Kisah Cinta Siu Ban Ci, Selir Raja Majapahit Terakhir yang Mengubah Sejarah Jawa
loading...
A
A
A
Raden Patah diangkat Wali Songo menjadi Sultan Demak Bintoro pada tahun 1478, dengan nama dari Bahasa Arab "al-Fatah," yang berarti "Sang Pembuka." Pengangkatan Raden Patah sebagai Sultan Demak Bintoro bertepatan dengan jatuhnya Majapahit.
Darah Majapahit yang mengalir dalam diri Raden Patah mendidih saat mendengar kabar bahwa kerajaan ayahnya telah jatuh ke tangan Prabu Girindrawardhana. Hal ini diduga menjadi salah satu pemicu Raden Patah menyerang Majapahit.
Dalam beberapa catatan, Raden Patah menunda penyerangan kedua ke wilayah Majapahit yang dikuasai Prabu Girindrawardhana untuk melanjutkan pembangunan Masjid Kadipaten Demak bersama Wali Songo.
Penundaan serangan dan kelanjutan pembangunan masjid merupakan bentuk penyesalan Raden Patah atas banyaknya prajuritnya yang gugur dalam serangan pertama.
Masjid yang selesai dibangun pada tahun 1479 tersebut ditandai dengan gambar bulus yang memiliki makna sengkala memet. Sengkala memet bergambar bulus ini memiliki makna keprihatinan Raden Patah karena kerajaan ayahnya direbut oleh Girindrawardhana.
Dalam catatan Riboet Darmosoetopo yang termuat dalam buku "700 Tahun Majapahit, Suatu Bungai Rampai," disebutkan bahwa Majapahit runtuh akibat serangan Kerajaan Islam Demak pada tahun 1478.
Keberadaan Kerajaan Majapahit tidak benar-benar lenyap setelah serangan Demak. Sejumlah prasasti menyebutkan bahwa pada tahun 1486, Dyah Ranawijaya yang bergelar Girindrawardhana menjadi raja di Wilwatiktapura Janggala dan Kadiri.
Berita China dari Dinasti Ming juga menyebutkan adanya hubungan dengan Raja Jawa pada tahun 1499. Gubernur Portugis di Malaka, Rui de Brito, pada tahun 1514 menyebutkan ada dua raja "kafir," yaitu raja Sunda dan raja Jawa.
Penulis Italia Barbosa menyebutkan raja "kafir" di pedalaman Jawa pada tahun 1518.
Darah Majapahit yang mengalir dalam diri Raden Patah mendidih saat mendengar kabar bahwa kerajaan ayahnya telah jatuh ke tangan Prabu Girindrawardhana. Hal ini diduga menjadi salah satu pemicu Raden Patah menyerang Majapahit.
Dalam beberapa catatan, Raden Patah menunda penyerangan kedua ke wilayah Majapahit yang dikuasai Prabu Girindrawardhana untuk melanjutkan pembangunan Masjid Kadipaten Demak bersama Wali Songo.
Penundaan serangan dan kelanjutan pembangunan masjid merupakan bentuk penyesalan Raden Patah atas banyaknya prajuritnya yang gugur dalam serangan pertama.
Masjid yang selesai dibangun pada tahun 1479 tersebut ditandai dengan gambar bulus yang memiliki makna sengkala memet. Sengkala memet bergambar bulus ini memiliki makna keprihatinan Raden Patah karena kerajaan ayahnya direbut oleh Girindrawardhana.
Dalam catatan Riboet Darmosoetopo yang termuat dalam buku "700 Tahun Majapahit, Suatu Bungai Rampai," disebutkan bahwa Majapahit runtuh akibat serangan Kerajaan Islam Demak pada tahun 1478.
Keberadaan Kerajaan Majapahit tidak benar-benar lenyap setelah serangan Demak. Sejumlah prasasti menyebutkan bahwa pada tahun 1486, Dyah Ranawijaya yang bergelar Girindrawardhana menjadi raja di Wilwatiktapura Janggala dan Kadiri.
Berita China dari Dinasti Ming juga menyebutkan adanya hubungan dengan Raja Jawa pada tahun 1499. Gubernur Portugis di Malaka, Rui de Brito, pada tahun 1514 menyebutkan ada dua raja "kafir," yaitu raja Sunda dan raja Jawa.
Penulis Italia Barbosa menyebutkan raja "kafir" di pedalaman Jawa pada tahun 1518.