Airlangga Pecah Kerajaannya demi Hindari Anaknya Berebut Tahta Warisan
loading...
A
A
A
Raja Airlangga akhirnya membagi wilayah kekuasaan kerajaannya menjadi dua. Pembagian itu terpaksa dilakukan karena menghindari rebutan tahta raja dua anak laki-laki Airlangga, usai menerima nasehat dari Mpu Bharada.
Anak Airlangga bernama Sri Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu yang berpusat di kota baru, Daha. Sementara putra yang bernama Mapanji Garasakan mendapatkan kerajaan timur yang bernama Jenggala, yang berpusat di kota lama yaitu Kahuripan.
Namun selanjutnya tak ada yang jelas menyebut, bagaimana kerajaan dipecah dan menjadi beberapa bagian. Perkembangannya hanya dua kerajaan yang sering disebut yakni Kediri atau Panjalu dan Jenggala.
Awal mulanya bahkan nama Panjalu atau Pangjalu memang lebih sering dipakai daripada nama Kediri. Hal ini dapat dijumpai dalam prasasti - prasasti yang diterbitkan oleh raja-raja Kediri. Di buku "Babad Tanah Jawi" tulisan Soedjipto Abimanyu, dikisahkan nama Panjalu juga dikenal sebagai Pu-chia-lung-lung dalam kronik Cina berjudul Ling Wai Tai Ta.
Wilayah Kerajaan Kediri adalah bagian selatan Kerajaan Kahuripan. Tak banyak yang diketahui peristiwa di masa-masa awal Kerajaan Kediri. Konon saat itu, Raja Kameswara menikah dengan Dewi Kirana, putri Kerajaan Jenggala. Dengan demikian, akhirnya Janggala kembali dipersatukan dengan Kediri.
Nama Kediri akhirnya menjadi kerajaan yang cukup kuat di Jawa. Pada masa ini, ditulis Kitab Kakawin Smaradahana, yang dikenal dalam kesusastraan Jawa dengan cerita Panji. Sedangkan asal usul nama Kediri, disebut berasal dari kata kedi, yang artinya mandul atau wanita yang tidak berdatang bulan.
Menurut kamus Jawa kuno Wojo Wasita, kedi berarti orang kebiri bidan atau dukun. Di dalam lakon Wayang Sang Arjuno, pernah menyamar menjadi guru tari di negara Wirata, bernama Kedi Wrakantolo. Bila dihubungkan dengan nama tokoh Dewi Kilisuci yang bertapa di Gua Selomangleng, maka kedi berarti suci atau wadad. Selain itu, kata Kediri berasal dari kata diri yang berarti adeg, angdhiri, menghadiri, atau menjadi raja, pada bahasa Jawa Jumenengan.
Nama Kediri banyak terdapat pada kesusastraan kuno yang berbahasa Jawa kuno. Kitab-kitab seperti Kitab Samaradana, Pararaton, Negarakertagama, Kitab Calon Arang, mengisahkan nama mengenai Kediri.
Nama Kediri juga muncul pada beberapa prasasti, seperti Prasasti Ceber yang berangka tahun 1109 saka yang terletak di Desa Ceker, sekarang berada Desa Sukoanyar, Kecamatan Mojo. Pada prasasti ini disebutkan karena penduduk Ceker berjasa pada raja, maka mereka memperoleh hadiah tanah perdikan.
Pada prasasti tersebut tertulis, "Sri Maharaja Masuk Ri Siminaninaring Bhuwi Kadiri" yang berarti raja telah kembali kesimanya, atau harapannya di Bhumi Kadiri. Prasasti Kamulan di Desa Kamulan, Kabupaten Trenggalek yang berangka tahun 1116 saka, juga menyebut nama Kediri yang diserang oleh raja dari kerajaan sebelah timur.
Lihat Juga: Kisah Airlangga Balaskan Dendam Kematian Mertua dan Kerajaan Mataram Akibat Serangan Sekutu Sriwijaya
Anak Airlangga bernama Sri Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu yang berpusat di kota baru, Daha. Sementara putra yang bernama Mapanji Garasakan mendapatkan kerajaan timur yang bernama Jenggala, yang berpusat di kota lama yaitu Kahuripan.
Namun selanjutnya tak ada yang jelas menyebut, bagaimana kerajaan dipecah dan menjadi beberapa bagian. Perkembangannya hanya dua kerajaan yang sering disebut yakni Kediri atau Panjalu dan Jenggala.
Awal mulanya bahkan nama Panjalu atau Pangjalu memang lebih sering dipakai daripada nama Kediri. Hal ini dapat dijumpai dalam prasasti - prasasti yang diterbitkan oleh raja-raja Kediri. Di buku "Babad Tanah Jawi" tulisan Soedjipto Abimanyu, dikisahkan nama Panjalu juga dikenal sebagai Pu-chia-lung-lung dalam kronik Cina berjudul Ling Wai Tai Ta.
Wilayah Kerajaan Kediri adalah bagian selatan Kerajaan Kahuripan. Tak banyak yang diketahui peristiwa di masa-masa awal Kerajaan Kediri. Konon saat itu, Raja Kameswara menikah dengan Dewi Kirana, putri Kerajaan Jenggala. Dengan demikian, akhirnya Janggala kembali dipersatukan dengan Kediri.
Baca Juga
Nama Kediri akhirnya menjadi kerajaan yang cukup kuat di Jawa. Pada masa ini, ditulis Kitab Kakawin Smaradahana, yang dikenal dalam kesusastraan Jawa dengan cerita Panji. Sedangkan asal usul nama Kediri, disebut berasal dari kata kedi, yang artinya mandul atau wanita yang tidak berdatang bulan.
Menurut kamus Jawa kuno Wojo Wasita, kedi berarti orang kebiri bidan atau dukun. Di dalam lakon Wayang Sang Arjuno, pernah menyamar menjadi guru tari di negara Wirata, bernama Kedi Wrakantolo. Bila dihubungkan dengan nama tokoh Dewi Kilisuci yang bertapa di Gua Selomangleng, maka kedi berarti suci atau wadad. Selain itu, kata Kediri berasal dari kata diri yang berarti adeg, angdhiri, menghadiri, atau menjadi raja, pada bahasa Jawa Jumenengan.
Nama Kediri banyak terdapat pada kesusastraan kuno yang berbahasa Jawa kuno. Kitab-kitab seperti Kitab Samaradana, Pararaton, Negarakertagama, Kitab Calon Arang, mengisahkan nama mengenai Kediri.
Nama Kediri juga muncul pada beberapa prasasti, seperti Prasasti Ceber yang berangka tahun 1109 saka yang terletak di Desa Ceker, sekarang berada Desa Sukoanyar, Kecamatan Mojo. Pada prasasti ini disebutkan karena penduduk Ceker berjasa pada raja, maka mereka memperoleh hadiah tanah perdikan.
Pada prasasti tersebut tertulis, "Sri Maharaja Masuk Ri Siminaninaring Bhuwi Kadiri" yang berarti raja telah kembali kesimanya, atau harapannya di Bhumi Kadiri. Prasasti Kamulan di Desa Kamulan, Kabupaten Trenggalek yang berangka tahun 1116 saka, juga menyebut nama Kediri yang diserang oleh raja dari kerajaan sebelah timur.
Lihat Juga: Kisah Airlangga Balaskan Dendam Kematian Mertua dan Kerajaan Mataram Akibat Serangan Sekutu Sriwijaya
(cip)