Hakim BPSK yang Diduga Pukul Pengacara Karena Dinilai Tak Beretika
loading...
A
A
A
MAKASSAR - Muhammad Amin, oknum hakim Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang dilaporkan pengacara perusahaan pembiayaan bernama Eby Julies Onovia, angkat bicara soal terkait dugaan penganiayaan terhadap pengacara tersebut.
Amin diduga menendang perut Eby, saat persidangan berlangsung di Kantor Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Jalan Rappocini Raya, Kecamatan Rappocini, Kota Makassar, Kamis (17/9) petang lalu. Selain itu tuduhan penganiyaan itu diawali dengan ancaman kekerasan menggunakan palu sidang. Dan diakhiri ancaman penikaman dengan badik.
Amin mengatakan, saat itu memang dirinya tengah memimpin sidang majelis BPSK Makassar untuk ketiga kalinya, terkait perkara penarikan kendaraan yang diduga dilakukan pembiayaan secara sewenang-wenang terhadap debitur bernama Hasan Tahir.
Pria asal Makassar itu, menyebut apa yang dibicarakan soal penendangan oleh Eby adalah bohong besar, apalagi sampai visum. Amin menjelaskan kejadian tersebut terjadi karena advokat seolah-olah tidak menghargai jalannya sidang dan cenderung tidak beretika. Beberapa kali advokat tersebut memanggil Amin dengan sebutan tak pantas.
"Sayakan pimpinan sidang. Dia (Eby) tidak memperkenalkan diri sebagai advokat, hanya bilang perwakilan dari pembiayaan atau leasing. Kedua di saat sidang dia beberapa kali panggil saya bos, bro. Nah itukan tidak beretika, tidak hargai saya. Tapi masih sabar saya di situ, kebetulan saya puasa juga waktu itu," kata Amin kepada Sindonews Minggu (20/9/2020).
Amin yang sudah 12 tahun tergabung di BPSK Makassar di bawah naungan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Sulawesi Selatan mengaku selama ini, setiap sidang mediasi selalu memberikan aturan terkait jalannya sidang. Termasuk tata cara menanggapi pernyataan hakim sesuai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
"Di Pasal 49 sampai pasal 58 itu BPSK berwenang menyelesaikan sengketa konsumen dengan perusahaan atau pelaku usaha ataupun sebaliknya, untuk memberikan kepastian hukum dan tranparansi informasi. Cuma sebutannya beda para hakim itu disebut majelis fungsinya sebagai mediator," jelas Amin.
Amin yang juga adalah pengacara terdaftar dalam Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) ini menyebut tingkah laku Eby tak layak disebut sebagai pengacara dan tidak memandang Amin selaku hakim ketua, setelah beberapa kali memanggil tak sopan. Bahkan berusaha menggurui.
"Dari awal sidang orang itu sudah memperlakukan sidang BPSK seperti semacam LSM, padahal sudah saya sampaikan ini resmi diatur dalam undang-undang. Dia selalu mengejek, ketawa-ketawa. Setiap saya potong dia menantang, menyepelekan. Sampai keluar itu kata-kata bos, bro dengan berkacak pinggang," ungkapnya.
Lontaran panggilan dari Eby yang menurut Amin kurang sopan diucapkan dalam forum sidang sempat diresponnya dengan teguran.
"Rupanya dia menantang. Ditegur makin jadi. Mengelak bilang sejak kapan saya bilang bro. Padahal banyak saksinya di situ dia tiga kali bilang bro," imbuh Amin.
Amin yang mengaku sedang berpuasa, masih sabar puncaknya ketika ia menanyakan angka denda yang harus dibayar oleh debitur mendekati Rp60 Juta padahal tunggakan debitur tak sampai Rp20 Juta. Belum lagi pihak pembiayaan memakai jasa debt collector untuk mengambil jaminan.
Amin menyampaikan ada cara lain yang lebih aman ketimbang memakai jasa debt collector, yakni memakai jasa polisi, sebagaimana di atur dalam Perkap Kapolri Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia. Sayangnya saran tersebut dianggap tidak efektif oleh Eby.
"Itukan debt collector sama kayak pakai preman. Kenapa tidak pakai bantuan polisi. Dia bilang kalau pakai polisi tidak efektif, habis nanti biaya. Padahal itu sudah diatur dalam Perkap Kapolri kan. Dia malah bilang bapak sudah baca itu, coba bayangkan. Dia dikte saya, tapi saya masih simpan marahku," bebernya.
Alhasil, ketika perdebatan penggunaan jasa debt collector terus meninggi, Amin mulai menegur kembali Eby. Emosi sang hakim memuncak.
"Sampai saya ancam bilang kalau kau tidak mau diam saya lempar kau palu sidang. Rupanya dia menantang. Saya usir keluar, karena sudah merendahkan martabat saya," ucapnya.
Situasi yang kian memanas, Amin lalu beranjak dari kursinya dan mendatangi Eby. "Karena dia tidak mau keluar, saya datangi. Tapi ada banyak orang yang cegat saya. Ada satu kali tendangan tapi itu tidak kena. Waktu selesai saya juga sudah minta maaf, saya bilang jangan begini lagi. Tapi ternyata dia melapor ke Polrestabes," tutur Amin.
Amin membantah adanya ancaman senjata tajam. Ia juga mengaku tak membawa badik.
