Seminar Ketahanan Sosial Budaya, TNI AU Belajar Dinamisasi Budaya di DIY
loading...
A
A
A
“Dari Jogja kita bisa belajar melalui konsep "Mamayu Hayuning Bawono". Konsep yang mencerminkan upaya untuk menjaga dan memperbaiki kesejahtermn dunia, baik secara fisik maupun spiritual, melalui nilal-nilai sosial budaya yang luhur,” kata dia.
Sementara itu, Sri Sultan HB X menuturkan dalam menerapkan pola pembangunan di DIY dasarnya adalah kekuatan lokal yang sudah diletakkan di tahun 1755, Hamemayu Hayuning Bawono. Dan hingga kini konsep tersebut masih terus berlangsung.
“Dari dasar itu bagaimana kita bisa menyesuaikan tantangan jaman,” tutur Sultan.
Sultan menambahkan untuk menyikapi kemajuan itu sendiri, yang penting adalah bagaimana tradisi, moralitas, perilaku Bangsa Indonesia sebagai orang timur tidak kehilangan jati diri. Dan itu yang selama ini masalah bangsa ini.
Hanya saja meski harus menjaga tradisi, moralitas, perilaku sebagai orang timur namun juga tetap harus mengenal kemajuan mengenal, profesionalisme dan sebagainya. Oleh karenanya, dengan kebhinekaan itu tentunya provinsi yang lain juga punya filosofi tradisinya sendiri.
“Harapan saya mungkin digali ya mungkij bisa menjadi kekuatan baru di dalam berproses untuk kemajuan wilayahnya,” ujarnya.
Dia berpesan kepada pemerintah yang baru, jangan sampai karena Bangsa Indonesia yang tengah mencari identitas baru akhirnya juga tidak sesuai dengan dengan kondisi masyarakatnya. Karena sebelum republik ini ada, mungkin masyarakat juga sudah punya tradisi-tradisi sendiri.
Sultan menyarankan jika terjadi perubahan-perubahan paradigma maka perlu ada penafsiran kembali filosofi itu. misalnya Harmoni, di mana pengertian Harmoni itu bagi orang yang berbeda pandangan maka itu akan tersisihkan dari pergaulan masyarakat.
Tetapi tantangan zaman, Harmoni itu maka siapa saja dimungkinkan untuk berkompetisi dengan orang lain.
“Kan gitu. Yang penting sportif dengan kejujuran gitu, tanpa membedakan kan gitu jadi pengertian Harmoni kan bisa ditafsirkan dengan tantangan zaman tanpa mengubah hakikat,” tegasnya.
Sementara itu, Sri Sultan HB X menuturkan dalam menerapkan pola pembangunan di DIY dasarnya adalah kekuatan lokal yang sudah diletakkan di tahun 1755, Hamemayu Hayuning Bawono. Dan hingga kini konsep tersebut masih terus berlangsung.
“Dari dasar itu bagaimana kita bisa menyesuaikan tantangan jaman,” tutur Sultan.
Sultan menambahkan untuk menyikapi kemajuan itu sendiri, yang penting adalah bagaimana tradisi, moralitas, perilaku Bangsa Indonesia sebagai orang timur tidak kehilangan jati diri. Dan itu yang selama ini masalah bangsa ini.
Hanya saja meski harus menjaga tradisi, moralitas, perilaku sebagai orang timur namun juga tetap harus mengenal kemajuan mengenal, profesionalisme dan sebagainya. Oleh karenanya, dengan kebhinekaan itu tentunya provinsi yang lain juga punya filosofi tradisinya sendiri.
“Harapan saya mungkin digali ya mungkij bisa menjadi kekuatan baru di dalam berproses untuk kemajuan wilayahnya,” ujarnya.
Dia berpesan kepada pemerintah yang baru, jangan sampai karena Bangsa Indonesia yang tengah mencari identitas baru akhirnya juga tidak sesuai dengan dengan kondisi masyarakatnya. Karena sebelum republik ini ada, mungkin masyarakat juga sudah punya tradisi-tradisi sendiri.
Sultan menyarankan jika terjadi perubahan-perubahan paradigma maka perlu ada penafsiran kembali filosofi itu. misalnya Harmoni, di mana pengertian Harmoni itu bagi orang yang berbeda pandangan maka itu akan tersisihkan dari pergaulan masyarakat.
Tetapi tantangan zaman, Harmoni itu maka siapa saja dimungkinkan untuk berkompetisi dengan orang lain.
“Kan gitu. Yang penting sportif dengan kejujuran gitu, tanpa membedakan kan gitu jadi pengertian Harmoni kan bisa ditafsirkan dengan tantangan zaman tanpa mengubah hakikat,” tegasnya.