Kisah Hamengkubuwono II, Raja Jawa yang Dimakzulkan dan Istananya Dijarah Tentara Eropa
loading...
A
A
A
Sri Sultan Hamengkubuwono II yang bertakhta mulai tahun 1792 merupakan salah satu raja Jawa yang kekuasaannya berakhir mengenaskan.
Hamengkubuwono II dipaksa turun tahta setelah 1.200 tentara Eropa dan Sipahi India serta 800 prajurit Legiun Mangkunegara, menyerbu istananya.
Peristiwa pemakzulan Hamengkubuwono II berlangsung pada bulan Juni 1812, yakni pada masa kolonial Inggris yang dipimpin Letnan Gubernur Jawa Thomas Stamford Raffles (1811-1816)
“Hamengkubowono II dimakzulkan dan dibuang ke Penang,” demikian dikutip dari buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008).
Hamengkubuwono II merupakan putra kelima Sultan Hamengkubuwono I yang menikah dengan permaisuri Gusti Kangjeng Ratu Hageng atau GKR Kadipaten.
Lahir 7 Maret 1750 di kawasan Gunung Sindoro, Hamengkubuwono II memiliki nama kecil Gusti Raden Mas Sundara.
Pada usia 24 tahun Raden Mas Sundara telah menulis kitab Suryaraja yang isinya tentang ramalan tidak terjadinya mitos akhir abad, yakni salah satu kerajaan akan runtuh.
Surakarta dan Yogyakarta akan bersatu di bawah pemerintahannya. Kolonial Inggris kurang menyukai Hamengkubuwono II. Saat bertahta, sikap Hamengkubuwono II dinilai tidak bisa diharapkan kerjasamanya.
Sebagai pejabat baru, Residen Yogyakarta John Crawfurd (1811-1814) menilai Hamengkubuwono II tidak bisa dibiarkan. Bahkan saat melakukan kunjungan ke istana Yogyakarta pada Desember 1811, Raffles merasakan sendiri sikap permusuhan Hamengkubuwono II.
“Yang dalam satu kejadian hampir saja menimbulkan perkelahian bersenjata di dalam sebuah ruangan yang penuh orang”.
Penyerbuan kolonial Inggris dengan pasukan Eropanya membuat Hamengkubuwono II tidak berdaya. Tidak hanya menurunkan paksa, pasukan Eropa juga menjarah istana Yogyakarta.
“Istana Yogyakarta dirampok, perpustakaan dan arsipnya dirampas, sejumlah besar uang diambil”.
Untuk mengisi kekosongan tahta kerajaan Mataram, Kolonial Inggris mengangkat GRM Suraja, yakni putra mahkota Yogyakarta, sebagai Sultan Hamengkubuwono III.
Natakusuma yang dianggap berjasa dalam serangan itu dihadiahi oleh Inggris sebuah daerah merdeka yang didiami 4.000 rumah tangga. Natakusuma juga dianugerahi gelar Pakualam I (1813-1829) disertai pembentukan Korps Pakualaman yang terdiri atas 100 prajurit kavaleri.
Pakualam di Yogyakarta merupakan cerminan dari Mangkunegaran di Surakarta. “Lengkaplah sudah pembagian Kerajaan Mataram ke dalam dua kerajaan senior dan dua junior”.
Peristiwa penyerbuan istana Yogyakarta oleh orang asing (Eropa) dan sekaligus dimakzulkannya raja merupakan peristiwa pertama kalinya dalam sejarah Jawa. Peristiwa itu membuat kalangan bangsawan Yogyakarta merasa dihina.
Para bangsawan tidak ragu lagi untuk meyakini bahwa zaman baru telah menyingsing di Jawa. Hamengkubuwono II kembali bertahta pada 18 Agustus 1826 dengan bantuan Belanda, yakni menyingkirkan Hamengkubuwono V.