"Saya mau tusuk kunci, hanya sekedar menakut-nakuti. Karena bikin gaduh, dan tidak beretika di persidangan yang diatur dalam Undang-undang. Dia ini preman, bukan pengacara," tegasnya.
Amin diduga menendang perut Eby, saat persidangan berlangsung di Kantor Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Jalan Rappocini Raya, Kecamatan Rappocini, Kota Makassar, Kamis (17/9) petang lalu. Selain itu tuduhan penganiyaan itu diawali dengan ancaman kekerasan menggunakan palu sidang. Dan diakhiri ancaman penikaman dengan badik.
Amin mengatakan, saat itu memang dirinya tengah memimpin sidang majelis BPSK Makassar untuk ketiga kalinya, terkait perkara penarikan kendaraan yang diduga dilakukan pembiayaan secara sewenang-wenang terhadap debitur bernama Hasan Tahir.
Pria asal Makassar itu, menyebut apa yang dibicarakan soal penendangan oleh Eby adalah bohong besar, apalagi sampai visum. Amin menjelaskan kejadian tersebut terjadi karena advokat seolah-olah tidak menghargai jalannya sidang dan cenderung tidak beretika. Beberapa kali advokat tersebut memanggil Amin dengan sebutan tak pantas.
"Sayakan pimpinan sidang. Dia (Eby) tidak memperkenalkan diri sebagai advokat, hanya bilang perwakilan dari pembiayaan atau leasing. Kedua di saat sidang dia beberapa kali panggil saya bos, bro. Nah itukan tidak beretika, tidak hargai saya. Tapi masih sabar saya di situ, kebetulan saya puasa juga waktu itu," kata Amin kepada Sindonews Minggu (20/9/2020).
Amin yang sudah 12 tahun tergabung di BPSK Makassar di bawah naungan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Sulawesi Selatan mengaku selama ini, setiap sidang mediasi selalu memberikan aturan terkait jalannya sidang. Termasuk tata cara menanggapi pernyataan hakim sesuai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
"Di Pasal 49 sampai pasal 58 itu BPSK berwenang menyelesaikan sengketa konsumen dengan perusahaan atau pelaku usaha ataupun sebaliknya, untuk memberikan kepastian hukum dan tranparansi informasi. Cuma sebutannya beda para hakim itu disebut majelis fungsinya sebagai mediator," jelas Amin.
Amin yang juga adalah pengacara terdaftar dalam Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) ini menyebut tingkah laku Eby tak layak disebut sebagai pengacara dan tidak memandang Amin selaku hakim ketua, setelah beberapa kali memanggil tak sopan. Bahkan berusaha menggurui.
"Dari awal sidang orang itu sudah memperlakukan sidang BPSK seperti semacam LSM, padahal sudah saya sampaikan ini resmi diatur dalam undang-undang. Dia selalu mengejek, ketawa-ketawa. Setiap saya potong dia menantang, menyepelekan. Sampai keluar itu kata-kata bos, bro dengan berkacak pinggang," ungkapnya.
Lontaran panggilan dari Eby yang menurut Amin kurang sopan diucapkan dalam forum sidang sempat diresponnya dengan teguran.
"Rupanya dia menantang. Ditegur makin jadi. Mengelak bilang sejak kapan saya bilang bro. Padahal banyak saksinya di situ dia tiga kali bilang bro," imbuh Amin.
Amin yang mengaku sedang berpuasa, masih sabar puncaknya ketika ia menanyakan angka denda yang harus dibayar oleh debitur mendekati Rp60 Juta padahal tunggakan debitur tak sampai Rp20 Juta. Belum lagi pihak pembiayaan memakai jasa debt collector untuk mengambil jaminan.
Amin menyampaikan ada cara lain yang lebih aman ketimbang memakai jasa debt collector, yakni memakai jasa polisi, sebagaimana di atur dalam Perkap Kapolri Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia. Sayangnya saran tersebut dianggap tidak efektif oleh Eby.
"Itukan debt collector sama kayak pakai preman. Kenapa tidak pakai bantuan polisi. Dia bilang kalau pakai polisi tidak efektif, habis nanti biaya. Padahal itu sudah diatur dalam Perkap Kapolri kan. Dia malah bilang bapak sudah baca itu, coba bayangkan. Dia dikte saya, tapi saya masih simpan marahku," bebernya.
Alhasil, ketika perdebatan penggunaan jasa debt collector terus meninggi, Amin mulai menegur kembali Eby. Emosi sang hakim memuncak.
"Sampai saya ancam bilang kalau kau tidak mau diam saya lempar kau palu sidang. Rupanya dia menantang. Saya usir keluar, karena sudah merendahkan martabat saya," ucapnya.
Situasi yang kian memanas, Amin lalu beranjak dari kursinya dan mendatangi Eby. "Karena dia tidak mau keluar, saya datangi. Tapi ada banyak orang yang cegat saya. Ada satu kali tendangan tapi itu tidak kena. Waktu selesai saya juga sudah minta maaf, saya bilang jangan begini lagi. Tapi ternyata dia melapor ke Polrestabes," tutur Amin.
Amin membantah adanya ancaman senjata tajam. Ia juga mengaku tak membawa badik.
"Saya mau tusuk kunci, hanya sekedar menakut-nakuti. Karena bikin gaduh, dan tidak beretika di persidangan yang diatur dalam Undang-undang. Dia ini preman, bukan pengacara," tegasnya.
(agn)