Kisah Eyang Djugo, Guru Spritual Pangeran Diponegoro Tabib Sakti Pengendali Wabah Kolera
loading...
A
A
A
“Tidak lama wabah penyakit kolera yang meliputi seluruh daerah Blitar, Tulungagung, Kediri, Wlingi, Kepanjen, Malang dan desa-desa sepanjang pesisir laut selatan, telah terbasmi musnah. Rakyat telah negeri telah tentram kembali hidupnya,” tulis Im Yang Tju.
Popularitas namaMbah Djugo sebagai tabib sakti sekaligus orang pintar yang gemar menolong sampai ke telinga Bupati Blitar Kanjeng Pangeran Warsokusumo. Di Desa Djugo. Sebagai terima kasih dan hormatnya kepada Mbah Djugo, Bupati Blitar memberi hadiah sebidang tanah.
Di atas tanah bebas pajak tersebut didirikan sebuah rumah yang dalam perjalanannya menjadi padepokan. Sejak itu Mbah Djugo dikenal dengan panggilan Ki Ageng Djugo atau Panembahan Djugo berhenti berkelana.
Ia menetap di Desa Djugo. Mulai dari rakyat jelata hingga priyayi pejabat yang datang untuk mencari kesembuhan penyakit, mengalir tak putus-putus. Konon, kehadiran Mbah Djugo, Gunung Kelud yang rutin meletus dan menimbulkan banyak korban jiwa, juga berhenti erupsi.
Hingga pada tahun 1901. Gunung Kelud tiba-tiba kembali meletus, dan terulang lagi pada tahun 1919. Ribuan penduduk Blitar banyak yang menjadi korban. Peristiwa alam tersebut terjadi setelah Mbah Djugo hijrah ke Gunung Kawi.
Tepatnya tahun 1876. PadepokanMbah Djugo di Desa Djugo, Kecamatan Kesamben ditinggalkan. Dengan berbekal kayu dari hutan Brongkos, Kecamatan Kesamben, Mbah Djugo mendirikan padepokan di lereng Gunung Kawi.
Di bawah gunung setinggi 2.860 meter. Lokasi padepokan bertempat di Dusun Wonosari, Desa Ngajum, Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang. Di sekelilingnya banyak tumbuh rindang pohon cendana, nagasari, dewandaru, margoutomo, kepel, blimbing, kukusan, jambu dan cerme.
Mbah Djugo ditemani Mbah Iman Sudjono putra angkatnya yang konon berasal dari trah priyayi Mataram. Gunung Kawi yang berlokasi jauh dan sepi, sontak berubah ramai. Mereka yang ingin bertemu Mbah Djugo datang dari mana-mana.
Tidak hanya warga Jawa Timur. Yang datang dari luar Jawa, juga tidak sedikit. Bahkan banyak diantaranya etnis Tionghoa. Tidak hanya mencari obat kesembuhan atas penyakit yang diderita. Berbagai persoalan hidup juga disampaikan kepada Mbah Djugo untuk dimintakan jalan keluar.
Sebagai wujud rasa syukur. Mereka yang harapannya terkabul, seringkali membuat tumpeng untuk dimakan bersama. Dalam perjalanannya ungkapan rasa syukur tersebut menjadi tradisi mereka yang datang ke Gunung Kawi.
Popularitas namaMbah Djugo sebagai tabib sakti sekaligus orang pintar yang gemar menolong sampai ke telinga Bupati Blitar Kanjeng Pangeran Warsokusumo. Di Desa Djugo. Sebagai terima kasih dan hormatnya kepada Mbah Djugo, Bupati Blitar memberi hadiah sebidang tanah.
Di atas tanah bebas pajak tersebut didirikan sebuah rumah yang dalam perjalanannya menjadi padepokan. Sejak itu Mbah Djugo dikenal dengan panggilan Ki Ageng Djugo atau Panembahan Djugo berhenti berkelana.
Ia menetap di Desa Djugo. Mulai dari rakyat jelata hingga priyayi pejabat yang datang untuk mencari kesembuhan penyakit, mengalir tak putus-putus. Konon, kehadiran Mbah Djugo, Gunung Kelud yang rutin meletus dan menimbulkan banyak korban jiwa, juga berhenti erupsi.
Hingga pada tahun 1901. Gunung Kelud tiba-tiba kembali meletus, dan terulang lagi pada tahun 1919. Ribuan penduduk Blitar banyak yang menjadi korban. Peristiwa alam tersebut terjadi setelah Mbah Djugo hijrah ke Gunung Kawi.
Tepatnya tahun 1876. PadepokanMbah Djugo di Desa Djugo, Kecamatan Kesamben ditinggalkan. Dengan berbekal kayu dari hutan Brongkos, Kecamatan Kesamben, Mbah Djugo mendirikan padepokan di lereng Gunung Kawi.
Di bawah gunung setinggi 2.860 meter. Lokasi padepokan bertempat di Dusun Wonosari, Desa Ngajum, Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang. Di sekelilingnya banyak tumbuh rindang pohon cendana, nagasari, dewandaru, margoutomo, kepel, blimbing, kukusan, jambu dan cerme.
Mbah Djugo ditemani Mbah Iman Sudjono putra angkatnya yang konon berasal dari trah priyayi Mataram. Gunung Kawi yang berlokasi jauh dan sepi, sontak berubah ramai. Mereka yang ingin bertemu Mbah Djugo datang dari mana-mana.
Tidak hanya warga Jawa Timur. Yang datang dari luar Jawa, juga tidak sedikit. Bahkan banyak diantaranya etnis Tionghoa. Tidak hanya mencari obat kesembuhan atas penyakit yang diderita. Berbagai persoalan hidup juga disampaikan kepada Mbah Djugo untuk dimintakan jalan keluar.
Sebagai wujud rasa syukur. Mereka yang harapannya terkabul, seringkali membuat tumpeng untuk dimakan bersama. Dalam perjalanannya ungkapan rasa syukur tersebut menjadi tradisi mereka yang datang ke Gunung Kawi.