Seminar Ketahanan Sosial Budaya, TNI AU Belajar Dinamisasi Budaya di DIY
loading...
A
A
A
YOGYAKARTA - TNI AU menyebut bangsa ini perlu belajar konsep Hamemayu Hayuning Bawono yang telah diterapkan Raja Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat, Sri Sultan HB X untuk menyikapi perkembangan jaman dan perubahan teknologi begitu cepat belakangan ini.
Hal itu diungkapkan Asisten Potensi Dirgantara (Aspotdirga) Kasau, Marsda TNI Andi Wijaya dalam Seminar Nasional Dengan Tema "Ketahanan Sosial Budaya Sebagai Modal Dasar Menuju Indonesia Emas 2045" yang TNI AU selenggarakan di Yogyakarta, Minggu (29/9/2024).
Andi mengatakan pada Visi Indonesia Emas 2045 , Kementerian Ppn/Bappenas Sudah menyusun 8 (delapan) agenda indonesia emas 2045, salah satunya adalah memantapkan ketahanan sosial budaya dan ekologi.
Ketahanan sosial budaya diartikan sebagai kondisi dinamika berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional di dalam menghadapi dan mengatasi segala ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan terhadap bangsa Indonesia.
“Ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan bisa datang dari dalam maupun luar, yang langsung maupun tidak langsung membahayakan kelangsungan kehidupan sosial budaya bangsa dan negara RI yang berdasarkan Pancasila Dan UUD 1945,” ucapnya.
Mensikapi perkembangan lingkungan global yang demikian dinamis, tni angkatan udara sebagai salah satu komponen utama pertahanan negara, dituntut harus bisa bertransformasi , profesional dan senantiasa mampu menyesuaikan diri dengan kondisi dinamis tersebut.
Hal itu sejalan tekad TNI AU menjadi ampuh , (adaptif, modern, profesional, unggul dan humanis) dalam menjaga kedaulatan, keamanan kawasan NKRI. Menurutnya, DIY satu wilayah NKRI yang masih menjungjung tinggi nila-nilai sosial budaya nusantara dan kearifan lokal.
Pemerintah Provinsi DIV dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang diatur UU Nomor 13 Th 2012, dinilai menjadi pihak yang sangat relevan untuk membantu mewujudkan tercapainya ruang, alat dan kondisi juang yang tangguh berbasis budaya luhur.
“Dari Jogja kita bisa belajar melalui konsep "Mamayu Hayuning Bawono". Konsep yang mencerminkan upaya untuk menjaga dan memperbaiki kesejahtermn dunia, baik secara fisik maupun spiritual, melalui nilal-nilai sosial budaya yang luhur,” kata dia.
Sementara itu, Sri Sultan HB X menuturkan dalam menerapkan pola pembangunan di DIY dasarnya adalah kekuatan lokal yang sudah diletakkan di tahun 1755, Hamemayu Hayuning Bawono. Dan hingga kini konsep tersebut masih terus berlangsung.
“Dari dasar itu bagaimana kita bisa menyesuaikan tantangan jaman,” tutur Sultan.
Sultan menambahkan untuk menyikapi kemajuan itu sendiri, yang penting adalah bagaimana tradisi, moralitas, perilaku Bangsa Indonesia sebagai orang timur tidak kehilangan jati diri. Dan itu yang selama ini masalah bangsa ini.
Hanya saja meski harus menjaga tradisi, moralitas, perilaku sebagai orang timur namun juga tetap harus mengenal kemajuan mengenal, profesionalisme dan sebagainya. Oleh karenanya, dengan kebhinekaan itu tentunya provinsi yang lain juga punya filosofi tradisinya sendiri.
“Harapan saya mungkin digali ya mungkij bisa menjadi kekuatan baru di dalam berproses untuk kemajuan wilayahnya,” ujarnya.
Dia berpesan kepada pemerintah yang baru, jangan sampai karena Bangsa Indonesia yang tengah mencari identitas baru akhirnya juga tidak sesuai dengan dengan kondisi masyarakatnya. Karena sebelum republik ini ada, mungkin masyarakat juga sudah punya tradisi-tradisi sendiri.
Sultan menyarankan jika terjadi perubahan-perubahan paradigma maka perlu ada penafsiran kembali filosofi itu. misalnya Harmoni, di mana pengertian Harmoni itu bagi orang yang berbeda pandangan maka itu akan tersisihkan dari pergaulan masyarakat.
Tetapi tantangan zaman, Harmoni itu maka siapa saja dimungkinkan untuk berkompetisi dengan orang lain.
