Papua Butuh Analisis Lanskap untuk Pembangunan Hijau dan Revitalisasi Kakao
loading...
A
A
A
PAPUA - Provinsi Papua adalah salah satu wilayah di Indonesia yang mempunyai hutan utuh besar terakhir di Indonesia. Agar ekosistem terjaga dengan baik, butuh analisis lanskap berbasis tata ruang untuk pembangungan dan revitalisasi kakao .
Pemerintah Kabupaten Jayapura, didukung oleh Yayasan Inisiatif Dagang Hijau dan lembaga konsultan Orien Spasia Ecoscape, menyelenggarakan kegiatan Diseminasi dan Lokakarya “Manajemen Lanskap Berbasis Tata Ruang untuk Pembangunan dan Revitalisasi Kakao di Kabupaten Jayapura” pada tanggal 11 Juli 2024 di Sentani, Jayapura.
Kegiatan ini didasarkan pada hasil studi Orien Spasia mengenai analisis lanskap untuk melihat kelayakan implementasi agroforestri kakao di dataran rendah utara Papua. Studi ini bertujuan mendukung Pemerintah Kabupaten Jayapura dalam menerapkan tata kelola wilayah berkelanjutan berdasarkan analisis ilmiah mengenai kondisi lanskap.
Analisis dilakukan terhadap keseluruhan wilayah Provinsi Papua seluas 7.774.625 hektar, yang merupakan kawasan hutan utuh besar terakhir di Indonesia dan kawasan hutan tropis ketiga terluas di dunia. Secara khusus, analisis juga dilakukan untuk menilai karakteristik sistem perkebunan agroforestri kakao di Kabupaten Jayapura.
Baca Juga : Viral! Pesta Perceraian Meriah di Pringsewu Lampung, Habiskan Puluhan Juta Rupiah
Agroforestri kakao telah diidentifikasi sebagai solusi alternatif untuk memperkuat pengelolaan lanskap dari ancaman deforestasi dan degradasi lahan, sekaligus sebagai sumber penghasilan dan modal, dengan mempertimbangkan susunan lanskap dan kondisi sosial ekonomi di Papua.
Pemerintah Kabupaten Jayapura terus mengupayakan kakao menjadi komoditas unggulan dari wilayah, baik di tingkat nasional maupun internasional. "Dukungan dan pendampingan oleh pemerintah, mitra pembangunan, maupun sektor swasta masih sangat dibutuhkan masyarakat untuk memberikan pelatihan, edukasi pengetahuan dan informasi yang benar mengenai cara pengelolaan kakao, yang diharapkan bisa memotivasi masyarakat menyediakan lahan untuk kakao sehingga kakao bisa menjadi ikon Kabupaten Jayapura”, ungkap Dra. Delila Giay, M.Si, Asisten 2 Perekonomian Pembangunan Kabupaten Jayapura, dalam pidato sambutan ketika membuka kegiatan diseminasi.
Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 18 jenis tutupan lahan yang ditemukan untuk keseluruhan wilayah, Provinsi Papua didominasi oleh hutan primer seluas 5.892.778 hektar dan hutan sekunder seluas 1.341.898 hektar. Namun, jumlah ini terus berkurang setiap tahunnya, khususnya jika dibandingkan dengan jumlah lahan perkebunan dan permukiman yang masing-masing meningkat sebanyak lebih dari 20.000 hektar selama periode 2003-2022.
Analisis “Area Go & No Go” (Diperbolehkan & Tidak Diperbolehkan) dalam studi menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah Provinsi Papua maupun Kabupaten Jayapura terdiri dari wilayah dengan tutupan hutan alami dan Nilai Konservasi Tinggi/Stok Karbon Tinggi (NKT/SKT).
Ketika dibandingkan dengan peta distribusi agroforestri kakao di Kabupaten Jayapura, sebanyak 2.686 ha agroforestri kakao terletak di area No Go Priority 1, 2.050 ha terdapat di area No Go Priority 2, 5.302 ha terdapat di area No Go Priority 3, dan sebanyak 4.300 ha terdapat di area Go.
