Pasar Klewer Panggung Perempuan Lincah Berbisnis

Kamis, 10 September 2020 - 07:02 WIB
loading...
Pasar Klewer Panggung Perempuan Lincah Berbisnis
Suasana di pintu depan Pasar Klewer Solo, kemarin. Pasar ini menjadi pusat perdagangan batik terbesardi Indonesia. Foto/Koran SINDO/Ary Wahyu Wibowo
A A A
TAK sekadar pusat pergerakan ekonomi, Pasar Klewer seolah menjadi ikon Kota Solo. Namanya yang begitu melegenda membuat pelancong enggan melewatkan begitu saja ketika berkunjung ke kota ini.

Tidak banyak yang tahu, Pasar Klewer lama sejatinya adalah tempat pemberhentian kereta api. Masyarakat pribumi pada waktu itu, tepatnya kala masa penjajahan Jepang, memanfaatkannya sebagai tempat berjualan. Lambat laun kawasan ini dikenal dengan sebutan Pasar Slompretan. Nama itu diambil dari suara kereta api yang akan berangkat yang mirip suara terompet. Pedagang waktu itu menawarkan dagangan kain batik dengan meletakkan di pundaknya. Dagangan itu pun tampak menjuntai tidak beraturan atau ber-kleweran jika dilihat dari kejauhan. (Baca: Kasus Positif Covid-19 Kian Mengkhawatirkan, Rumah Sakit di Ambang Kolaps)

Dari sinilah kawasan ini kemudian dikenal dengan sebutan Pasar Klewer . Meski dari tempat yang sederhana, aktivitas perdagangan di lokasi yang berdekatan dengan Keraton Kasunanan Surakarta ini pun semakin berkembang. Saat era pemerintahan Presiden Suharto, sekitar tahun 1970-an, Pasar Klewer dibangun bertingkat dan permanen.

Sejarawan Solo Heri Priyatmoko mengungkapkan, mayoritas pedagang Pasar Klewer dulunya merupakan perempuan. Hal tersebut tak lepas dari komoditas yang diperdagangkan saat itu, yaitu kain batik. Para pedagang batik perempuan itu disebut mbok mase. Pasar Klewer pun identik dengan pasar perempuan. Mereka memakai pakaian jarit, datang dengan naik becak.

Dari fakta ini Pasar Klewer menjadi pembuktian bahwa perempuan sejatinya juga jago bisnis. “Pasar Klewer merupakan pasar yang unik, khas karena menjadi panggung perempuan menjalankan usaha,” beber Heri.

Langkah dan aktivitas perempuan Solo ini patut diacungi jempol. Sebab kala itu perempuan masih dianggap konco wingking atau tugasnya hanya di dapur. Dalam ekosistem Pasar Klewer, perempuan bisa memamerkan kedigdayaannya di bidang bisnis. (Baca juga: Mengenalkan Ketauhidan Sejak Dini Pada Anak)

Selain cakap dalam urusan produksi, mereka juga pandai dalam promosi hingga tawar-menawar barang. Para perempuan Solo memiliki kelenturan dalam menggaet pembeli. Secara ekonomi mereka sudah kaya, tetapi mereka tetap memperlakukan pembeli sebagai raja. “Seperti memanggil pengunjung atau pembeli dengan sapaan monggo den (silakan raden),” urainya.

Pasar Klewer pun menjadi ruang berlatih atau berdemokrasi. Siapa yang jago menawar akan mendapatkan harga yang baik. Tak hanya itu, Pasar Klewer juga menjadi tempat interaksi masyarakat berbagai etnik. Proses interaksi berjalan cair dan benar-benar sangat terjalin sehingga solidaritas pedagang menjadi kuat, termasuk menguatkan kerukunan antaretnik. Dia menyebut Pasar Klewer sebagai ekosistem karena di situ ada produsen, distributor, pedagang, pembeli, sales, buruh panggul, tukang parkir, tukang becak, dan lainnya. Banyak sekali relasi yang masuk di Pasar Klewer.

Kisah kejayaan Pasar Klewer juga diungkapkan Ibu Abdul Kadir, salah satu pedagang. Dirinya mulai berdagang di Pasar Klewer tahun 1976. “Saat itu kondisi kami masih agak sulit, tapi cari uang gampang,” ucap Ibu Abdul Kadir.

