Dihargai Rendah, Pembebasan Lahan Rel Kereta Api Masih Jadi Polemik
loading...
A
A
A
MAKASSAR - Pembebasan lahan rel kereta api di Kabupaten Maros masih menuai banyak polemik, karena warga merasa harga yang ditentukan oleh pemerintah sangat murah hingga mereka masih tetap bertahan.
Hal ini disampaikan Hapia (60), seorang warga di Desa Marumpa, Kecamatan Marusu, Kabupaten Maros , Sulawesi Selatan.
Dia menganggap apa yang dilakukan oleh pemerintah tidak manusiawi. Pasalnya, tanahnya hanya dihargai sebesar Rp94 ribu permeternya. Padahal sebelumnya pihak pemerintah menjanji membayar sebesar Rp5 juta per meternya.
Hapia dan anak-anaknya tinggal di lahan seluas 12 are dengan 4 rumah yang saling berdekatan.
"Kami hanya ditawari harga Rp900 juta oleh pihak pertanahan, itu sudah lahan 12 are dan 4 rumah, padahal waktu saya bangun ini rumah, modalnya Rp300 juta ujar Hapia, Senin, (31/8/2020).
Menurutnya, jika hanya dihargai sebesar itu, ia dan keluarganya tidak akan mampu membeli tanah untuk pindah.
"Kita mau beli tanah dimana dengan Rp900 juta, belum lagi bangun rumahnya, dan itu pun harus dibagi-bagi ke anak-anak saya yang ikut pindah, karena mereka juga sudah berkeluarga," jelasnya.
Padahal ia berencana ingin kembali tinggal bersama anak-anaknya jika rumah mereka terpaksa dijadikan lahan kereta api.
"Rencananya tetap mau tinggal serumpun begini, tapi kalau rumah kami cuma dihargai segitu, otomatis kami cari tanah yang murah, dan pasti kita pisah-pisah," katanya.
Hal ini disampaikan Hapia (60), seorang warga di Desa Marumpa, Kecamatan Marusu, Kabupaten Maros , Sulawesi Selatan.
Dia menganggap apa yang dilakukan oleh pemerintah tidak manusiawi. Pasalnya, tanahnya hanya dihargai sebesar Rp94 ribu permeternya. Padahal sebelumnya pihak pemerintah menjanji membayar sebesar Rp5 juta per meternya.
Hapia dan anak-anaknya tinggal di lahan seluas 12 are dengan 4 rumah yang saling berdekatan.
"Kami hanya ditawari harga Rp900 juta oleh pihak pertanahan, itu sudah lahan 12 are dan 4 rumah, padahal waktu saya bangun ini rumah, modalnya Rp300 juta ujar Hapia, Senin, (31/8/2020).
Menurutnya, jika hanya dihargai sebesar itu, ia dan keluarganya tidak akan mampu membeli tanah untuk pindah.
"Kita mau beli tanah dimana dengan Rp900 juta, belum lagi bangun rumahnya, dan itu pun harus dibagi-bagi ke anak-anak saya yang ikut pindah, karena mereka juga sudah berkeluarga," jelasnya.
Padahal ia berencana ingin kembali tinggal bersama anak-anaknya jika rumah mereka terpaksa dijadikan lahan kereta api.
"Rencananya tetap mau tinggal serumpun begini, tapi kalau rumah kami cuma dihargai segitu, otomatis kami cari tanah yang murah, dan pasti kita pisah-pisah," katanya.