan pekerjaan ke pihak ke tiga harus dikaji dahulu, sebab semua mengandung risiko hukum.
"Namun dalam perkembangannya, manuver salah satu pengurus mengalihkan pekerjaan ke PT Era Nusantara Jayamahe, dan ambisi PT Era Nusantara Jayamahe tidak berhenti dalam persidangan ," ujarya.
Baca Juga
Pada tanggal 20 Februari 2021, kata Ade, kapten kapal melaporkan adanya surat tertanggal 19 Februari 2021 dari Tim Pengurus PT Bina Nusantara Perkasa ( dalam PKPUS ) kepada Kepala Kantor Kesyahbandaran Utama Makassar, dan Kantor Otoritas Pelabuhan Utama Makassar.
Surat tersebut ditandatangani oleh Harman Thamrin, Palti Hutapea, dan Dwidjo Pujotomo. Tertera ada tambahan pengurus dan meminta agar diperintahkan kapal CS NEX sandar pada Jetty Telkominfra.
Saat dikonfirmasi, ternyata para pengurus tersebut tidak mengetahui adanya penambahan pengurus pada PT Bina Nusantara Perkasa dalam PKPUS . Mereka tidak diajak diskusi dan tidak tahu menahu adanya surat itu, sehingga tidak mau ikut bertanggung jawab.
"Dalam perkara ini jelas seorang pengurus tidak independen. Hakim pengawas telah gagal mengawasi kerja pengurus, bahkan dengan diam-diam telah menambah pengurus . Dan dengan kewenangan pengurus menurut penafsirannya seorang pengurus lama dan dua pengurus baru telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan bekerja sama dengan pihak ke tiga. Ini jelas perampasan kapal," pungkas Ade.
(eyt)