“Kan gitu. Yang penting sportif dengan kejujuran gitu, tanpa membedakan kan gitu jadi pengertian Harmoni kan bisa ditafsirkan dengan tantangan zaman tanpa mengubah hakikat,” tegasnya.
Hal itu diungkapkan Asisten Potensi Dirgantara (Aspotdirga) Kasau, Marsda TNI Andi Wijaya dalam Seminar Nasional Dengan Tema "Ketahanan Sosial Budaya Sebagai Modal Dasar Menuju Indonesia Emas 2045" yang TNI AU selenggarakan di Yogyakarta, Minggu (29/9/2024).
Andi mengatakan pada Visi Indonesia Emas 2045 , Kementerian Ppn/Bappenas Sudah menyusun 8 (delapan) agenda indonesia emas 2045, salah satunya adalah memantapkan ketahanan sosial budaya dan ekologi.
Ketahanan sosial budaya diartikan sebagai kondisi dinamika berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional di dalam menghadapi dan mengatasi segala ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan terhadap bangsa Indonesia.
“Ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan bisa datang dari dalam maupun luar, yang langsung maupun tidak langsung membahayakan kelangsungan kehidupan sosial budaya bangsa dan negara RI yang berdasarkan Pancasila Dan UUD 1945,” ucapnya.
Mensikapi perkembangan lingkungan global yang demikian dinamis, tni angkatan udara sebagai salah satu komponen utama pertahanan negara, dituntut harus bisa bertransformasi , profesional dan senantiasa mampu menyesuaikan diri dengan kondisi dinamis tersebut.
Hal itu sejalan tekad TNI AU menjadi ampuh , (adaptif, modern, profesional, unggul dan humanis) dalam menjaga kedaulatan, keamanan kawasan NKRI. Menurutnya, DIY satu wilayah NKRI yang masih menjungjung tinggi nila-nilai sosial budaya nusantara dan kearifan lokal.
Pemerintah Provinsi DIV dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang diatur UU Nomor 13 Th 2012, dinilai menjadi pihak yang sangat relevan untuk membantu mewujudkan tercapainya ruang, alat dan kondisi juang yang tangguh berbasis budaya luhur.
“Dari Jogja kita bisa belajar melalui konsep "Mamayu Hayuning Bawono". Konsep yang mencerminkan upaya untuk menjaga dan memperbaiki kesejahtermn dunia, baik secara fisik maupun spiritual, melalui nilal-nilai sosial budaya yang luhur,” kata dia.
Sementara itu, Sri Sultan HB X menuturkan dalam menerapkan pola pembangunan di DIY dasarnya adalah kekuatan lokal yang sudah diletakkan di tahun 1755, Hamemayu Hayuning Bawono. Dan hingga kini konsep tersebut masih terus berlangsung.
“Dari dasar itu bagaimana kita bisa menyesuaikan tantangan jaman,” tutur Sultan.
Sultan menambahkan untuk menyikapi kemajuan itu sendiri, yang penting adalah bagaimana tradisi, moralitas, perilaku Bangsa Indonesia sebagai orang timur tidak kehilangan jati diri. Dan itu yang selama ini masalah bangsa ini.
Hanya saja meski harus menjaga tradisi, moralitas, perilaku sebagai orang timur namun juga tetap harus mengenal kemajuan mengenal, profesionalisme dan sebagainya. Oleh karenanya, dengan kebhinekaan itu tentunya provinsi yang lain juga punya filosofi tradisinya sendiri.
“Harapan saya mungkin digali ya mungkij bisa menjadi kekuatan baru di dalam berproses untuk kemajuan wilayahnya,” ujarnya.
Dia berpesan kepada pemerintah yang baru, jangan sampai karena Bangsa Indonesia yang tengah mencari identitas baru akhirnya juga tidak sesuai dengan dengan kondisi masyarakatnya. Karena sebelum republik ini ada, mungkin masyarakat juga sudah punya tradisi-tradisi sendiri.
Sultan menyarankan jika terjadi perubahan-perubahan paradigma maka perlu ada penafsiran kembali filosofi itu. misalnya Harmoni, di mana pengertian Harmoni itu bagi orang yang berbeda pandangan maka itu akan tersisihkan dari pergaulan masyarakat.
Tetapi tantangan zaman, Harmoni itu maka siapa saja dimungkinkan untuk berkompetisi dengan orang lain.
“Kan gitu. Yang penting sportif dengan kejujuran gitu, tanpa membedakan kan gitu jadi pengertian Harmoni kan bisa ditafsirkan dengan tantangan zaman tanpa mengubah hakikat,” tegasnya.
(ams)