Kisah Rakai Pikatan, Raja Mataram Kuno yang Pindahkan Ibu Kota di Medang ke Mamrati
loading...
A
A
A
Pemindahan ibu kota Kerajaan Mataram kuno mewarnai semasa pemerintahan Rakai Pikatan . Kala itu memang Kerajaan Mataram berkembang menjadi salah satu kerajaan besar dan tertua yang ada di Pulau Jawa.
Kerajaan ini menjadi salah satu kerajaan tertua di Pulau Jawa yang berdiri di sekitar abad 7 dengan pusat pemerintahan di Jawa Tengah.
Sosok Raja Sanjaya merupakan pendiri kerajaan yang dipercaya kemudian menghasilkan raja-raja turunan Dinasti Sanjaya. Sosok Sanjaya ini juga yang pernah berkuasa di Kerajaan Galuh di Jawa bagian barat, sehingga ada hubungan antara Galuh dan Mataram kuno.
Sanjaya awalnya membuka kerajaan dengan ibu kota istana berada di Medang, Jawa Tengah. Hal inilah yang menyebabkan nama Kerajaan Mataram Kuno juga terkenal dengan Kerajaan Medang, karena dari nama ibu kota yang ditempati saat itu.
Namun pasca pemerintahan Raja Sanjaya, ibu kota Mataram Kuno dipindahkan oleh Raja Rakai Pikatan.
Sebagaimana dikutip dari buku “Babad Tanah Jawi” tulisan Soedjipto Abimanyu, pemindahan istana kerajaan dari Medang ke Mamrati dikisahkan melalui Prasasti Wantil yang disebut juga Prasasti Siwagreha, yang dikeluarkan pada 12 November 856 Masehi.
Saat Rakai Pikatan menjadi raja pengaruh besar agama Hindu mulai mendominasi di Mataram, menggantikan agama Buddha. Hal inilah yang juga dimuat di Prasasti Wantil mengenai pendirian bangunan suci Siwagreha, yang diterjemahkan sebagai Candi Siwa.
Menariknya, selain pembuatan Candi Siwa, Raja Rakai Pikatan memerintahkan pemindahan istana Mataram. Konon saat Rakai Pikatan turun tahta dan berganti ke raja berikutnya Rakai Kayuwangi, istana Kerajaan Mataram Kuno tak lagi di Medang.
Istana sudah berpindah dari ibu kota Medang ke daerah Mamrati, dengan istananya yang diberi nama Mamratipura. Namun tak disebutkan alasan pasti mengapa istana kerajaan ini berpindah dari Medang ke Mamrati.
Tetapi yang jelas pemindahan istana kerajaan ini telah dilakukan sejak raja kedua Mataram Kuno bertahta, Rakai Pikatan.Rakai Pikatan sendiri mempunyai putra bungsu bernama Rakai Kayuwangi, yang lahir dari permaisuri Pramodawardhani.
Nama aslinya adalah Dyah Lokapala sebagaimana disebutkan dalam Prasasti Wantil atau Prasasti Siwagreha. Dyah Lokapala naik tahta menggantikan ayahnya pada 12 November 856.
Ia naik tahta jadi raja dengan gelar Sang Jatiningrat. Pengangkatan putra bungsu Rakai Pikatan sebagai raja ini tak lepas dari kepahlawanannya dalam menumpas musuh ayahnya yang bermarkas di timbunan batu di atas bukit Ratu Baka.
Pada situs Bukit Ratu Baka sejarawan Boechari mencatat nama Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni yang muncul sebagai pemberontak dan menyerang kerajaan di era Rakai Pikatan.
Hal ini sekaligus membantah informasi yang menyebut Rakai Pikatan bermusuhan dengan Balaputradewa. Pemberontakan ini berhasil ditumpas oleh Rakai Kayuwangi atau Dyah Lokapala.
