Papua Butuh Analisis Lanskap untuk Pembangunan Hijau dan Revitalisasi Kakao
loading...
A
A
A
Secara keseluruhan, jumlah perkebunan kakao hanya menempati hingga 1,03% (14.340 ha) area dari seluruh wilayah Kabupaten Jayapura, namun perkebunan kakao berperan penting dalam histori perubahan lanskap Jayapura. Untuk pengembangan agroforestri kakao selanjutnya di Kabupaten Jayapura, studi Orien Spasia mengkombinasikan analisis Area Go & No Go dengan data klasifikasi hutan Kementrian Hutan dan Lingkungan Hidup, rencana tata ruang Kabupaten Jayapura, dan data tutupan lahan berdasarkan analisis data Planet-NICFI Tropical Basemap, untuk menghasilkan rekomendasi desain lanskap agroforestri kakao berdasarkan prioritas Produksi, Proteksi, dan Inklusi (PPI).
Desain lanskap agroforestri kakao menurut prioritas Produksi, Proteksi, dan Inklusi merekomendasikan tiga jenis aktivitas di masing-masing area, yaitu konservasi (No Go Priority 1, 2, 3), restorasi (No Go Priority 1, 2, 3), dan produksi berkelanjutan (No Go Priority 2, 3, dan Go Area).
Program konservasi di area hutan yang masih utuh atau badan air bisa dilakukan secara alami, namun di area yang sudah terlanjur ditanami kakao bisa dilakukan agroforestri dengan spesies endemik sebagai tanaman dominan, seperti Merbau (Intsia bijuga), Sowang (Xanthostemon novoguineensis), Matoa (Pometia pinnata), Pinang (Area catechu), Durian (Durio zibethinus), dan Sagu (Metroxylon sago). Untuk program restorasi bisa dilakukan di kawasan hutan yang terdegradasi, area agroforestri kakao, dan lainnya dengan melakukan penanaman kombinasi antara Merbau, Sowang, Matoa, Durian, Sagu, Gamal (Gliricidia sepium) dan kakao (Theobroma cocoa).
Untuk produksi berkelanjutan di kawasan agroforestri kakao dan lainnya direkomendasikan pengkombinasian dengan tanaman endemik, yaitu Matoa, Durian, Sagu, Gamal, dan Pinang yang bisa disilangkan dengan vanili (Vanilla planifolia). Aktivitas produksi berkelanjutan yang dilakukan harus mengikuti sejumlah prinsip, yaitu tidak menebang atau membakar pohon, khususnya spesies pohon endemik, membuat area penyangga antara kebun dengan daerah hutan lindung, sumber air dan pemukiman, serta menanam spesies asli di area penyangga.
Baca Juga : Kerap Meneror Warga Sipil, Aparat TNI Melumpuhkan 3 Orang Gerombolan OPM
Kepala Bidang Ekonomi dan Penanaman Modal Bappeda Kabupaten Jayapura, Johan Manggo SP, menyatakan bahwa Analisis Area Go & No Go ini atau dokumen serupa lainnya dari mitra pembangunan bisa dimasukkan dalam dokumen perencanaan pemerintah, seperti RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) yang sekarang tengah direvisi, atau ke dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah).
Peluang pengembangan perkebunan kakao masih terbuka lebar karena masih tingginya permintaan pasar internasional dan domestik. Indonesia harus memanfaatkan peluang tersebut dengan meningkatkan daya saing produk melalui peningkatan kualitas dan inovasi produk kakao.
“Kabupaten Jayapura sebagai bagian dari Provinsi Papua, memiliki hutan primer yang begitu luas, namun rencana tata ruang Kabupaten mengindikasikan ancaman deforestasi masih cukup tinggi. Oleh karena itu, IDH dengan Orien mengadakan studi Go/No-Go, untuk melihat secara komprehensif, adanya kemungkinan inovasi model bisnis baru yang bebas deforestasi, dan sesuai hasil studi, di Kabupaten Jayapura bisa dilakukan agroforestri kakao yang menekankan 3 hal, yaitu revitalisasi kakao terutama di wilayah penyangga hutan, proteksi terhadap kawasan ulayat, dan inklusi masyarakat lokal”, ujar Ari Sutanti, Program Director Yayasan Inisiatif Dagang Hijau.
Desain lanskap agroforestri kakao menurut prioritas Produksi, Proteksi, dan Inklusi merekomendasikan tiga jenis aktivitas di masing-masing area, yaitu konservasi (No Go Priority 1, 2, 3), restorasi (No Go Priority 1, 2, 3), dan produksi berkelanjutan (No Go Priority 2, 3, dan Go Area).
Program konservasi di area hutan yang masih utuh atau badan air bisa dilakukan secara alami, namun di area yang sudah terlanjur ditanami kakao bisa dilakukan agroforestri dengan spesies endemik sebagai tanaman dominan, seperti Merbau (Intsia bijuga), Sowang (Xanthostemon novoguineensis), Matoa (Pometia pinnata), Pinang (Area catechu), Durian (Durio zibethinus), dan Sagu (Metroxylon sago). Untuk program restorasi bisa dilakukan di kawasan hutan yang terdegradasi, area agroforestri kakao, dan lainnya dengan melakukan penanaman kombinasi antara Merbau, Sowang, Matoa, Durian, Sagu, Gamal (Gliricidia sepium) dan kakao (Theobroma cocoa).
Untuk produksi berkelanjutan di kawasan agroforestri kakao dan lainnya direkomendasikan pengkombinasian dengan tanaman endemik, yaitu Matoa, Durian, Sagu, Gamal, dan Pinang yang bisa disilangkan dengan vanili (Vanilla planifolia). Aktivitas produksi berkelanjutan yang dilakukan harus mengikuti sejumlah prinsip, yaitu tidak menebang atau membakar pohon, khususnya spesies pohon endemik, membuat area penyangga antara kebun dengan daerah hutan lindung, sumber air dan pemukiman, serta menanam spesies asli di area penyangga.
Baca Juga : Kerap Meneror Warga Sipil, Aparat TNI Melumpuhkan 3 Orang Gerombolan OPM
Kepala Bidang Ekonomi dan Penanaman Modal Bappeda Kabupaten Jayapura, Johan Manggo SP, menyatakan bahwa Analisis Area Go & No Go ini atau dokumen serupa lainnya dari mitra pembangunan bisa dimasukkan dalam dokumen perencanaan pemerintah, seperti RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) yang sekarang tengah direvisi, atau ke dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah).
Peluang pengembangan perkebunan kakao masih terbuka lebar karena masih tingginya permintaan pasar internasional dan domestik. Indonesia harus memanfaatkan peluang tersebut dengan meningkatkan daya saing produk melalui peningkatan kualitas dan inovasi produk kakao.
“Kabupaten Jayapura sebagai bagian dari Provinsi Papua, memiliki hutan primer yang begitu luas, namun rencana tata ruang Kabupaten mengindikasikan ancaman deforestasi masih cukup tinggi. Oleh karena itu, IDH dengan Orien mengadakan studi Go/No-Go, untuk melihat secara komprehensif, adanya kemungkinan inovasi model bisnis baru yang bebas deforestasi, dan sesuai hasil studi, di Kabupaten Jayapura bisa dilakukan agroforestri kakao yang menekankan 3 hal, yaitu revitalisasi kakao terutama di wilayah penyangga hutan, proteksi terhadap kawasan ulayat, dan inklusi masyarakat lokal”, ujar Ari Sutanti, Program Director Yayasan Inisiatif Dagang Hijau.
(wur)