Pasar Klewer Panggung Perempuan Lincah Berbisnis
loading...
A
A
A
TAK sekadar pusat pergerakan ekonomi, Pasar Klewer seolah menjadi ikon Kota Solo. Namanya yang begitu melegenda membuat pelancong enggan melewatkan begitu saja ketika berkunjung ke kota ini.
Tidak banyak yang tahu, Pasar Klewer lama sejatinya adalah tempat pemberhentian kereta api. Masyarakat pribumi pada waktu itu, tepatnya kala masa penjajahan Jepang, memanfaatkannya sebagai tempat berjualan. Lambat laun kawasan ini dikenal dengan sebutan Pasar Slompretan. Nama itu diambil dari suara kereta api yang akan berangkat yang mirip suara terompet. Pedagang waktu itu menawarkan dagangan kain batik dengan meletakkan di pundaknya. Dagangan itu pun tampak menjuntai tidak beraturan atau ber-kleweran jika dilihat dari kejauhan. (Baca: Kasus Positif Covid-19 Kian Mengkhawatirkan, Rumah Sakit di Ambang Kolaps)
Dari sinilah kawasan ini kemudian dikenal dengan sebutan Pasar Klewer . Meski dari tempat yang sederhana, aktivitas perdagangan di lokasi yang berdekatan dengan Keraton Kasunanan Surakarta ini pun semakin berkembang. Saat era pemerintahan Presiden Suharto, sekitar tahun 1970-an, Pasar Klewer dibangun bertingkat dan permanen.
Sejarawan Solo Heri Priyatmoko mengungkapkan, mayoritas pedagang Pasar Klewer dulunya merupakan perempuan. Hal tersebut tak lepas dari komoditas yang diperdagangkan saat itu, yaitu kain batik. Para pedagang batik perempuan itu disebut mbok mase. Pasar Klewer pun identik dengan pasar perempuan. Mereka memakai pakaian jarit, datang dengan naik becak.
Dari fakta ini Pasar Klewer menjadi pembuktian bahwa perempuan sejatinya juga jago bisnis. “Pasar Klewer merupakan pasar yang unik, khas karena menjadi panggung perempuan menjalankan usaha,” beber Heri.
Langkah dan aktivitas perempuan Solo ini patut diacungi jempol. Sebab kala itu perempuan masih dianggap konco wingking atau tugasnya hanya di dapur. Dalam ekosistem Pasar Klewer, perempuan bisa memamerkan kedigdayaannya di bidang bisnis. (Baca juga: Mengenalkan Ketauhidan Sejak Dini Pada Anak)
Selain cakap dalam urusan produksi, mereka juga pandai dalam promosi hingga tawar-menawar barang. Para perempuan Solo memiliki kelenturan dalam menggaet pembeli. Secara ekonomi mereka sudah kaya, tetapi mereka tetap memperlakukan pembeli sebagai raja. “Seperti memanggil pengunjung atau pembeli dengan sapaan monggo den (silakan raden),” urainya.
Pasar Klewer pun menjadi ruang berlatih atau berdemokrasi. Siapa yang jago menawar akan mendapatkan harga yang baik. Tak hanya itu, Pasar Klewer juga menjadi tempat interaksi masyarakat berbagai etnik. Proses interaksi berjalan cair dan benar-benar sangat terjalin sehingga solidaritas pedagang menjadi kuat, termasuk menguatkan kerukunan antaretnik. Dia menyebut Pasar Klewer sebagai ekosistem karena di situ ada produsen, distributor, pedagang, pembeli, sales, buruh panggul, tukang parkir, tukang becak, dan lainnya. Banyak sekali relasi yang masuk di Pasar Klewer.
Kisah kejayaan Pasar Klewer juga diungkapkan Ibu Abdul Kadir, salah satu pedagang. Dirinya mulai berdagang di Pasar Klewer tahun 1976. “Saat itu kondisi kami masih agak sulit, tapi cari uang gampang,” ucap Ibu Abdul Kadir.
Tidak banyak yang tahu, Pasar Klewer lama sejatinya adalah tempat pemberhentian kereta api. Masyarakat pribumi pada waktu itu, tepatnya kala masa penjajahan Jepang, memanfaatkannya sebagai tempat berjualan. Lambat laun kawasan ini dikenal dengan sebutan Pasar Slompretan. Nama itu diambil dari suara kereta api yang akan berangkat yang mirip suara terompet. Pedagang waktu itu menawarkan dagangan kain batik dengan meletakkan di pundaknya. Dagangan itu pun tampak menjuntai tidak beraturan atau ber-kleweran jika dilihat dari kejauhan. (Baca: Kasus Positif Covid-19 Kian Mengkhawatirkan, Rumah Sakit di Ambang Kolaps)
Dari sinilah kawasan ini kemudian dikenal dengan sebutan Pasar Klewer . Meski dari tempat yang sederhana, aktivitas perdagangan di lokasi yang berdekatan dengan Keraton Kasunanan Surakarta ini pun semakin berkembang. Saat era pemerintahan Presiden Suharto, sekitar tahun 1970-an, Pasar Klewer dibangun bertingkat dan permanen.
Sejarawan Solo Heri Priyatmoko mengungkapkan, mayoritas pedagang Pasar Klewer dulunya merupakan perempuan. Hal tersebut tak lepas dari komoditas yang diperdagangkan saat itu, yaitu kain batik. Para pedagang batik perempuan itu disebut mbok mase. Pasar Klewer pun identik dengan pasar perempuan. Mereka memakai pakaian jarit, datang dengan naik becak.
Dari fakta ini Pasar Klewer menjadi pembuktian bahwa perempuan sejatinya juga jago bisnis. “Pasar Klewer merupakan pasar yang unik, khas karena menjadi panggung perempuan menjalankan usaha,” beber Heri.
Langkah dan aktivitas perempuan Solo ini patut diacungi jempol. Sebab kala itu perempuan masih dianggap konco wingking atau tugasnya hanya di dapur. Dalam ekosistem Pasar Klewer, perempuan bisa memamerkan kedigdayaannya di bidang bisnis. (Baca juga: Mengenalkan Ketauhidan Sejak Dini Pada Anak)
Selain cakap dalam urusan produksi, mereka juga pandai dalam promosi hingga tawar-menawar barang. Para perempuan Solo memiliki kelenturan dalam menggaet pembeli. Secara ekonomi mereka sudah kaya, tetapi mereka tetap memperlakukan pembeli sebagai raja. “Seperti memanggil pengunjung atau pembeli dengan sapaan monggo den (silakan raden),” urainya.
Pasar Klewer pun menjadi ruang berlatih atau berdemokrasi. Siapa yang jago menawar akan mendapatkan harga yang baik. Tak hanya itu, Pasar Klewer juga menjadi tempat interaksi masyarakat berbagai etnik. Proses interaksi berjalan cair dan benar-benar sangat terjalin sehingga solidaritas pedagang menjadi kuat, termasuk menguatkan kerukunan antaretnik. Dia menyebut Pasar Klewer sebagai ekosistem karena di situ ada produsen, distributor, pedagang, pembeli, sales, buruh panggul, tukang parkir, tukang becak, dan lainnya. Banyak sekali relasi yang masuk di Pasar Klewer.
Kisah kejayaan Pasar Klewer juga diungkapkan Ibu Abdul Kadir, salah satu pedagang. Dirinya mulai berdagang di Pasar Klewer tahun 1976. “Saat itu kondisi kami masih agak sulit, tapi cari uang gampang,” ucap Ibu Abdul Kadir.