Secara keseluruhan, jumlah perkebunan kakao hanya menempati hingga 1,03% (14.340 ha) area dari seluruh wilayah Kabupaten Jayapura, namun perkebunan kakao berperan penting dalam histori perubahan lanskap Jayapura. Untuk pengembangan agroforestri kakao selanjutnya di Kabupaten Jayapura, studi Orien Spasia mengkombinasikan analisis Area Go & No Go dengan data klasifikasi hutan Kementrian Hutan dan Lingkungan Hidup, rencana tata ruang Kabupaten Jayapura, dan data tutupan lahan berdasarkan analisis data Planet-NICFI Tropical Basemap, untuk menghasilkan rekomendasi desain lanskap agroforestri kakao berdasarkan prioritas Produksi, Proteksi, dan Inklusi (PPI).
Desain lanskap agroforestri kakao menurut prioritas Produksi, Proteksi, dan Inklusi merekomendasikan tiga jenis aktivitas di masing-masing area, yaitu konservasi (No Go Priority 1, 2, 3), restorasi (No Go Priority 1, 2, 3), dan produksi berkelanjutan (No Go Priority 2, 3, dan Go Area).
Program konservasi di area hutan yang masih utuh atau badan air bisa dilakukan secara alami, namun di area yang sudah terlanjur ditanami kakao bisa dilakukan agroforestri dengan spesies endemik sebagai tanaman dominan, seperti Merbau (Intsia bijuga), Sowang (Xanthostemon novoguineensis), Matoa (Pometia pinnata), Pinang (Area catechu), Durian (Durio zibethinus), dan Sagu (Metroxylon sago). Untuk program restorasi bisa dilakukan di kawasan hutan yang terdegradasi, area agroforestri kakao, dan lainnya dengan melakukan penanaman kombinasi antara Merbau, Sowang, Matoa, Durian, Sagu, Gamal (Gliricidia sepium) dan kakao (Theobroma cocoa).
Untuk produksi berkelanjutan di kawasan agroforestri kakao dan lainnya direkomendasikan pengkombinasian dengan tanaman endemik, yaitu Matoa, Durian, Sagu, Gamal, dan Pinang yang bisa disilangkan dengan vanili (Vanilla planifolia). Aktivitas produksi berkelanjutan yang dilakukan harus mengikuti sejumlah prinsip, yaitu tidak menebang atau membakar pohon, khususnya spesies pohon endemik, membuat area penyangga antara kebun dengan daerah hutan lindung, sumber air dan pemukiman, serta menanam spesies asli di area penyangga.
Baca Juga : Kerap Meneror Warga Sipil, Aparat TNI Melumpuhkan 3 Orang Gerombolan OPM
Kepala Bidang Ekonomi dan Penanaman Modal Bappeda Kabupaten Jayapura, Johan Manggo SP, menyatakan bahwa Analisis Area Go & No Go ini atau dokumen serupa lainnya dari mitra pembangunan bisa dimasukkan dalam dokumen perencanaan pemerintah, seperti RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) yang sekarang tengah direvisi, atau ke dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah).
Peluang pengembangan perkebunan kakao masih terbuka lebar karena masih tingginya permintaan pasar internasional dan domestik. Indonesia harus memanfaatkan peluang tersebut dengan meningkatkan daya saing produk melalui peningkatan kualitas dan inovasi produk kakao.
“Kabupaten Jayapura sebagai bagian dari Provinsi Papua, memiliki hutan primer yang begitu luas, namun rencana tata ruang Kabupaten mengindikasikan ancaman deforestasi masih cukup tinggi. Oleh karena itu, IDH dengan Orien mengadakan studi Go/No-Go, untuk melihat secara komprehensif, adanya kemungkinan inovasi model bisnis baru yang bebas deforestasi, dan sesuai hasil studi, di Kabupaten Jayapura bisa dilakukan agroforestri kakao yang menekankan 3 hal, yaitu revitalisasi kakao terutama di wilayah penyangga hutan, proteksi terhadap kawasan ulayat, dan inklusi masyarakat lokal”, ujar Ari Sutanti, Program Director Yayasan Inisiatif Dagang Hijau.