Hamengkubuwono II yang juga dikenal dengan panggilan Sultan Sepuh mangkat pada 3 Januari 1828 setelah menderita penyakit radang tenggorokan dan faktor usia tua.
Hamengkubuwono II dipaksa turun tahta setelah 1.200 tentara Eropa dan Sipahi India serta 800 prajurit Legiun Mangkunegara, menyerbu istananya.
Peristiwa pemakzulan Hamengkubuwono II berlangsung pada bulan Juni 1812, yakni pada masa kolonial Inggris yang dipimpin Letnan Gubernur Jawa Thomas Stamford Raffles (1811-1816)
“Hamengkubowono II dimakzulkan dan dibuang ke Penang,” demikian dikutip dari buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008).
Hamengkubuwono II merupakan putra kelima Sultan Hamengkubuwono I yang menikah dengan permaisuri Gusti Kangjeng Ratu Hageng atau GKR Kadipaten.
Lahir 7 Maret 1750 di kawasan Gunung Sindoro, Hamengkubuwono II memiliki nama kecil Gusti Raden Mas Sundara.
Pada usia 24 tahun Raden Mas Sundara telah menulis kitab Suryaraja yang isinya tentang ramalan tidak terjadinya mitos akhir abad, yakni salah satu kerajaan akan runtuh.
Surakarta dan Yogyakarta akan bersatu di bawah pemerintahannya. Kolonial Inggris kurang menyukai Hamengkubuwono II. Saat bertahta, sikap Hamengkubuwono II dinilai tidak bisa diharapkan kerjasamanya.
Sebagai pejabat baru, Residen Yogyakarta John Crawfurd (1811-1814) menilai Hamengkubuwono II tidak bisa dibiarkan. Bahkan saat melakukan kunjungan ke istana Yogyakarta pada Desember 1811, Raffles merasakan sendiri sikap permusuhan Hamengkubuwono II.
“Yang dalam satu kejadian hampir saja menimbulkan perkelahian bersenjata di dalam sebuah ruangan yang penuh orang”.
Penyerbuan kolonial Inggris dengan pasukan Eropanya membuat Hamengkubuwono II tidak berdaya. Tidak hanya menurunkan paksa, pasukan Eropa juga menjarah istana Yogyakarta.
“Istana Yogyakarta dirampok, perpustakaan dan arsipnya dirampas, sejumlah besar uang diambil”.
Untuk mengisi kekosongan tahta kerajaan Mataram, Kolonial Inggris mengangkat GRM Suraja, yakni putra mahkota Yogyakarta, sebagai Sultan Hamengkubuwono III.
Natakusuma yang dianggap berjasa dalam serangan itu dihadiahi oleh Inggris sebuah daerah merdeka yang didiami 4.000 rumah tangga. Natakusuma juga dianugerahi gelar Pakualam I (1813-1829) disertai pembentukan Korps Pakualaman yang terdiri atas 100 prajurit kavaleri.
Pakualam di Yogyakarta merupakan cerminan dari Mangkunegaran di Surakarta. “Lengkaplah sudah pembagian Kerajaan Mataram ke dalam dua kerajaan senior dan dua junior”.
Peristiwa penyerbuan istana Yogyakarta oleh orang asing (Eropa) dan sekaligus dimakzulkannya raja merupakan peristiwa pertama kalinya dalam sejarah Jawa. Peristiwa itu membuat kalangan bangsawan Yogyakarta merasa dihina.
Para bangsawan tidak ragu lagi untuk meyakini bahwa zaman baru telah menyingsing di Jawa. Hamengkubuwono II kembali bertahta pada 18 Agustus 1826 dengan bantuan Belanda, yakni menyingkirkan Hamengkubuwono V.
Hamengkubuwono II yang juga dikenal dengan panggilan Sultan Sepuh mangkat pada 3 Januari 1828 setelah menderita penyakit radang tenggorokan dan faktor usia tua.
(hri)