Kisah Mbah Harjo Suwito, Pengungsi Gunung Merapi Tertua yang Pernah Ikut Romusha
loading...
A
A
A
SLEMAN - Suasana sepi menyergap saat memasuki barak pengungsi Gunung Merapi di Glagaharjo, Cangkringan, Sleman , DIY, Rabu (11/11/2020). Di depan barak sisi selatan dan utara terlihat beberapa orang pengungsi lanjut usia (lansia) sedang duduk.
Sementara pengungsi lainnya sedang beristirahat di dalam bilik sekat yang ada di dalam barak. Sebagian lagi pergi mencari rumput untuk pakan ternak sapi mereka. (Baca juga: Sehari di Penampungan, Pengungsi Gunung Merapi Mulai Pegal Linu)
Satu dari pengungsi lansia yang duduk di depan barak sisi selatan, adalah Harjo Suwito, yang usianya lebih dari satu abad. Meski begitu optimisme dan semangat terpancar terpancar dari wajahnya. (Baca juga: Vila Bule Australia di Bali Digerebek, Produksi Cairan Daun Kratom)
Bahkan terlihat tidak ada beban di pengungsian. Di sela-sela duduk santai bersama sesama pengungsi lainnya, tangannya terlihat membuka bungkusan plastik yang berisi tembakau, wur dan kertas rokok.
Perlahan-lahan tangannya mengambil tembakau dan meletakkannya di kertas rokok. Setelah dirasa cukup, tangan kanannya mengambil wur yang ditarus di plastik kecil. Wur pun ditaburkan di atas tembakau. Wur ini sebagai pelengkap tembakau untuk dibuat gulungan rokok.
Setelah racikan dinilai pas, selanjutnya kedua tanganyna mulai mengulung kertas tembakau untuk dijadikan gulungan rokok. “Ya beginilah kegiatan kami di pengungsian ini, duduk di depan barak, jika sudah lelah ke bilik beristirahat,” kata Harjo Suwito yang nama kecilnya Pardin.
Mbah Harjo mengaku selama mengungsi di barak tidak ada masalah, termasuk tidak ada gangguan kesehatan. Apalagi sudah setahun ini tidak kuat lagi berjalan jauh, sehingga sehari-harinya hanya di rumah saja. Sebelumnya saat masih sehat, kegiatan seharinya mencari rumput untuk makanan ternak sapinya. Saat ini Harjo memiliki dua ternak sapi. “Saat ini saya kalau berjalan harus pakai tongkat. Yang mencari rumput anak saya,” terangnya.
Mengungsi di barak, bukan yang pertama bagi Mbah Harjo. Sebab sebelumnya saat erupsi Merapi juga mengungsi di barak. Namun ia lupa sudah berapa kali mengungsi di barak. Ia sendiri mengungsi bersama istrinya Parmikem, yang usianya juga sudah satu abad.
Dia bersama istrinya menempati bilik 22. Pasangan tersebut memiliki 4 anak laki-laki. Dari jumlah itu 3 anak laki-lakinya berada di luar daerah, dan tinggal seorang anak yang masih bersama dirinya.
Mbah Harjo meski sudah berusia lebih dari satu abad, namun ingatan, pendengaran dan penglihatannya belum ada gangguan. Terbukti, ia masih dapat mengingat dengan jelas bagaimana kehidupannya saat masih muda, yaitu ketika Jepang berkuasa. Saat pendudukan Jepang, ia bersama para pemuda lain di Kalitengah Lor harus mengikuti kerja paksa (romusha).
“Jumlah pemuda yang ikut romusaha ada 70 orang, termasuk dirinya. Dari 70 orang itu saat ini hanya saya yang masih hidup dan yang paling tua di Kalitengah Lor,” ungkapnya.
Saat romusha itu, ia bersama pemuda lain dikerjakan di dua tempat. Pertama di Pentingsari, Umbulharjo, Cangkringan dan di Plawangan, Turgo, Pakem. Dalam romusha tersebut harus mencangkul tanah kemudian ditanami ketela. Harjo sendiri tidak tahu mengapa para pemuda diminta menaman ketela.
Untuk romusha ini, ia ke lokasi pada pagi hari. Setelah pekerjaaan selesai sore harinya pulang ke rumah. Karena saat itu belum ada kendaraan, bersama pemuda lainnya saat pulang ke rumah dengan jalan kaki. “Itulah kehidupan saat romusha. Untuk makan sendiri dijatah oleh Jepang. Namun diberi upah 10 gelo,” paparnya.
Selama di barak pengungsian, Mbah Harjo tidak memiliki keluhan kesehatan maupun makanan. Untuk makaman diberi 3 kali sehari, yaitu pagi siang dan sore. Menu yang diberikan beragam, kadang ayam, tahu dan lainnya. Mbah Harjo berharap aktivitas Merapi segera kembali normal sehingga bisa kembali ke rumah. “Ya lebih enak tinggal di rumah sendiri,” ungkapnya.