Pemerintah Kabupaten Jayapura, didukung oleh Yayasan Inisiatif Dagang Hijau dan lembaga konsultan Orien Spasia Ecoscape, menyelenggarakan kegiatan Diseminasi dan Lokakarya “Manajemen Lanskap Berbasis Tata Ruang untuk Pembangunan dan Revitalisasi Kakao di Kabupaten Jayapura” pada tanggal 11 Juli 2024 di Sentani, Jayapura.
Kegiatan ini didasarkan pada hasil studi Orien Spasia mengenai analisis lanskap untuk melihat kelayakan implementasi agroforestri kakao di dataran rendah utara Papua. Studi ini bertujuan mendukung Pemerintah Kabupaten Jayapura dalam menerapkan tata kelola wilayah berkelanjutan berdasarkan analisis ilmiah mengenai kondisi lanskap.
Analisis dilakukan terhadap keseluruhan wilayah Provinsi Papua seluas 7.774.625 hektar, yang merupakan kawasan hutan utuh besar terakhir di Indonesia dan kawasan hutan tropis ketiga terluas di dunia. Secara khusus, analisis juga dilakukan untuk menilai karakteristik sistem perkebunan agroforestri kakao di Kabupaten Jayapura.
Baca Juga : Viral! Pesta Perceraian Meriah di Pringsewu Lampung, Habiskan Puluhan Juta Rupiah
Agroforestri kakao telah diidentifikasi sebagai solusi alternatif untuk memperkuat pengelolaan lanskap dari ancaman deforestasi dan degradasi lahan, sekaligus sebagai sumber penghasilan dan modal, dengan mempertimbangkan susunan lanskap dan kondisi sosial ekonomi di Papua.
Pemerintah Kabupaten Jayapura terus mengupayakan kakao menjadi komoditas unggulan dari wilayah, baik di tingkat nasional maupun internasional. "Dukungan dan pendampingan oleh pemerintah, mitra pembangunan, maupun sektor swasta masih sangat dibutuhkan masyarakat untuk memberikan pelatihan, edukasi pengetahuan dan informasi yang benar mengenai cara pengelolaan kakao, yang diharapkan bisa memotivasi masyarakat menyediakan lahan untuk kakao sehingga kakao bisa menjadi ikon Kabupaten Jayapura”, ungkap Dra. Delila Giay, M.Si, Asisten 2 Perekonomian Pembangunan Kabupaten Jayapura, dalam pidato sambutan ketika membuka kegiatan diseminasi.
Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 18 jenis tutupan lahan yang ditemukan untuk keseluruhan wilayah, Provinsi Papua didominasi oleh hutan primer seluas 5.892.778 hektar dan hutan sekunder seluas 1.341.898 hektar. Namun, jumlah ini terus berkurang setiap tahunnya, khususnya jika dibandingkan dengan jumlah lahan perkebunan dan permukiman yang masing-masing meningkat sebanyak lebih dari 20.000 hektar selama periode 2003-2022.
Analisis “Area Go & No Go” (Diperbolehkan & Tidak Diperbolehkan) dalam studi menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah Provinsi Papua maupun Kabupaten Jayapura terdiri dari wilayah dengan tutupan hutan alami dan Nilai Konservasi Tinggi/Stok Karbon Tinggi (NKT/SKT).
Ketika dibandingkan dengan peta distribusi agroforestri kakao di Kabupaten Jayapura, sebanyak 2.686 ha agroforestri kakao terletak di area No Go Priority 1, 2.050 ha terdapat di area No Go Priority 2, 5.302 ha terdapat di area No Go Priority 3, dan sebanyak 4.300 ha terdapat di area Go.
