Suku Sasak Sambut New Normal, Pariwisata Pun Mulai Bergeliat
loading...
A
A
A
LOMBOK BARAT - Penerapan standar Kebersihan, Kesehatan, Keselamatan, dan Kelestarian Lingkungan (CHSE) melalui gerakan Bersih, Indah, Sehat, Aman (BISA), menjadi angin segar bagi masyarakat Suku Sasak untuk menggeliatkan kembali destinasi wiasata di daerah itu. Suku asli ini tinggal satu rumpun di Desa Sade Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB) .
Program tersebut dihembuskan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif ( Kemenparekraf/Baparekraf ) di sejumlah destinasi wisata Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Maklum saja, sejak COVID-19 mewabah di negeri ini semua sektor pariwisata dan industri kreatif menjadi yang pertamakali merasakan dampaknya. (Baca Juga: Bupati Lombok Barat Sebut Daerah Butuh Pemimpin dengan Legitimasi Kuat)
Sedangkan Desa Sade sendiri merupakan Desa Wisata yang masyarakatnya mengandalkan mata pencaharian dari ekonomi kreatif, selain bertani. Salah satu warga Desa Sade, Nurdin mengaku, beberapa bulan pada awal masa pandemi praktis tidak ada kunjungan wisata di desanya. Otomatis hasil produksi kerajinan Suku Sasak tidak ada yang membeli.
Namun, setelah masuk pada tatanan kehidupan baru dan didukung dengan program pemerintah keadaan berangsur pulih. “Selama pandemi COVID-19 sepi. Tapi Alhamdulillah sekarang sudah berangsur normal. Sudah ada tamu-tamu yang kesini," katanya. (Baca Juga: Singgah di Lombok, Mister Aladin Road Trip Protokol CHSE Kunjungi Pantai Malaka)
Hal yang sama juga diakui oleh Bina Alifa. Raut muka ibu satu anak ini nampak sumringah saat beberapa wisatawan melihat-lihat kain tenun yang dipajang di depan rumahnya. Meski belum seramai sebelum wabah COVID-19, Alifa sudah cukup bersyukur tenun kain dan ragam gelang-gelang etnik mulai terjual. “Sekarang lumayan ramai. Kalau kemarin-kemarin gak ada cuma lokal aja. Saya ingin pengunjung lebih ramai lagi," ucapnya.
Wisata Desa Sade Lombok Tengah merupakan salah satu dusun yang masih mempertahankan adat istiadat. Desa ini bahkan sering disebut sebagai cerminan asli suku Sasak Lombok. Meski terletak di pinggir jalan raya yang mulus, tetapi penduduk Desa Sasak tetap kuat berpegang teguh untuk menjaga keaslian desa dan adat asli Suku Sasak.
Kehidupan Suku Sasak ini juga masih sangat tradisional. Mereka memilih hidup lebih dekat dengan alam. Rata-rata mata pencaharian mereka dari hasil tenun, memproduksi gelang-gelang etnik dan pertanian. Bahkan bangunan tempat tinggal desa Sade Lombok tersebut masih menggunakan bahan dasar alam. Dinding rumah dari anyaman bambu dan atapnya dibuat dari ilalam. (Baca Juga: Ancam Bunuh Habib Rizieq, Oknum Polisi Pekalongan Ditahan Provost)
Desa di Lombok ini hanya memiliki sekitar 150 kepala keluarga dengan jumlah penduduk kurang lebih 700 orang. Kepala Dinas Pariwisata (Dispar) Provinsi Nusa Tenggara Barat, H.Lalu Moh Faozal menjelaskan, hampir semua destinasi hari ini menghadapi situasi yang sulit. Apakah harus membangkitkan kembali pariwisata atau hanya menyaksikan pandemi yang tak ada ujungnya. “Nah NTB memilih dua-duanya. Pandemi kita selesaikan secara bertahap, kita meminialisir pergerakan kasus COVID-19 sekaligus merecovery pariwisata," ujarnya.
Namun demikian, pilihan tersebut tentu tidak semudah yang dibayangkan. Kata dia, banyak hal yang harus diperhitungkan terutama kaitannya dengan kesiapan masyarakat dan kesiapan industri. Kesiapan masyarakat penting karena sekuat apapun pemerintah dan industri. Terutama masyarakatnya harus aware terhadap protokol kesehatan COVID-19 supaya pergerakan dari kasus-kasus itu tidak terjadi.