Alasan Mbah Harjo tetap bertahan di daerah Kawasan Rawan Bencana (KRB) III Merapi kaarena lahir, besar dan tumbuh di tempat itu. Termasuk tidak memiliki tempat tinggal di lain tempat. Sehingga apapun kondisinya tetap bertahap di Kalitengah Lor, Cangkringan.
Sementara pengungsi lainnya sedang beristirahat di dalam bilik sekat yang ada di dalam barak. Sebagian lagi pergi mencari rumput untuk pakan ternak sapi mereka. (Baca juga: Sehari di Penampungan, Pengungsi Gunung Merapi Mulai Pegal Linu)
Satu dari pengungsi lansia yang duduk di depan barak sisi selatan, adalah Harjo Suwito, yang usianya lebih dari satu abad. Meski begitu optimisme dan semangat terpancar terpancar dari wajahnya. (Baca juga: Vila Bule Australia di Bali Digerebek, Produksi Cairan Daun Kratom)
Bahkan terlihat tidak ada beban di pengungsian. Di sela-sela duduk santai bersama sesama pengungsi lainnya, tangannya terlihat membuka bungkusan plastik yang berisi tembakau, wur dan kertas rokok.
Perlahan-lahan tangannya mengambil tembakau dan meletakkannya di kertas rokok. Setelah dirasa cukup, tangan kanannya mengambil wur yang ditarus di plastik kecil. Wur pun ditaburkan di atas tembakau. Wur ini sebagai pelengkap tembakau untuk dibuat gulungan rokok.
Setelah racikan dinilai pas, selanjutnya kedua tanganyna mulai mengulung kertas tembakau untuk dijadikan gulungan rokok. “Ya beginilah kegiatan kami di pengungsian ini, duduk di depan barak, jika sudah lelah ke bilik beristirahat,” kata Harjo Suwito yang nama kecilnya Pardin.
Mbah Harjo mengaku selama mengungsi di barak tidak ada masalah, termasuk tidak ada gangguan kesehatan. Apalagi sudah setahun ini tidak kuat lagi berjalan jauh, sehingga sehari-harinya hanya di rumah saja. Sebelumnya saat masih sehat, kegiatan seharinya mencari rumput untuk makanan ternak sapinya. Saat ini Harjo memiliki dua ternak sapi. “Saat ini saya kalau berjalan harus pakai tongkat. Yang mencari rumput anak saya,” terangnya.
Mengungsi di barak, bukan yang pertama bagi Mbah Harjo. Sebab sebelumnya saat erupsi Merapi juga mengungsi di barak. Namun ia lupa sudah berapa kali mengungsi di barak. Ia sendiri mengungsi bersama istrinya Parmikem, yang usianya juga sudah satu abad.
Dia bersama istrinya menempati bilik 22. Pasangan tersebut memiliki 4 anak laki-laki. Dari jumlah itu 3 anak laki-lakinya berada di luar daerah, dan tinggal seorang anak yang masih bersama dirinya.
Mbah Harjo meski sudah berusia lebih dari satu abad, namun ingatan, pendengaran dan penglihatannya belum ada gangguan. Terbukti, ia masih dapat mengingat dengan jelas bagaimana kehidupannya saat masih muda, yaitu ketika Jepang berkuasa. Saat pendudukan Jepang, ia bersama para pemuda lain di Kalitengah Lor harus mengikuti kerja paksa (romusha).
“Jumlah pemuda yang ikut romusaha ada 70 orang, termasuk dirinya. Dari 70 orang itu saat ini hanya saya yang masih hidup dan yang paling tua di Kalitengah Lor,” ungkapnya.
Saat romusha itu, ia bersama pemuda lain dikerjakan di dua tempat. Pertama di Pentingsari, Umbulharjo, Cangkringan dan di Plawangan, Turgo, Pakem. Dalam romusha tersebut harus mencangkul tanah kemudian ditanami ketela. Harjo sendiri tidak tahu mengapa para pemuda diminta menaman ketela.
Untuk romusha ini, ia ke lokasi pada pagi hari. Setelah pekerjaaan selesai sore harinya pulang ke rumah. Karena saat itu belum ada kendaraan, bersama pemuda lainnya saat pulang ke rumah dengan jalan kaki. “Itulah kehidupan saat romusha. Untuk makan sendiri dijatah oleh Jepang. Namun diberi upah 10 gelo,” paparnya.
Selama di barak pengungsian, Mbah Harjo tidak memiliki keluhan kesehatan maupun makanan. Untuk makaman diberi 3 kali sehari, yaitu pagi siang dan sore. Menu yang diberikan beragam, kadang ayam, tahu dan lainnya. Mbah Harjo berharap aktivitas Merapi segera kembali normal sehingga bisa kembali ke rumah. “Ya lebih enak tinggal di rumah sendiri,” ungkapnya.
Alasan Mbah Harjo tetap bertahan di daerah Kawasan Rawan Bencana (KRB) III Merapi kaarena lahir, besar dan tumbuh di tempat itu. Termasuk tidak memiliki tempat tinggal di lain tempat. Sehingga apapun kondisinya tetap bertahap di Kalitengah Lor, Cangkringan.
(shf)