Secara keseluruhan, jumlah perkebunan kakao hanya menempati hingga 1,03% (14.340 ha) area dari seluruh wilayah Kabupaten Jayapura, namun perkebunan kakao berperan penting dalam histori perubahan lanskap Jayapura. Untuk pengembangan agroforestri kakao selanjutnya di Kabupaten Jayapura, studi Orien Spasia mengkombinasikan analisis Area Go & No Go dengan data klasifikasi hutan Kementrian Hutan dan Lingkungan Hidup, rencana tata ruang Kabupaten Jayapura, dan data tutupan lahan berdasarkan analisis data Planet-NICFI Tropical Basemap, untuk menghasilkan rekomendasi desain lanskap agroforestri kakao berdasarkan prioritas Produksi, Proteksi, dan Inklusi (PPI).
Desain lanskap agroforestri kakao menurut prioritas Produksi, Proteksi, dan Inklusi merekomendasikan tiga jenis aktivitas di masing-masing area, yaitu konservasi (No Go Priority 1, 2, 3), restorasi (No Go Priority 1, 2, 3), dan produksi berkelanjutan (No Go Priority 2, 3, dan Go Area).
Program konservasi di area hutan yang masih utuh atau badan air bisa dilakukan secara alami, namun di area yang sudah terlanjur ditanami kakao bisa dilakukan agroforestri dengan spesies endemik sebagai tanaman dominan, seperti Merbau (Intsia bijuga), Sowang (Xanthostemon novoguineensis), Matoa (Pometia pinnata), Pinang (Area catechu), Durian (Durio zibethinus), dan Sagu (Metroxylon sago). Untuk program restorasi bisa dilakukan di kawasan hutan yang terdegradasi, area agroforestri kakao, dan lainnya dengan melakukan penanaman kombinasi antara Merbau, Sowang, Matoa, Durian, Sagu, Gamal (Gliricidia sepium) dan kakao (Theobroma cocoa).
Untuk produksi berkelanjutan di kawasan agroforestri kakao dan lainnya direkomendasikan pengkombinasian dengan tanaman endemik, yaitu Matoa, Durian, Sagu, Gamal, dan Pinang yang bisa disilangkan dengan vanili (Vanilla planifolia). Aktivitas produksi berkelanjutan yang dilakukan harus mengikuti sejumlah prinsip, yaitu tidak menebang atau membakar pohon, khususnya spesies pohon endemik, membuat area penyangga antara kebun dengan daerah hutan lindung, sumber air dan pemukiman, serta menanam spesies asli di area penyangga.
Baca Juga : Kerap Meneror Warga Sipil, Aparat TNI Melumpuhkan 3 Orang Gerombolan OPM
Kepala Bidang Ekonomi dan Penanaman Modal Bappeda Kabupaten Jayapura, Johan Manggo SP, menyatakan bahwa Analisis Area Go & No Go ini atau dokumen serupa lainnya dari mitra pembangunan bisa dimasukkan dalam dokumen perencanaan pemerintah, seperti RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) yang sekarang tengah direvisi, atau ke dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah).
Peluang pengembangan perkebunan kakao masih terbuka lebar karena masih tingginya permintaan pasar internasional dan domestik. Indonesia harus memanfaatkan peluang tersebut dengan meningkatkan daya saing produk melalui peningkatan kualitas dan inovasi produk kakao.
“Kabupaten Jayapura sebagai bagian dari Provinsi Papua, memiliki hutan primer yang begitu luas, namun rencana tata ruang Kabupaten mengindikasikan ancaman deforestasi masih cukup tinggi. Oleh karena itu, IDH dengan Orien mengadakan studi Go/No-Go, untuk melihat secara komprehensif, adanya kemungkinan inovasi model bisnis baru yang bebas deforestasi, dan sesuai hasil studi, di Kabupaten Jayapura bisa dilakukan agroforestri kakao yang menekankan 3 hal, yaitu revitalisasi kakao terutama di wilayah penyangga hutan, proteksi terhadap kawasan ulayat, dan inklusi masyarakat lokal”, ujar Ari Sutanti, Program Director Yayasan Inisiatif Dagang Hijau.
(wur)