Pasar Klewer Panggung Perempuan Lincah Berbisnis


Bangunan pasar juga sangat mendukung dan pedagang kaki lima (PKL) kala itu juga belum masuk. Dengan demikian pedagang sangat eksis. Dari ingatannya jumlah pedagang saat itu hanya sekitar 700 orang. Barang yang dijualnya dulu hanya kain mori untuk dibuat batik. Tahun 1982 printing mulai diperkenalkan dan masuk ke Pasar Klewer sehingga para pedagang turut menyesuaikan. Persaingan kala itu belum ketat seperti sekarang ini. “Sejak diresmikan Pak Harto dulu Pasar Klewer menjadi pusat sandang di Jawa Tengah sehingga Pasar Klewer sudah memiliki brand,” urainya.

Pasar Klewer pun menjadi jujugan para pembeli dari berbagai penjuru di Indonesia. Karena jasa ekspedisi belum ada, mereka datang langsung ke Pasar Klewer dengan naik kapal atau pesawat agar bisa sampai ke Solo. Perdagangan dulunya masih dilakukan secara manual. Suasana pasar ramai dan pembeli berjubel sehingga suasana perekonomian benar-benar hidup. (Baca juga: Pandemi, UI Tetapkan Berlakukan PJJ Pada Tahun Ajaran Baru)

Pasar Klewer mengalami puncak kejayaan sekitar 1992. Setelah itu persaingan ekonomi yang kian ketat membuat pamornya menurun. Terlepas dari perubahan tersebut, Pasar Klewer terbukti menjadi denyut nadi penggerak perekonomian di Solo Raya. Kain-kain batik dari para perajin di Kota Solo maupun kabupaten sekitar hingga Pekalongan masuk ke Pasar Klewer.

Jumlah perajin batik mencapai ratusan dan mereka menyuplai kebutuhan batik para konsumen yang datang dari berbagai penjuru Tanah Air. Pasar Klewer semakin eksis ketika usaha konveksi juga semakin berkembang pada 2002 sampai saat ini. Usaha-usaha konveksi juga berasal dari Solo Raya yang mencapai ratusan.

Predikat sebagai urat nadi perekonomian di Kota Bengawan dapat dibuktikan dengan omzet perputaran uang di Pasar Klewer . Dalam satu hari omzetnya suatu ketika bahkan pernah hampir sama dengan perputaran uang di Jawa Tengah. “Itu dulu lho sekitar tahun 1992–1993. Tapi kalau sekarang saya tidak tahu,” tuturnya.

Para pedagang Pasar Klewer terus berupaya mengikuti arus perubahan zaman. Tren model yang tengah laku juga diikuti. Jika tidak bisa produksi sendiri, mereka akan kulakan ke produsen lain. Jumlah pedagang Pasar Klewer yang menempati kios sekitar 1.200 orang. Belum lagi pedagang Persatuan Pedagang Pelataran Pasar Klewer (P4K) yang mencapai sekitar 1.000 orang.

Banyak juga masyarakat yang turut mengais rezeki di Pasar Klewer . Seperti kuli gendong, penjaja makanan, sopir becak, dan sopir angkot. Diperkirakan masyarakat yang menggantungkan hidupnya di Pasar Klewer mencapai 10.000 orang. Belum lagi para perajin batik dan usaha konveksi berikut karyawannya.

Datangnya era digital diakui turut memengaruhi penjualan di pasar ini. Pedagang yang lancar menggunakan teknologi informasi (TI) memanfaatkannya agar omzet penjualan semakin meningkat. Namun bagi pedagang yang usianya sudah tua mengalami kesulitan. (Baca juga: Ternyata Tidur Bisa Cegah Alzheimer)

Diperkirakan 60% pedagang di Pasar Klewer masih menyukai cara manual dalam transaksi. Sebab masih banyak pembeli yang ingin melihat langsung barang yang akan dibeli. Meski demikian pedagang juga tidak mau terlalu gagap teknologi. Banyak di antaranya yang telah menggunakan telepon dan transfer uang melalui bank. Maraknya toko online pun memengaruhi penjualan meski tidak banyak. Datangnya pandemi korona (Covid-19) juga sangat berdampak terhadap omzet penjualan. Di tengah guncangan itu para pedagang Pasar Klewer berupaya tetap bertahan.

