Kampung Adat Praijing, Museum Budaya Sumba Barat

Sabtu, 07 November 2020 - 05:02 WIB
loading...
Kampung Adat Praijing, Museum Budaya Sumba Barat
Kampung adat Praijing terletak di Desa Tebara, Kecamatan Waikabubak, Kabupaten Sumba Barat, Provinsi Nusa Tenggara Tmur (NTT). Foto istimewa
A A A

KAMPUNGdan rumah selalu bercerita banyak. Ia bercerita tentang penghuninya, yaitu manusia. Kampung dan rumah menceritakan hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alamnya, dengan leluhur, serta hubungan dengan wujud tertinggi yang diyakini sebagai Sang Pengada.

Kampung adat Praijing bercerita tentang itu semua. Terletak di Desa Tebara, Kecamatan Waikabubak, Kabupaten Sumba Barat, Provinsi Nusa Tenggara Tmur (NTT), Kampung Praijing bagai museum, tempat warisan budaya ciptaan manusia dipajang. Praijing adalah kampung adat khas Sumba. Di kampung ini ditemukan rumah tradisional khas masyarakat Sumba.

Konstruksi rumah di kampung adat selalu punya makna. Rumah adat masyarakat Sumba Barat memiliki arsitektur yang khas. Rumah adat Sumba biasa disebut dengan Uma Bokulu dan Uma Mbatangu. Uma Bokulu berarti rumah besar. Sedangkan Uma Mbatangu berarti rumah menara. (Baca juga: Perang Pasola, Uji Nyali- Lelaki Pemberani )

Rumah tradisional khas Sumba selalu berbentuk rumah panggung dengan atap yang menjulang seperti menara, beratap ilalang dan beralas kayu. Rumah adat ini terbagi menjadi tiga bagian. Bagian bawah untuk memelihara hewan ternak, bagian tengah untuk manusia dan bagian atas atau menara untuk menyimpan hasil bumi atau pangan.

Rumah tradisional ini ditopang empat tiang pokok atau tiang utama yang menyimbolkan entitas penopang di dalamnya, yaitu keluarga. Keempat tiang tersebut adalah simbol ayah, ibu, anak laki-laki, dan anak perempuan. Empat tiang ini merupakan penopang rumah dan menara.

Relasi Vertikal

Selain berfungsi untuk menyimpan bahan pangan, rumah -teristimewa bagian menara- memiliki fungsi religius, yaitu ruang hunian para arwah leluhur. Di sini, rumah tradisional Sumba mempunyai peran dalam kaitannya dengan kepercayaan asli masyarakat Sumba yang disebut Marapu.

Marapu adalah agama asli yang masih hidup dan dianut oleh orang Sumba. Marapu merupakan sistem keyakinan yang memuja arwah-arwah leluhur. Dalam bahasa Sumba, arwah-arwah leluhur disebut Marapu yang secara harafiah diartikan ‘yang dimuliakan’ atau ‘yang dipertukan’. (Baca juga: Pandemi Covid-19 Ritual Adat Robo'-Robo' 2020 Berlangsung Sederhana )

Leluhur yang dimuliakan (Marapu) diyakini selalu berada di menara rumah dan memantau kegiatan dari keturunannya yang masih hidup. Marapu diyakini bisa menjadi pengantara hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Masyarakat penganut agama asil ini percaya bahwa leluhur yang telah meninggal dunia dapat berkomunikasi dengan Tuhan dan bisa menyampaikan permohonan manusia kepada Tuhan.

Relasi Horizontal

Dalam relasi horisontal, rumah menjadi dasar dan sumber nilai moral dan etika bagi kehiduan sosial. Rumah besar dengan empat tiang kokoh yang menopang (simbol ayah, ibu, anak laki-laki dan perempuan) kehidupan sosial. Di antara empat tiang kokoh itu, ada ruang atau tempat untuk memasak atau dapur. Perapian juga berfungsi untuk mengawetkan bahan makanan atau pangan yang disimpan di menara rumah.

Pintu masuk rumah juga dibedakan untuk lelaki dan perempuan. Pintu utama yang letaknya di sebelah kiri rumah merupakan tempat masuk kaum lelaki. Sedangkan pintu sebelah kanan adalah tempat keluar masuknya perempuan. Pintu perempuan terhubung lasung dengan dapur, sedangkan pintu lelaki terhubung dengan ruang tamu.

Ritual Perekat Sosial

Dalam kampung adat, rumah-rumah tradisional -baik Uma Bokulu pun Uma Mbatangu- berdiri sejajar mengelilingi sebuah pelataran atau mesbah. Di pelataran itu, penganut kepercayaan Marapu biasa menggelar upacara adat atau ritual keagamaan yang dipimpin kepala adat atau Rato. (Baca juga: Segudang Filosofi Rumah Limas di Lembaran Uang Rrp10 Ribu )

Ada dua ritual besar dalam masyarakat Sumba, yaitu Wulla Poddu dan Pasola. Wulla Poddu adalah bulan suci bagi penganut agama asli atau Marapu. Di bulan itu, ada sejumlah pantangan atau larangan yang harus dipatuhi penganut Marapu.

Pantangan itu antara lain; tidak boleh membangun rumah, tidak boleh mengadakan pesta apapun, kalau ada yang meninggal dilarang pukul gong bahkan tidak boleh ditangisi, tidak boleh memperbaiki rumah terutama atap rumah.

Selama Wulla Poddu, penganut kepercayaan asli atau Marapu juga wajib berpuasa memakan daging babi dan anjing. Mereka hanya diperbolehkan memakan sayur, daging ayam, dan nasi. Ritual besar kedua adalah pasola yang biasanya digelar di tanah lapang. Saat pasola digelar, masing-masing suku akan berperang menggunakan kuda dan lembing kayu.

Mereka berhadapan satu sama lain untuk saling mengadu ketangkasan melempar lembing ke arah lawan. Ritual perang adat ini merupakan momen perekat hubungan kekerabatan, bukan sebaliknya. Ritual ini biasanya diselenggarakan pada awal musim tanam setiap tahun.

Saat ini, kedua ritual keagamaan asli itu menjadi iven yang memikat para wisatawan. Kampung adat Praijing menjadi salah satu objek wisata yang dituju. Tercatat, hanya tersisa 38 rumah di sini, pasca bencana kebakaran pada tahun 2000.

Walaupun berjarak tiga kilometer dari pusat kota Waikabubak, pengunjung tetap nekad untuk mendatangi kampung adat ini. Pengunjung ingin menyaksikan ritual adat dan mengalami kehidupan yang penuh nilai di kampung adat dan rumah tradisional.
(don)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1748 seconds (0.1#10.140)