Faozal melanjutkan, pihaknya sudah mulai menggerakkan mesin-mesin pariwisata di Lombok dengan membuka beberapa destinasi dengan pantauan ketat. Sebanyak 11 destinasi sudah berikan sertifikat CHSE, kemudian ada 163 hotel yang sudah diberikan sertifikasi. Selain itu juga ada 24 aktifitas industri pariwisata yang sudah diberikan sertifikasi.
Program tersebut dihembuskan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif ( Kemenparekraf/Baparekraf ) di sejumlah destinasi wisata Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Maklum saja, sejak COVID-19 mewabah di negeri ini semua sektor pariwisata dan industri kreatif menjadi yang pertamakali merasakan dampaknya. (Baca Juga: Bupati Lombok Barat Sebut Daerah Butuh Pemimpin dengan Legitimasi Kuat)
Sedangkan Desa Sade sendiri merupakan Desa Wisata yang masyarakatnya mengandalkan mata pencaharian dari ekonomi kreatif, selain bertani. Salah satu warga Desa Sade, Nurdin mengaku, beberapa bulan pada awal masa pandemi praktis tidak ada kunjungan wisata di desanya. Otomatis hasil produksi kerajinan Suku Sasak tidak ada yang membeli.
Namun, setelah masuk pada tatanan kehidupan baru dan didukung dengan program pemerintah keadaan berangsur pulih. “Selama pandemi COVID-19 sepi. Tapi Alhamdulillah sekarang sudah berangsur normal. Sudah ada tamu-tamu yang kesini," katanya. (Baca Juga: Singgah di Lombok, Mister Aladin Road Trip Protokol CHSE Kunjungi Pantai Malaka)
Hal yang sama juga diakui oleh Bina Alifa. Raut muka ibu satu anak ini nampak sumringah saat beberapa wisatawan melihat-lihat kain tenun yang dipajang di depan rumahnya. Meski belum seramai sebelum wabah COVID-19, Alifa sudah cukup bersyukur tenun kain dan ragam gelang-gelang etnik mulai terjual. “Sekarang lumayan ramai. Kalau kemarin-kemarin gak ada cuma lokal aja. Saya ingin pengunjung lebih ramai lagi," ucapnya.
Wisata Desa Sade Lombok Tengah merupakan salah satu dusun yang masih mempertahankan adat istiadat. Desa ini bahkan sering disebut sebagai cerminan asli suku Sasak Lombok. Meski terletak di pinggir jalan raya yang mulus, tetapi penduduk Desa Sasak tetap kuat berpegang teguh untuk menjaga keaslian desa dan adat asli Suku Sasak.
Kehidupan Suku Sasak ini juga masih sangat tradisional. Mereka memilih hidup lebih dekat dengan alam. Rata-rata mata pencaharian mereka dari hasil tenun, memproduksi gelang-gelang etnik dan pertanian. Bahkan bangunan tempat tinggal desa Sade Lombok tersebut masih menggunakan bahan dasar alam. Dinding rumah dari anyaman bambu dan atapnya dibuat dari ilalam. (Baca Juga: Ancam Bunuh Habib Rizieq, Oknum Polisi Pekalongan Ditahan Provost)
Desa di Lombok ini hanya memiliki sekitar 150 kepala keluarga dengan jumlah penduduk kurang lebih 700 orang. Kepala Dinas Pariwisata (Dispar) Provinsi Nusa Tenggara Barat, H.Lalu Moh Faozal menjelaskan, hampir semua destinasi hari ini menghadapi situasi yang sulit. Apakah harus membangkitkan kembali pariwisata atau hanya menyaksikan pandemi yang tak ada ujungnya. “Nah NTB memilih dua-duanya. Pandemi kita selesaikan secara bertahap, kita meminialisir pergerakan kasus COVID-19 sekaligus merecovery pariwisata," ujarnya.
Namun demikian, pilihan tersebut tentu tidak semudah yang dibayangkan. Kata dia, banyak hal yang harus diperhitungkan terutama kaitannya dengan kesiapan masyarakat dan kesiapan industri. Kesiapan masyarakat penting karena sekuat apapun pemerintah dan industri. Terutama masyarakatnya harus aware terhadap protokol kesehatan COVID-19 supaya pergerakan dari kasus-kasus itu tidak terjadi.
Faozal melanjutkan, pihaknya sudah mulai menggerakkan mesin-mesin pariwisata di Lombok dengan membuka beberapa destinasi dengan pantauan ketat. Sebanyak 11 destinasi sudah berikan sertifikat CHSE, kemudian ada 163 hotel yang sudah diberikan sertifikasi. Selain itu juga ada 24 aktifitas industri pariwisata yang sudah diberikan sertifikasi.
(nic)