Asal Usul Pertentangan Kaum Adat dan Kaum Padri di Minangkabau
loading...
A
A
A
Pada akhir abad ke-18, seorang ulama dari kampung Kota Tua, atau daerah Cangking, Empat Angkat di Daratan Agam, yaitu Tuanku Kota Tua, mulai mengajarkan pembaruan-pembaruan. Beliau mengajarkan, bahwa masyarakat sudah terlalu jauh menyimpang dari ajaran Islam yang murni, kemudian ditunjukkannya bagaimana seharusnya hidup sesuai dengan Alquran dan Sunnah Nabi.
Suatu ketika penduduk Pandai Sikat menyabung ayam. Larangan ini tidak diperhatikan oleh penduduk. Tokoh agama menjadi kesal, hingga suatu malam dibakarnya balai tempat menyabung ayam. Kaum adat pun marah, Haji Miskin tokoh agama itu pun dikejar-kejar dan berhasil menyingkir ke Kota Lawas, di sini ia mendapat perlindungan dari Tuanku Mensiangan.
Tuanku Mensiangan segera dapat dipengaruhi oleh Haji Miskin, dan bertekad akan membantunya. Kaum Adat semakin marah, beberapa hari kemudian di dekat Balai Panjang, pasar Kota Lawas, terjadi perkelahian antara kaum Adat dengan beberapa orang yang menaruh simpati pada Haji Miskin. Akibatnya, Haji Miskin menuju Kamang dan bertemu dengan Tuanku nan Renceh. Akibatnya, paham baru ini segera meluas di Luhak Agam, di Empat Angkat, IV Kota, Candung, dan Kota Tua.
Tuanku nan Renceh mengajak Tuanku-Tuanku di Luhak Agam untuk membentuk persekutuan melawan kaum Adat. Delapan ulama itu adalah Tuanku nan Renceh, Tuanku Lubuk Aur, Tuanku Berapi, Tuanku Padang Lawas, Tuanku Padang Luar, Tuanku Galung, Tuanku Biaro, dan Tuanku Kapau. Mereka dijuluki "Harimau nan Salapan" karena tindakannya yang keras.
Sebelum melaksanakan tujuan, mereka bermusyawarah dengan guru yang mereka hormati, yaitu Tuanku Kota Tua. Tuanku Kota Tua menyetujui gerakan ini, tetapi ia menyarankan agar dilakukan secara damai. Menurutnya, pembaruan yang keras akan menimbulkan perlawanan keras pula.
Sikapnya yang lunak ini menyebabkan Tuanku Kota Tua tidak jadi terpilih sebagai pemimpin gerakan. Yang kemudian terpilih menjadi pimpinan gerakan akhirnya Tuanku mensiangan, yang juga seorang ulama terkenal dan disegani di daerah VI Kota.
Suatu ketika penduduk Pandai Sikat menyabung ayam. Larangan ini tidak diperhatikan oleh penduduk. Tokoh agama menjadi kesal, hingga suatu malam dibakarnya balai tempat menyabung ayam. Kaum adat pun marah, Haji Miskin tokoh agama itu pun dikejar-kejar dan berhasil menyingkir ke Kota Lawas, di sini ia mendapat perlindungan dari Tuanku Mensiangan.
Tuanku Mensiangan segera dapat dipengaruhi oleh Haji Miskin, dan bertekad akan membantunya. Kaum Adat semakin marah, beberapa hari kemudian di dekat Balai Panjang, pasar Kota Lawas, terjadi perkelahian antara kaum Adat dengan beberapa orang yang menaruh simpati pada Haji Miskin. Akibatnya, Haji Miskin menuju Kamang dan bertemu dengan Tuanku nan Renceh. Akibatnya, paham baru ini segera meluas di Luhak Agam, di Empat Angkat, IV Kota, Candung, dan Kota Tua.
Tuanku nan Renceh mengajak Tuanku-Tuanku di Luhak Agam untuk membentuk persekutuan melawan kaum Adat. Delapan ulama itu adalah Tuanku nan Renceh, Tuanku Lubuk Aur, Tuanku Berapi, Tuanku Padang Lawas, Tuanku Padang Luar, Tuanku Galung, Tuanku Biaro, dan Tuanku Kapau. Mereka dijuluki "Harimau nan Salapan" karena tindakannya yang keras.
Sebelum melaksanakan tujuan, mereka bermusyawarah dengan guru yang mereka hormati, yaitu Tuanku Kota Tua. Tuanku Kota Tua menyetujui gerakan ini, tetapi ia menyarankan agar dilakukan secara damai. Menurutnya, pembaruan yang keras akan menimbulkan perlawanan keras pula.
Sikapnya yang lunak ini menyebabkan Tuanku Kota Tua tidak jadi terpilih sebagai pemimpin gerakan. Yang kemudian terpilih menjadi pimpinan gerakan akhirnya Tuanku mensiangan, yang juga seorang ulama terkenal dan disegani di daerah VI Kota.
(abd)