Hal ini yang membuatnya mendapat dukungan dari rakyat untuk naik tahta menggantikan ayahnya Rakai Pikatan. Hal ini sekaligus membantah adanya teori perang antara Balaputradewa melawan Pramodawardhani dan Rakai Pikatan.
Kerajaan ini menjadi salah satu kerajaan tertua di Pulau Jawa yang berdiri di sekitar abad 7 dengan pusat pemerintahan di Jawa Tengah.
Sosok Raja Sanjaya merupakan pendiri kerajaan yang dipercaya kemudian menghasilkan raja-raja turunan Dinasti Sanjaya. Sosok Sanjaya ini juga yang pernah berkuasa di Kerajaan Galuh di Jawa bagian barat, sehingga ada hubungan antara Galuh dan Mataram kuno.
Sanjaya awalnya membuka kerajaan dengan ibu kota istana berada di Medang, Jawa Tengah. Hal inilah yang menyebabkan nama Kerajaan Mataram Kuno juga terkenal dengan Kerajaan Medang, karena dari nama ibu kota yang ditempati saat itu.
Namun pasca pemerintahan Raja Sanjaya, ibu kota Mataram Kuno dipindahkan oleh Raja Rakai Pikatan.
Sebagaimana dikutip dari buku “Babad Tanah Jawi” tulisan Soedjipto Abimanyu, pemindahan istana kerajaan dari Medang ke Mamrati dikisahkan melalui Prasasti Wantil yang disebut juga Prasasti Siwagreha, yang dikeluarkan pada 12 November 856 Masehi.
Saat Rakai Pikatan menjadi raja pengaruh besar agama Hindu mulai mendominasi di Mataram, menggantikan agama Buddha. Hal inilah yang juga dimuat di Prasasti Wantil mengenai pendirian bangunan suci Siwagreha, yang diterjemahkan sebagai Candi Siwa.
Menariknya, selain pembuatan Candi Siwa, Raja Rakai Pikatan memerintahkan pemindahan istana Mataram. Konon saat Rakai Pikatan turun tahta dan berganti ke raja berikutnya Rakai Kayuwangi, istana Kerajaan Mataram Kuno tak lagi di Medang.
Istana sudah berpindah dari ibu kota Medang ke daerah Mamrati, dengan istananya yang diberi nama Mamratipura. Namun tak disebutkan alasan pasti mengapa istana kerajaan ini berpindah dari Medang ke Mamrati.
Tetapi yang jelas pemindahan istana kerajaan ini telah dilakukan sejak raja kedua Mataram Kuno bertahta, Rakai Pikatan.Rakai Pikatan sendiri mempunyai putra bungsu bernama Rakai Kayuwangi, yang lahir dari permaisuri Pramodawardhani.
Nama aslinya adalah Dyah Lokapala sebagaimana disebutkan dalam Prasasti Wantil atau Prasasti Siwagreha. Dyah Lokapala naik tahta menggantikan ayahnya pada 12 November 856.
Ia naik tahta jadi raja dengan gelar Sang Jatiningrat. Pengangkatan putra bungsu Rakai Pikatan sebagai raja ini tak lepas dari kepahlawanannya dalam menumpas musuh ayahnya yang bermarkas di timbunan batu di atas bukit Ratu Baka.
Pada situs Bukit Ratu Baka sejarawan Boechari mencatat nama Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni yang muncul sebagai pemberontak dan menyerang kerajaan di era Rakai Pikatan.
Hal ini sekaligus membantah informasi yang menyebut Rakai Pikatan bermusuhan dengan Balaputradewa. Pemberontakan ini berhasil ditumpas oleh Rakai Kayuwangi atau Dyah Lokapala.
Hal ini yang membuatnya mendapat dukungan dari rakyat untuk naik tahta menggantikan ayahnya Rakai Pikatan. Hal ini sekaligus membantah adanya teori perang antara Balaputradewa melawan Pramodawardhani dan Rakai Pikatan.
(ams)