Meski mengalami pasang surut dari berbagai peristiwa, termasuk kebakaran, para pedagang tetap yakin ikon Pasar Klewer sebagai pasar batik terbesar di Jawa Tengah atau bahkan Indonesia bisa dipertahankan. “Pedagang menjaga betul agar tidak tereliminasi dengan yang lainnya,” tandas Ibu Kadir.

Jujugan Wisatawan

Pasar Klewer juga menjadi rujukan wisatawan yang ingin berbelanja batik di Kota Solo. Salah satu pengunjung Suyatmi, 65, mengaku sejak muda sering datang ke Pasar Klewer untuk membeli batik maupun kebutuhan sandang lainnya. Baginya Pasar Klewer sangat istimewa karena beragam kebutuhan sandang tersedia. (Baca juga: Jokowi Minta Semua Pihak Merancang Ulang Pembinaan Atlet)

“Harganya juga jauh lebih murah kalau bisa tawar-menawar,” ungkap Suyatmi. Meski sekarang banyak berdiri pusat sandang yang besar dan menjadi pesaing, perempuan asal Mojosongo, Solo, ini mengaku tidak bisa beralih dan merasa lebih puas membeli di Pasar Klewer.

Kepala Dinas Perdagangan (Disdag) Solo Heru Sunardi mengakui perjalanan Pasar Klewer dari awalnya dikenal sebagai pasar Slompretan hingga kini telah mendapat predikat sebagai pasar batik terbesar di Indonesia. Kemajuan Klewer tak lepas dari lokasi perdagangan yang sangat strategis karena berada di dekat pusat pemerintahan, yakni Keraton Kasunanan Surakarta dan Masjid Agung.

Seiring dengan industrialisasi kain batik dan kain ini tak lagi menjadi hegemoni kaum bangsawan, Klewer kian berkembang. Bahkan begitu pesatnya aktivitas ekonomi di Pasar Klewer membuat Presiden Sukarno berinisiatif mendirikan bangunan permanen untuk tempat berdagang. Ketika perkembangan Pasar Klewer makin pesat lagi, Presiden Suharto mengeluarkan inpres untuk mendirikan bangunan Pasar Klewer.

Saat itu pedagang sepeda direlokasi ke Pasar Geblegan dan pedagang burung ditempatkan di Widuran. Bangunan baru Pasar Klewer dengan dua lantai diresmikan pembangunannya oleh Presiden Suharto pada 9 Juni 1971. Mengingat aktivitas pedagang terus meningkat, didirikan bangunan pasar di sebelah timur Pasar Klewer pada 27 Desember 1986 dan diresmikan oleh Gubernur Jawa Tengah Ismail.

Pada 27 Desember 2014 terjadi musibah kebakaran di Pasar Klewer. Ratusan pedagang kehilangan tempat usahanya sehingga Pemkot Solo menyediakan pasar sementara di Alun-alun Lor Keraton Solo yang tak jauh dari Pasar Klewer. Pasar Klewer baru dibangun kembali dan pada 2017 dan diresmikan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pembangunan pasar berlanjut ke Pasar Klewer bagian timur. (Lihat videonya: Limbah Medis Rumah Sakit Mencemari Sungai Cisadane)

Diungkapkannya, keberadaan Kampung Laweyan dan Kauman yang sejak lama menjadi sentra batik turut andil meramaikan perdagangan batik di Pasar Klewer. “Saat ini jumlah pedagangnya mencapai 2.216 pedagang, ditambah 769 pedagang pelataran,” bebernya.

Perputaran uang di Pasar Klewer sebelum kebakaran mencapai sekitar Rp20 miliar per hari. Pascakebakaran dan kemudian memasuki masa Covid-19 diakui mengalami penurunan sangat dratis. Perputaran uang kini hanya sekitar Rp6 miliar per hari. (Ary Wahyu Wibowo)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1244 seconds (0.1#10.140)