Kisah Panasnya Perang Intelijen Indonesia vs Uni Soviet di Masa Lampau

Minggu, 09 Februari 2025 - 14:37 WIB
loading...
Kisah Panasnya Perang...
Paspor agen Nikolai Grigoryevich Petrov alias Houdini sekitar tahun 1972. Foto/Repro/Ist
A A A
JAKARTA - Kisah panasnya perang intelijen Indonesia vs Uni Soviet merupakan bagian dari sejarah yang penuh intrik. Momen terjadi setelah pergantian kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada Presiden Soeharto.

Sedikit kilas balik, Uni Soviet dan Amerika Serikat pernah menjadi dua negara adidaya di dunia. Masing-masing saling bersaing memperebutkan pengaruh di berbagai negara, termasuk di Indonesia.



Pada era 1950-an hingga 1960-an, Uni Soviet punya pengaruh besar di Indonesia. Badan intelijen Soviet, Komitet Gosudarstvennoy Bezopasnosti (KGB), bahkan cukup aktif guna memperkuat pengaruh komunis.

Namun, kondisi mulai berubah setelah peristiwa G30S/PKI pada 1965 dan naiknya Soeharto ke tampuk kekuasaan. Setelah itu, kebijakan Indonesia mulai beralih ke arah Barat dan lebih anti-komunis.

Pada beberapa operasi intelijen, agen-agen Indonesia disebutkan pernah memperdaya Komitet Gosudarstvennoy Bezopasnosti (KGB) dengan memberikan informasi yang salah atau menyesatkan. Beberapa sumber lain juga menyebut intelijen pemerintah sempat memasukkan agen ganda ke dalam jaringan KGB di Indonesia.

Kisah Panasnya Perang Intelijen Indonesia vs Uni Soviet


Setelah peralihan kekuasaan menuju Presiden Soeharto, terjadi pembersihan besar-besaran terhadap komunis. Hal ini juga menyasar jaringan intelijen Uni Soviet yang sempat bercokol di Indonesia.



Mendapati keberadaannya keberadaannya terancam, sebagian anggota KGB terus bergerak. Di Jakarta dan beberapa kota besar lain, mereka bersama GRU (dinas intelijen militer Soviet), tetap melakukan operasi secara senyap.

Pada usahanya, mereka sempat mencoba menyadap informasi rezim baru yang telah mendapat dukungan dari Amerika Serikat. Bahkan, mereka disebut berhasil menempatkan sejumlah petingginya di Indonesia.

"Mereka yakni 24 pejabat KGB dan GRU yang ditempatkan di Jakarta, Medan dan Surabaya sejak awal 70-an," ungkap Ken Conboy dalam buku “ Intel, Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia”.

Ken Conboy kemudian menyebut nama Boris Liapine, salah satu pejabat Atase Kebudayaan yang yang gerak geriknya dalam pantauan tim Satsus Intel (Satuan Khusus Intelijen). Untuk diketahui, Satsus Intel ini adalah unit baru Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Negara) yang didirikan 16 November 1968.



Unit tersebut biasa menjuluki agen KGB dan GRU yang diawasi dengan sebutan “Gatot”. Hal ini termasuk agen Boris Liapine yang berada dalam pantauan.

Selain Boris, ada agen Soviet lain yang dipantau Satsus Intel, yakni Vladislav Romanov dan Oleg Brykin. Brykin dianggap berbahaya karena jago membangun jaringan dan dapat merekrut anggota baru.

Pada aksinya, Satsus Intel rezim Soeharto senantiasa melakukan kontraintelijen untuk melawan agen rahasia Soviet. Pada pertengahan 1972, Satsus Intel berhasil mengkooptasi Nikolai Grigoryevich Petrov, seorang Kapten GRU berusia 33 tahun.

Petrov adalah agen Soviet yang awalnya menyamar sebagai juru bahasa dalam Proyek 055. Dia kemudian bekerja di kedutaan Soviet, datang ke Jakarta bersama kontingen GRU yang berjumlah sepuluh orang.

Melalui bocoran informasi Petrov, Satsus Intel mengetahui banyak hal terkait penyusupan mata-mata Soviet di tubuh militer Indonesia.

Dari situ, Satsus Intel tahu bahwa GRU telah berhasil merekrut seorang letnan angkatan udara produktif yang bertugas di bagian teknik.

Selain itu, diketahui juga adanya perekrut ulung di tubuh militer Indonesia itu bernama Vladimir Abromov. Dari Abromov terungkap juga sejumlah sandi yang menjadi kebiasaan mata-mata Soviet.

Pada pertengahan Juni 1972, kerja senyap Petrov untuk Satsus Intel terbongkar agen Soviet. Terungkapnya penyamaran sebagai agen ganda itu terjadi akibat kecerobohannya sendiri.

Untung saja, Petrov yang diburu agen Soviet masih berhasil diselamatkan ke Filipina, lalu dipindahkan ke Washington DC. CIA di Amerika kemudian memberi suaka Petrov di Virginia.

"Dengan nama sandi Houdini, ia (Petrov) terbukti menjadi salah satu agen pembelot GRU yang paling produktif pada waktu itu," ungkap Ken Conboy.

Menurut laporan Houdini, diketahui agen Soviet sengaja tidak memperlihatkan reaksi yang berlebihan dari momen pengkhianatan Petrov.

Sebaliknya, mereka tetap melakukan perekrutan anggota baru dan menjadi lebih agresif.

Menurut catatan Ken Conboy, dari sekian institusi yang menjadi sasaran, tidak ada yang lebih menarik selain angkatan bersenjata (militer). Sejumlah kegiatan rekrutmen intelijen Soviet pun terbongkar.

Pada 1971 misalnya, KGB berusaha merekrut ajudan Jenderal Nasution. Lalu, di tahun 1972, agen GRU mencoba mendekati seorang letnan angkatan darat.

Sebagaimana dijelaskan di atas, Satsus Intel rezim Soeharto memang suka menangani kegiatan agen Soviet dengan aksi yang berbeda-beda. Namun, sebagian besarnya dilakukan dengan tindakan kontraintelijen.

Salah satunya operasi dengan sandi Jaring terjadi pada 1974. Kemudian, ada operasi bersandi Belati Ganda tahun 1975 hingga operasi bersandi Ubur-ubur.

Namun, aksi kontraintelijen yang dilakukan sering diibaratkan sebagai rimba cermin. Bersama sejumlah pertimbangan, beberapa upaya kontraintelijen berakhir dengan pemeriksaan perkara tanpa ada pihak yang dihukum.

"Dengan tidak adanya bukti nyata yang muncul dari rimba raya cermin, kasusnya diam-diam ditutup dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban," kata Ken Conboy.

Demikian ulasan mengenai kisah panasnya perang intelijen Indonesia vs Uni Soviet di masa lampau.
(shf)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2025 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2017 seconds (0.1#10.140)